Minggu, 12 April 2020

SOLUSI MENCEGAH CYBERBULLYING PADA SISWA SEKOLAH

Abstrak
Data hasil riset PISA 2018 menunjukkan sebanyak 41,1% siswa di Indonesia yang mengalami bullying. Angka ini memposisikan Indonesia berada di peringkat kelima tertinggi dari 78 negara anggota OECD. Siswa sekolah adalah korban terbanyak dari praktek cyberbullying. Cyberbullying dapat menimbulkan dampak secara fisik, psikis, maupun sosial bagi siswa seperti gangguan makan, penyakit kronis, depresi, merasa sanggat rendah diri, kekerasan eksternal, masalah akademik, masalah keluarga, masalah kesehatan mental, dan pola pikiran atau bahkan tindakan bunuh diri. Dan hasil kajian lain juga menunjukkan bahwa cyberbullying berpengaruh pada aspek akademis siswa dimana siswa korban cenderung sulit berkonsentrasi, memiliki nilai yang rendah, dan memiliki tingkat ketidakhadiran di sekolah yang lebih tinggi. Dan jika melihat dampak negatif dari cyberbullying tentu perlu ada beragam solusi yang harus dilakukan secara sinergi antara siswa, orang tua atau keluarga dan pihak sekolah yaitu untuk menghentikan cyberbullying. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh pihak sekolah, orang tua, dan siswa usaha mencegah perilaku cyberbullying.
Kata Kunci: Cyberbullying, Bullying


PENDAHULUAN
Semakin tahun jumlah pengguna internet di Indonesia semakin bertambah pesat. Data hasil riset Wearesosial Hootsuite yang dirilis Januari 2019 (databoks.katadata.co.id) menunjukkan bahwa pada tahun 2019 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 150 juta orang atau 56% dari jumlah total penduduk Indonesia (268,2 juta jiwa pada tahun 2019). Dari 150 juta pengguna internet, seluruhnya (150 orang) adalah pengguna aktif media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa internet sudah menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan manusia di berbagai aspek kehidupan. Internet membantu memberikan kemudahan dalam berkomunikasi dan mencari informasi terbaru di seluruh dunia.
Akan tetapi, dari banyaknya manfaat internet dan media sosial, banyak juga dampak negatif penggunaan internet khususnya media sosial yaitu salah satunya adalah praktek cyberbullying.
Data hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan murid yang mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%. Angka ini jauh di atas rata-rata negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang hanya sebesar 22,7%. Selain itu, Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara dengan siswa yang paling banyak mengalami perundungan.
Selain mengalami perundungan, dari sumber data PISA 2018 juga diketahui murid di Indonesia mengaku sebanyak 15% mengalami intimidasi, 19% dikucilkan, 22% dihina dan barangnya dicuri. Selanjutnya sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam, 18% didorong oleh temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya disebarkan. Mirisnya, korban perundungan banyak terjadi pada siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
Data tersebut tentu akan menjadi semakin besar jika riset juga difokuskan pada kasus-kasus perundungan yang terjadi melalui dunia maya atau diistilahkan dengan cyberbullying. Karena sebagian besar korban cyberbullying tidak menceritakan kasusnya kepada orang-orang dewasa terdekat (orang tua dan guru) sehingga mereka tidak mengetahui atas kejadiannya.
Siswa sekolah adalah korban terbanyak dari praktek cyberbullying. Dan jika melihat dampak negatif dari cyberbullying tentu perlu ada beragam solusi yang dapat dilakukan secara sinergi antara siswa, orang tua atau keluarga dan pihak sekolah yaitu untuk menghentikan cyberbullying (Garaigordobil & Martinez, 2015).
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh pihak sekolah, orang tua, dan siswa usaha mencegah perilaku cyberbullying.

PEMBAHASAN
Cyberbullying
Cyberbullying adalah bentuk perilaku intimidasi yang dilakukan melalui media teknologi dan berlangsung di dunia maya (Donegan, 2012). Aktivitas perundungan tersebut dilakukan berbasis teknologi menggunakan media elektronik, seperti SMS (Short Message Service), surat elektronik, chat rooms, websites, game online, situs jejaring sosial, pesan gambar, atau pesan teks yang dikirim melalui telepon genggam atau perangkat teknologi komunikasi yang lain (Kowalski, Limber, 2013). Hinduja dan Patchin (2015) dalam buku mereka Bullying beyond the Schoolyard; Preventing and Responding to Cyberbullying menjelaskan tiga karakteristik cyberbullying yaitu willful (disengaja) oleh pelaku, harm (membahayakan) bagi korban, dan repeated (berulang-ulang) sehingga berdampak baik fisiologi maupun psikologis bagi korban.
Sama seperti bullying, bentuk cyberbullying juga beragam yaitu flaming, harassment (pelecehan), denigration, impersonation (penyamaran), cuting and trickery, exclusion (pengucilan) dan cyberstalking (Willard, 2007). Flaming adalah percakapan singkat yang memanas dan menggunakan bahasa yang kasar, tidak sopan, serta vulgar antara dua orang atau lebih. Harassment (pelecehan) adalah pengiriman pesan yang berulang-ulang dengan tujuan melecehkan korban. Denigration yaitu penyebaran fitnah atau berita bohong tentang seseorang dengan tujuan untuk pencemaran nama baik. Outing dan Tricker adalah memposting atau mengirim informasi atau gambar pribadi dengan tujuan mempermalukan targetnya. Exclusion adalah pengusiran korban dari suatu kelompok (seminal group WA atau group Facebook). Bentuk yang lain adalah cyberstalking yaitu pengiriman pesan yang bernada ancaman yang membahayakan, menakutkan, menyinggung, atau melibatkan pemerasan secara berulang-ulang kepada korban.

Dampak Cyberbullying
Sama halnya dengan bullying, cyberbullying dapat menimbulkan dampak secara fisik, psikis, maupun akademis bagi siswa. Dampak dari cyberbullying sangat mengejutkan. Korban dapat mengalami gangguan makan, penyakit kronis, depresi, merasa sangat rendah diri, kekerasan eksternal, masalah akademik, masalah keluarga, masalah kesehatan mental, dan pola pikiran atau bahkan tindakan bunuh diri (Feinberg & Robey, 2009; Morgan, 2013; Patchin & Hinduja, 2012).
Kajian lain juga menunjukkan bahwa cyberbullying berpengaruh pada aspek  akademis siswa. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa siswa korban cyberbullying memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami masalah akademis (Center for Disease Control, 2015). Mereka cenderung sulit berkonsentrasi, memiliki nilai yang rendah, dan memiliki tingkat ketidakhadiran di sekolah yang lebih tinggi (Beran & Li, 2007).
 Cyberbullying juga memiliki dampak jangka panjang. Hasil studi Hinduja dan Patchin (2012) menunjukkan bahwa remaja yang pernah menjadi korban bullying, memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif ketika mereka dewasa. Pada tingkat yang lebih parah, bullying juga dapat mendorong korbannya untuk melakukan bunuh diri (Espelage & Holt, 2013; Hinduja & Patchin, 2012).

Korban Cyberbullying
Meskipun sebagian besar cyberbullying terjadi di luar sekolah tergantung pada lokasi dimana siswa mengakses internet, umumnya korban peraktek cyberbullying adalah siswa sekolah (Feinberg & Robey, 2009; Patchin & Hinduja, 2012). Beberapa kategori siswa yang rentan menjadi korban cyberbullying yaitu siswa yang secara fisik berbeda (seperti kelebihan berat badan, kekurangan berat badan, ras, varian jenis kelamin seperti banci atau tomboy, memiliki cacat fisik), berbeda secara intelektual (terlalu pintar, berbakat, ketidakmampuan belajar), berbeda secara emosional (terlalu sensitif/cengeng, tertekan, cemas, takut), dan siswa yang suka menyendiri tidak suka bergaul lebih cenderung menjadi korban (Beale & Hall, 2007; Feinberg & Robey, 2009; Simmons & Bynum, 2014).
Selain itu, siswa yang rentan menjadi korban cyberbullying adalah kelompok siswa yang memiliki sedikit kemampuan dalam mengatasi masalah, memiliki hubungan dan komunikasi yang buruk dengan orang lain, memiliki masalah kesehatan mental, dan memiliki masalah keluarga (Feinberg & Robey, 2009). Korban dengan kriteria tersebut akan sulit mengatasi cyberbullying tanpa intervensi atau bantuan orang dewasa seperti orang tua, guru, konselor dan lainnya.

Saran Solusi Pencegahan Cyberbullying
Praktek cyberbullying bagi siswa adalah masalah yang sangat rumit sehingga pihak sekolah tidak dapat menangani masalah ini sendiri baik preventif maupun kuratif tanpa bersinergi dengan pihak lain yaitu organisasi kesiswaan, orang tua, mitra guru, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, bahkan tenaga administrasi sekolah.
Mayoritas korban cyberbullying tidak melaporkan kepada pihak sekolah dan orang tua karena malu dan takut terhadap ancaman pelaku dan khawatir akan kehilangan akses internet sebagai upaya memisahkan korban dari pelaku. Akibatnya, banyak korban lebih suka diam atau meminta bantuan dengan tanpa menyebutkan identitas melalui internet pada aplikasi-aplikasi “curhat” online yang banyak tersedia di internet. Tetapi hal ini terkadang malah akan memperumit masalah yang dialami korban. Akan tetapi jika dikelola dengan baik fasilitas “curhat” atau aduan online inipun dapat menjadi sarana solusi terhadap praktek cyberbullying (Vollink, Dehue, & Lechner, 2014)
Satu hal yang harus diperhatikan adalah jika pihak sekolah mendapat aduan adanya praktek cyberbullying, maka sekolah harus segera merespons. Pihak sekolah harus memberikan sosialisasi pada seluruh siswa, jika mengetahui prakter cyberbullying dan bahkan jika menjadi korban harus berani melaporkan pada pihak sekolah agar praktek cyberbullying tidak semakin meningkat (Morgan, 2013).
 Berikut ini beberapa saran solusi bagi pihak sekolah, orang tua, dan siswa dalam rangka pencegahan dan kuratif terhadap praktek cyberbullying yang diutarakan oleh Justice dan Hooker (2016).
Saran bagi Pihak Sekolah
  1. Sekolah memastikan bahwa semua siswa, dewan guru, dan tenaga administrasi mendapatkan kesempatan untuk belajar, mengajar dan bekerja di lingkungan sekolah yang bebas dari rasa takut dan intimidasi.
  2. Mempelajari dan menindaklanjuti kebijakan-kebijakan terkait perundungan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
  3. Membentuk Satuan Tugas cyberbullying dan bullying yang anggotanya terdiri dari guru, orang tua/komite sekolah, siswa, pengawas sekolah dan kepolisian.
  4. Memberikan sosialisasi dan pelatihan bagi seluruh siswa, dewan guru, komite sekolah, tenaga administrai, dan orang tua terkait usaha preventif dan kuratif perilaku cyberbullying.
  5. Berkoordinasi dengan pihak sekolah lain, karena praktek cyberbullying juga banyak terjadi pada siswa antar sekolah
  6. Membuat sistem pelaporan anonim - karena siswa takut akan hukuman, takut akan pembalasan dari pelaku, malu, mereka jarang melaporkan insiden cyberbullying. Dengan membuat sistem pelaporan anonim, korban dan saksi dapat melaporkan cyberbullying tanpa khawatir.
  7. Selidiki semua laporan tentang cyberbullying dengan menjamin kerahasiaan nama korban dan saksi serta memberikan hukuman kepada para pelaku.
  8. Memberikan dukungan kepada korban dengan memfasilitasi layanan konseling dan atau alih kasus ke psikiater dan pihak berwajib kepolisian jika praktek cyberbullying sudah berdampak pada ranah hukum.
  9. Keamanan cyberbullying tidak hanya diprioritaskan bagi siswa tapi juga bagi dewan guru dan tenaga administrasi sekolah.
  10. Mensosialisasikan keseluruh siswa penggunaan teknologi yang baik dan benar.
  11. Menciptakan lingkungan sekolah yang positif dan tidak mentolerir perilaku kasar seperti cyberbullying.
Saran bagi orang tua
  1. Sering berkomunikasi dengan anak secara teratur.
  2. Rutin mengamati perilaku dan perkembangan anak. Jika ada hal yang mencurigakan lakukanlah diskusi dan komunikasi dengan anak.
  3. Pertimbangkan memblokir perangkat lunak yang dimiliki anak baik smartphone, PC komputer, maupun laptop atas konten-konten pornografi dan kekerasan.
  4. Sempatkan mengikuti segala kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Bacalah kebijakan dan informasi tentang tindakan cyberbullying yang ditetapkan oleh sekolah dan ikut berpartisipasi dalam satuan tugas cyberbullying yang dibentuk oleh pihak sekolah.
  5. Buatlah aturan keluarga terkait pembatasan penggunaan internet dan gadget.
  6. Menjadi orang tua yang melek teknologi.
  7. Ikut mendampingi anak saat berselancar di dunia maya khususnya media sosial.
  8. Orang tua harus rutin memperhatikan apa yang di-posting-kan anak secara online. Tidak selamanya anak menjadi korban cyberbullying, kemungkinan  anak justru pelaku cyberbullying.
  9. Jika anak menjadi korban cyberbullying';
  •  Jangan bereaksi berlebihan, lakukan komunikasi terbuka dengan anak.
  • Cetak semua pesan yang bersifat perundungan, jangan hapus pesan dan kontak pelaku sebagai barang bukti.
  • Komunikasikan dengan pihak sekolah khususnya guru kelas atau guru BK.
  • Pertimbangkan untuk menghubungi polisi jika pelaku cyberbullying telah melakukan ancaman yang membahayan fisik maupun psikologis.
  • Minta anak untuk memblokir atau membatalkan pertemanan di dunia maya dengan pelaku untuk menghentikan lebih banyak pesan “jahat” yang diposting.
  • Ajukan laporan keluhan ke situs website yang digunakan untuk melakukan cyberbullying.
  • Pertimbangkan bantuan profesional, terutama dengan tekanan emosional yang disebabkan oleh pelaku cyberbullying. Misal mengajak anak untuk konsultasi kepada konselor atau psikiater.
Saran bagi siswa
  1. Berkomunikasi secara intens dengan orang dewasa baik orang tua atau guru.
  2. Memahami, menerima dan mentaati aturan yang dibuat oleh orang tua di rumah atau pihak sekolah.
  3. Jangan mencoba berteman dan bertemu dengan orang yang baru kenal di dunia maya tanpa konfirmasi kepada orang tua. Pahamilah bahwa teman haruslah orang yang terlihat di lingkungan sosial dan orang-orang yang kamu sayangi.
  4. Jangan mudah berbagi kata sandi kepada orang lain. Lakukan clear history di peramban setelah digunakan.
  5. Berpikirlah dua atau tiga kali sebelum memposting atau men-share sesuatu di dunia maya khususnya media sosial. Jika perlu diskusikan dahulu dengan orang tua atau guru.
  6. Jika menyaksikan cyberbullying, meskipun tidak terjadi pada diri sendiri maka lakukanlah sesuatu minimal melaporkan pada orang tua atau guru.
  7. Jika mengalami tindakan cyberbullying: 
  • Adukan kepada orang dewasa (orang tua, guru, konselor sekolah, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah)
  • Jangan ikut larut dalam praktek cyberbullying dengan merespon perbuatan pelaku.
  • Cetaklah/screenshot semua pesan, jangan hapus pesan dan kontak pelaku.
  • Blokir atau batalkan pertemanan dengan pelaku untuk menghentikan lebih banyak pesan yang diposting
  • Ajukan keluhan ke situs website yang digunakan untuk melakukan cyberbullying.

KESIMPULAN
Dari pembahasan ringkas diatas dapat diambil beberapa poin penting sebagai kesimpulan.
  1. Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara darurat cyberbullying melihat dari tingginya peringkat hasil PISA dimana Indonesia menempati peringkat kelima tertinggi dengan prosentase 41,1% dari 78 negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
  2. Selain mengalami perundungan, murid di Indonesia mengaku sebanyak 15% mengalami intimidasi, 19% dikucilkan, 22% dihina dan barangnya dicuri. Selanjutnya sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam, 18% didorong oleh temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya disebarkan. Mirisnya, korban perundungan banyak terjadi pada siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
  3. Praktek cyberbullying bagi siswa adalah masalah yang sangat rumit sehingga pihak sekolah tidak dapat menangani masalah ini sendiri baik preventif maupun kuratif tanpa bersinergi dengan pihak lain yaitu organisasi kesiswaan, orang tua, mitra guru, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, bahkan tenaga administrasi sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Feinberg, T. & Robey, N. (2009). Cyberbullying: School leaders cannot ignore cyberbullying but rather must understand its legal and psychological ramifications. Principal Leadership, 9 (1), 26-31.
Garaigordobil, M., & Martinez-Valderrey, V. (2015). Effects of cyberprogram 2.0 on “face-to-face” bullying, cyberbullying, and empathy. Psicothema, 27 (1), 45-51.
Jacobs, N., Vollink, T., Dehue, F., & Lechner, L. (2014). Online Pestkoppenstoppen: Systematic and theory-based development of a web-based tailored intervention for adolescent cyberbully victims to combat and prevent cyberbullying. BMC Public Health, 14 (1), 396-400
Justice, L. J. & Hooker, S.D. (2016). Creating digital safe spaces for gender expression and sexual diversity. In Dreon, O. & Polly, D. (Eds.), Handbook of Research on Teacher Education for Ethical Professional Practice in the 21st Century. IGI Global Publishing.
Morgan, H. (2013). Malicious use of technology: What schools, parents, and teachers can do to prevent cyberbullying. Childhood Education, 89 (3), 146-151.
OECD (2019). PISA 2018 Result; Combined Executive Summaries Volume I, II, III. OECD Publisher
Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2012). School-based efforts to prevent cyberbullying. The Prevention Researcher, 19 (3), 7-9.
Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2015). Bullying Beyond the Schoolyard: Preventing and Responding to Cyberbullying (2nd edition). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.


Wahsun
wahsunlpmpjatim@gmail.com
Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda
LPMP Jawa Timur

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak