Rabu, 15 April 2020

MENJADI ORANG TUA, PERLUKAH SCOR??


Winarti, S.Pd.,M.Pd

Sesuatu yang menggelitik pikiran Penulis adalah saat melihat orang-orang yang akan menyelenggarakan pernikahan. Betapa tidak, keluarga sangat disibukkan dengan berbagai urusan untuk menyiapkan prosesi pernikahan. Mereka ingin pestanya mendapat kesan “wah”, dan mendapat pujian dari semua tamu undangan yang hadir. Mereka tidak ingin ada kekurangan sedikitpun pada pelaksanaan prosesi nanti, ya tidak salah sih, tapi juga tidak seratus persen benar. Mengapa? Karena ada hal yang jauh lebih penting daripada sekedar acara resepsi yang menghabiskan banyak biaya dan melelahkan fisik. Apakah hal yang lebih penting itu? Hal yang lebih penting adalah sudahkah calon pasangan yang akan menikah tadi mempersiapkan bekal yang cukup untuk mendidik anak, karena proses ini akan mereka jalani hingga seumur hidup.

Sudah siapkah pasangan tersebut mendidik anak sejak dalam kandungan, kemudian lahir menjadi anak usia dini, lalu lanjut ke remaja dan dewasa. Bukankah itu membutuhkan keterampilan untuk mendidik yang selama ini tidak ada sekolahnya. Mendidik anak usia dini dengan anak usia remaja tentu saja pendekatannya berbeda, apalagi ketika anak-anak beranjak dewasa pasti akan lain lagi model pendekatan untuk mendidik anak kita.

Nah, coba kita lihat lagi pada judul tulisan ini, ada kata SCOR, apa sih maksudnya? Apakah SCOR sama dengan nilai? Bukan. SCOR yang Penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah “Sekolah Calon Orang Tua”. Untuk menjadi dokter ada sekolahnya, untuk menjadi pengacara ada sekolahnya, hampir semua profesi ada sekolahnya. Akan tetapi ada satu profesi yang sangat mulia yaitu profesi sebagai orang tua yang tidak ada sekolahnya bukan?

Menjadi orang tua adalah sebuah karier, 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, sepanjang tahun, sepanjang hidup. Menjadi orang tua tidak ada cuti, tidak ada gaji, tidak ada bonus, tidak ada uang lembur, tidak ada tunjangan. Menjadi orang tua juga dituntut untuk belajar, sabar, instrospeksi, mau mendengarkan dan tetap senyum walau lelah. Namun bahagialah menjadi orang tua dan banggalah dengan tugas itu karena surat tugasnya langsung ditandatangani oleh Tuhan. (Angga Setiawan, hal.38).

Membaca deskripsi di atas, menjadi orang tua membutuhkan fisik dan mental yang kuat, membutuhkan kesabaran yang luar biasa, membutuhkan keterampilan untuk mendengarkan dan mengendalikan emosi sehingga bisa tetap tersenyum di depan anak dalam keadaan lelah sekalipun. Semua hal di atas membutuhkan proses dan harus senantiasa dipelajari. Sungguh sangat disayangkan untuk mempersiapkan itu semua tidak ada “Sekolah Calon Orang Tua (SCOR)”.

Seandainya SCOR ada, maka lulusanya yang notabene adalah pasangan yang akan menikah, insyaAllah banyak orang tua hebat, orang tua yang mempunyai bekal cukup untuk mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang berkualitas. Harapannya melalui SCOR, calon orang tua diberi bekal yang cukup melalui materi bagaimana mengasuh anak sejak dalam kandungan hingga dewasa. Melalui SCOR, masing-masing pasangan akan mengerti tugasnya, karena pendidikan yang pertama dan utama adalah keluarga.

Anak-anak belajar dari kehidupan di dalam keluarga. Ia mencontoh banyak hal dari kehidupan dalam keluarga. Setiap anak adalah baik, tetapi terkadang ia mencontoh hal yang salah. Keluarga punya peran utama untuk menyajikan contoh kebaikan yang akan ia duplikasi ke dalam dirinya. Anak-anak seperti spons, ia menyerap apapun yang ia lihat, dengar dan rasakan. Sehingga apa yang ia lihat, dengar dan rasakan seharusnya adalah kebaikan yang kelak ia gunakan untuk mengarungi kehidupan.

Pertanyaannya sekarang untuk calon orang tua adalah “sudah cukupkah bekal kalian untuk memberikan contoh kebaikan kepada anak-anak kalian nantinya?” Karena pasangan harus selalu kompak dalam hal mendidik anak, agar anak tidak bingung mana yang akan ia tiru. Berani-beraninya menikah tanpa bekal yang cukup untuk menjadi orang tua, hehehe. Sedangkan pertanyaan untuk yang sudah menjadi orang tua adalah “sudah benarkah cara kita mendidik anak-anak kita, jangan-jangan cara mendidik yang kita terapkan ke anak kita adalah hasil adopsi dari cara orang tua kita dulu mendidik kita yang notabene belum tentu benar bukan?”

Oleh karena SCOR masih ada di angan-angan, saya sarankan sebagai calon orang tua dan orang tua untuk terus belajar melalui membaca buku-buku parenting, konsultasi dengan pakar pendidikan anak, ikut seminar parenting agar wawasan kita tentang mendidik anak terus bertambah dan tidak terjadi kesalahan fatal yang berdampak fatal juga pada anak kita. Mungkin hanya ada dua tipe orang tua, yaitu orang tua yang mau belajar dan tidak mau belajar. Orang tua yang mau belajar akan menikmati dalam mendidik anak, yang tidak mau belajar akan selalu bingung menghadapi tingkah laku anak.

Kita semua setuju bahwa anak adalah titipan Allah SWT, maka sudah sepatutnya kita memperlakukan seperti yang Tuhan inginkan, bukan dengan kekerasan baik fisik maupun verbal. Semoga kita senantiasa menyediakan diri dan hati untuk selalu belajar menjadi yang terbaik bagi anak-anak kita.

Penulis adalah staff P4TK BOE Malang dan alumni S2 PAUD UNESA.
Komunikasi tentang Parenting dan Pendidikan Anak Usia Dini bisa melalui surel; 
win_winsolution@yahoo.co.id

1 komentar:

  1. That is why one must be very attentive when in search of Korean on line casino websites. When choosing the best on-line on line casino Korea residents should follow professional suggestions. Due to those causes, DoubleU Casino, a worldwide top-tier social on line casino developer, does not present services in Korea - the place its headquarters is situated. Secondly, most Korean individuals - including those that are cost of|in command of|in control of} nationwide coverage 메리트카지노 - tend to suppose that more individuals will endure from gambling habit if rules for on-line gambling are relaxed.

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak