Abstrak
Data hasil riset PISA 2018 menunjukkan
sebanyak 41,1% siswa di Indonesia yang mengalami bullying. Angka ini memposisikan Indonesia berada di peringkat kelima
tertinggi dari
78 negara anggota OECD. Siswa sekolah adalah korban terbanyak dari praktek cyberbullying. Cyberbullying dapat
menimbulkan dampak secara fisik, psikis, maupun sosial bagi siswa seperti gangguan makan, penyakit kronis,
depresi, merasa sanggat rendah diri, kekerasan eksternal, masalah akademik,
masalah keluarga, masalah kesehatan mental, dan pola pikiran
atau bahkan tindakan bunuh diri. Dan hasil kajian lain juga menunjukkan bahwa cyberbullying berpengaruh pada aspek akademis siswa dimana siswa korban cenderung sulit berkonsentrasi, memiliki
nilai yang rendah, dan memiliki tingkat ketidakhadiran di sekolah yang lebih
tinggi. Dan jika
melihat dampak negatif dari cyberbullying tentu perlu ada beragam solusi
yang harus dilakukan secara sinergi antara siswa, orang tua atau keluarga dan
pihak sekolah yaitu untuk menghentikan cyberbullying. Tulisan ini
bertujuan untuk memberikan beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh pihak
sekolah, orang tua, dan siswa usaha mencegah perilaku cyberbullying.
Kata Kunci: Cyberbullying, Bullying
PENDAHULUAN
Semakin tahun jumlah pengguna internet di Indonesia semakin
bertambah pesat. Data hasil riset Wearesosial Hootsuite
yang dirilis Januari 2019 (databoks.katadata.co.id) menunjukkan bahwa pada tahun
2019 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 150 juta
orang atau 56% dari jumlah
total penduduk Indonesia (268,2 juta jiwa pada tahun 2019). Dari 150 juta
pengguna internet, seluruhnya (150 orang) adalah pengguna aktif media sosial. Hal
ini menunjukkan
bahwa internet sudah menjadi
kebutuhan primer dalam
kehidupan manusia di berbagai aspek kehidupan.
Internet membantu
memberikan kemudahan dalam berkomunikasi
dan mencari informasi terbaru di seluruh dunia.
Akan tetapi, dari banyaknya manfaat internet dan media
sosial, banyak juga dampak negatif penggunaan internet khususnya media sosial yaitu
salah satunya adalah praktek cyberbullying.
Data
hasil riset Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 menunjukkan murid yang
mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak
41,1%. Angka
ini jauh di atas rata-rata negara anggota OECD (Organisation
for Economic Co-operation and Development) yang hanya sebesar 22,7%.
Selain itu, Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai
negara dengan siswa yang
paling banyak mengalami perundungan.
Selain
mengalami perundungan, dari
sumber data PISA 2018 juga diketahui murid di Indonesia
mengaku sebanyak 15% mengalami intimidasi, 19% dikucilkan, 22% dihina dan
barangnya dicuri. Selanjutnya sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam,
18% didorong oleh temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya
disebarkan. Mirisnya, korban
perundungan banyak terjadi pada siswa yang memiliki
kebutuhan khusus.
Data tersebut tentu akan menjadi semakin besar jika
riset juga difokuskan pada kasus-kasus perundungan yang terjadi melalui dunia
maya atau diistilahkan dengan cyberbullying. Karena sebagian besar korban
cyberbullying tidak menceritakan kasusnya kepada orang-orang dewasa terdekat
(orang tua dan guru) sehingga mereka tidak mengetahui atas kejadiannya.
Siswa sekolah adalah korban terbanyak dari praktek cyberbullying. Dan jika melihat dampak negatif dari cyberbullying
tentu perlu ada beragam solusi yang dapat dilakukan secara sinergi antara
siswa, orang tua atau keluarga dan pihak sekolah yaitu untuk
menghentikan cyberbullying (Garaigordobil &
Martinez, 2015).
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan beberapa
solusi yang dapat diterapkan oleh pihak sekolah, orang tua, dan siswa usaha
mencegah perilaku cyberbullying.
PEMBAHASAN
Cyberbullying
Cyberbullying
adalah bentuk perilaku intimidasi
yang dilakukan melalui media
teknologi dan berlangsung di dunia maya (Donegan, 2012). Aktivitas perundungan tersebut dilakukan
berbasis teknologi menggunakan
media elektronik, seperti SMS
(Short Message Service), surat elektronik, chat
rooms, websites, game online, situs jejaring sosial, pesan gambar, atau pesan teks yang dikirim melalui
telepon genggam atau perangkat teknologi komunikasi yang lain (Kowalski, Limber, 2013). Hinduja
dan Patchin (2015)
dalam buku mereka Bullying beyond the Schoolyard; Preventing and Responding to Cyberbullying
menjelaskan tiga karakteristik cyberbullying yaitu willful
(disengaja) oleh pelaku, harm
(membahayakan) bagi korban, dan repeated
(berulang-ulang) sehingga
berdampak baik fisiologi maupun psikologis bagi korban.
Sama seperti bullying, bentuk cyberbullying
juga beragam yaitu flaming,
harassment (pelecehan), denigration, impersonation
(penyamaran), cuting and
trickery, exclusion
(pengucilan) dan cyberstalking (Willard, 2007).
Flaming adalah percakapan singkat yang memanas dan menggunakan bahasa yang
kasar, tidak sopan, serta vulgar antara dua orang atau
lebih. Harassment
(pelecehan) adalah pengiriman
pesan yang berulang-ulang dengan tujuan melecehkan korban.
Denigration yaitu
penyebaran fitnah atau berita bohong tentang seseorang dengan tujuan untuk pencemaran
nama baik. Outing dan Tricker adalah memposting atau mengirim informasi atau gambar pribadi dengan tujuan mempermalukan
targetnya. Exclusion adalah
pengusiran korban dari suatu kelompok (seminal group WA atau group Facebook).
Bentuk yang lain adalah cyberstalking
yaitu
pengiriman pesan yang bernada ancaman
yang membahayakan, menakutkan, menyinggung, atau melibatkan pemerasan secara berulang-ulang kepada korban.
Dampak Cyberbullying
Sama
halnya dengan bullying, cyberbullying dapat
menimbulkan dampak secara fisik, psikis, maupun akademis bagi siswa. Dampak dari cyberbullying
sangat mengejutkan.
Korban dapat mengalami gangguan makan, penyakit kronis, depresi, merasa sangat
rendah diri, kekerasan eksternal,
masalah akademik, masalah keluarga, masalah kesehatan mental, dan pola pikiran atau bahkan tindakan bunuh diri (Feinberg & Robey, 2009; Morgan, 2013; Patchin &
Hinduja, 2012).
Kajian
lain juga menunjukkan bahwa cyberbullying
berpengaruh pada aspek akademis siswa. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa siswa korban
cyberbullying memiliki resiko lebih tinggi untuk
mengalami masalah akademis (Center for Disease Control,
2015). Mereka cenderung sulit berkonsentrasi, memiliki nilai yang rendah,
dan memiliki tingkat ketidakhadiran di sekolah yang lebih tinggi (Beran & Li, 2007).
Cyberbullying juga
memiliki dampak jangka panjang. Hasil studi Hinduja dan Patchin (2012) menunjukkan bahwa
remaja yang pernah menjadi korban bullying, memiliki kecenderungan untuk berperilaku agresif ketika
mereka dewasa. Pada tingkat yang lebih parah, bullying juga dapat
mendorong korbannya untuk melakukan bunuh diri (Espelage
& Holt, 2013; Hinduja & Patchin, 2012).
Korban Cyberbullying
Meskipun sebagian besar cyberbullying
terjadi di luar sekolah
tergantung pada lokasi dimana siswa mengakses internet,
umumnya korban peraktek cyberbullying
adalah siswa sekolah (Feinberg
& Robey, 2009; Patchin & Hinduja, 2012). Beberapa kategori siswa yang rentan menjadi korban cyberbullying
yaitu siswa yang secara fisik berbeda (seperti kelebihan berat badan,
kekurangan berat badan, ras, varian jenis kelamin seperti
banci atau tomboy, memiliki cacat fisik), berbeda secara
intelektual (terlalu pintar, berbakat,
ketidakmampuan belajar),
berbeda
secara emosional (terlalu sensitif/cengeng, tertekan, cemas, takut), dan siswa yang suka menyendiri tidak suka bergaul lebih
cenderung menjadi korban (Beale
& Hall, 2007; Feinberg & Robey, 2009; Simmons & Bynum, 2014).
Selain itu, siswa yang rentan menjadi korban cyberbullying
adalah kelompok siswa yang memiliki sedikit kemampuan dalam mengatasi masalah, memiliki hubungan dan komunikasi yang buruk dengan orang lain,
memiliki masalah
kesehatan mental, dan memiliki
masalah keluarga (Feinberg
&
Robey, 2009). Korban dengan kriteria tersebut akan sulit mengatasi
cyberbullying
tanpa intervensi atau bantuan orang dewasa seperti orang tua, guru, konselor dan lainnya.
Saran Solusi Pencegahan Cyberbullying
Praktek cyberbullying
bagi siswa adalah
masalah yang sangat rumit sehingga pihak sekolah tidak dapat menangani masalah ini sendiri baik preventif maupun
kuratif tanpa bersinergi dengan pihak lain yaitu organisasi kesiswaan, orang
tua, mitra guru, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, bahkan tenaga administrasi
sekolah.
Mayoritas
korban cyberbullying tidak melaporkan kepada pihak sekolah dan orang tua karena
malu dan
takut terhadap ancaman pelaku
dan khawatir akan kehilangan akses internet sebagai upaya
memisahkan korban dari pelaku.
Akibatnya,
banyak korban lebih suka diam
atau meminta
bantuan dengan tanpa
menyebutkan identitas melalui internet pada
aplikasi-aplikasi “curhat” online yang banyak tersedia di internet. Tetapi hal ini
terkadang malah akan memperumit masalah yang dialami korban. Akan tetapi jika
dikelola dengan baik fasilitas “curhat” atau aduan online inipun dapat menjadi
sarana solusi terhadap praktek cyberbullying (Vollink, Dehue, & Lechner, 2014)
Satu
hal yang harus diperhatikan adalah jika pihak sekolah mendapat aduan adanya
praktek cyberbullying, maka sekolah harus segera merespons. Pihak sekolah harus memberikan sosialisasi pada
seluruh siswa, jika mengetahui prakter cyberbullying dan bahkan
jika menjadi korban harus
berani melaporkan pada pihak sekolah agar praktek cyberbullying tidak
semakin meningkat
(Morgan, 2013).
Berikut
ini beberapa saran solusi bagi pihak sekolah, orang tua, dan siswa dalam rangka
pencegahan dan kuratif terhadap praktek cyberbullying yang diutarakan
oleh Justice dan Hooker (2016).
Saran bagi Pihak Sekolah
- Sekolah memastikan bahwa semua siswa, dewan guru, dan tenaga administrasi mendapatkan kesempatan untuk belajar, mengajar dan bekerja di lingkungan sekolah yang bebas dari rasa takut dan intimidasi.
- Mempelajari dan menindaklanjuti kebijakan-kebijakan terkait perundungan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
- Membentuk Satuan Tugas cyberbullying dan bullying yang anggotanya terdiri dari guru, orang tua/komite sekolah, siswa, pengawas sekolah dan kepolisian.
- Memberikan sosialisasi dan pelatihan bagi seluruh siswa, dewan guru, komite sekolah, tenaga administrai, dan orang tua terkait usaha preventif dan kuratif perilaku cyberbullying.
- Berkoordinasi dengan pihak sekolah lain, karena praktek cyberbullying juga banyak terjadi pada siswa antar sekolah
- Membuat sistem pelaporan anonim - karena siswa takut akan hukuman, takut akan pembalasan dari pelaku, malu, mereka jarang melaporkan insiden cyberbullying. Dengan membuat sistem pelaporan anonim, korban dan saksi dapat melaporkan cyberbullying tanpa khawatir.
- Selidiki semua laporan tentang cyberbullying dengan menjamin kerahasiaan nama korban dan saksi serta memberikan hukuman kepada para pelaku.
- Memberikan dukungan kepada korban dengan memfasilitasi layanan konseling dan atau alih kasus ke psikiater dan pihak berwajib kepolisian jika praktek cyberbullying sudah berdampak pada ranah hukum.
- Keamanan cyberbullying tidak hanya diprioritaskan bagi siswa tapi juga bagi dewan guru dan tenaga administrasi sekolah.
- Mensosialisasikan keseluruh siswa penggunaan teknologi yang baik dan benar.
- Menciptakan lingkungan sekolah yang positif dan tidak mentolerir perilaku kasar seperti cyberbullying.
Saran bagi orang tua
- Sering berkomunikasi dengan anak secara teratur.
- Rutin mengamati perilaku dan perkembangan anak. Jika ada hal yang mencurigakan lakukanlah diskusi dan komunikasi dengan anak.
- Pertimbangkan memblokir perangkat lunak yang dimiliki anak baik smartphone, PC komputer, maupun laptop atas konten-konten pornografi dan kekerasan.
- Sempatkan mengikuti segala kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Bacalah kebijakan dan informasi tentang tindakan cyberbullying yang ditetapkan oleh sekolah dan ikut berpartisipasi dalam satuan tugas cyberbullying yang dibentuk oleh pihak sekolah.
- Buatlah aturan keluarga terkait pembatasan penggunaan internet dan gadget.
- Menjadi orang tua yang melek teknologi.
- Ikut mendampingi anak saat berselancar di dunia maya khususnya media sosial.
- Orang tua harus rutin memperhatikan apa yang di-posting-kan anak secara online. Tidak selamanya anak menjadi korban cyberbullying, kemungkinan anak justru pelaku cyberbullying.
- Jika anak menjadi korban cyberbullying';
- Jangan bereaksi berlebihan, lakukan komunikasi terbuka dengan anak.
- Cetak semua pesan yang bersifat perundungan, jangan hapus pesan dan kontak pelaku sebagai barang bukti.
- Komunikasikan dengan pihak sekolah khususnya guru kelas atau guru BK.
- Pertimbangkan untuk menghubungi polisi jika pelaku cyberbullying telah melakukan ancaman yang membahayan fisik maupun psikologis.
- Minta anak untuk memblokir atau membatalkan pertemanan di dunia maya dengan pelaku untuk menghentikan lebih banyak pesan “jahat” yang diposting.
- Ajukan laporan keluhan ke situs website yang digunakan untuk melakukan cyberbullying.
- Pertimbangkan bantuan profesional, terutama dengan tekanan emosional yang disebabkan oleh pelaku cyberbullying. Misal mengajak anak untuk konsultasi kepada konselor atau psikiater.
Saran bagi siswa
- Berkomunikasi secara intens dengan orang dewasa baik orang tua atau guru.
- Memahami, menerima dan mentaati aturan yang dibuat oleh orang tua di rumah atau pihak sekolah.
- Jangan mencoba berteman dan bertemu dengan orang yang baru kenal di dunia maya tanpa konfirmasi kepada orang tua. Pahamilah bahwa teman haruslah orang yang terlihat di lingkungan sosial dan orang-orang yang kamu sayangi.
- Jangan mudah berbagi kata sandi kepada orang lain. Lakukan clear history di peramban setelah digunakan.
- Berpikirlah dua atau tiga kali sebelum memposting atau men-share sesuatu di dunia maya khususnya media sosial. Jika perlu diskusikan dahulu dengan orang tua atau guru.
- Jika menyaksikan cyberbullying, meskipun tidak terjadi pada diri sendiri maka lakukanlah sesuatu minimal melaporkan pada orang tua atau guru.
- Jika mengalami tindakan cyberbullying:
- Adukan kepada orang dewasa (orang tua, guru, konselor sekolah, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah)
- Jangan ikut larut dalam praktek cyberbullying dengan merespon perbuatan pelaku.
- Cetaklah/screenshot semua pesan, jangan hapus pesan dan kontak pelaku.
- Blokir atau batalkan pertemanan dengan pelaku untuk menghentikan lebih banyak pesan yang diposting
- Ajukan keluhan ke situs website yang digunakan untuk melakukan cyberbullying.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan ringkas diatas dapat diambil beberapa poin penting sebagai
kesimpulan.
- Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara darurat cyberbullying melihat dari tingginya peringkat hasil PISA dimana Indonesia menempati peringkat kelima tertinggi dengan prosentase 41,1% dari 78 negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
- Selain mengalami perundungan, murid di Indonesia mengaku sebanyak 15% mengalami intimidasi, 19% dikucilkan, 22% dihina dan barangnya dicuri. Selanjutnya sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam, 18% didorong oleh temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya disebarkan. Mirisnya, korban perundungan banyak terjadi pada siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
- Praktek cyberbullying bagi siswa adalah masalah yang sangat rumit sehingga pihak sekolah tidak dapat menangani masalah ini sendiri baik preventif maupun kuratif tanpa bersinergi dengan pihak lain yaitu organisasi kesiswaan, orang tua, mitra guru, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, bahkan tenaga administrasi sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Feinberg, T. & Robey, N. (2009). Cyberbullying: School leaders
cannot ignore cyberbullying but rather must understand its legal and
psychological ramifications. Principal Leadership, 9 (1),
26-31.
Garaigordobil, M., & Martinez-Valderrey, V.
(2015). Effects of cyberprogram 2.0 on “face-to-face” bullying, cyberbullying,
and empathy. Psicothema, 27 (1),
45-51.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/berapa-pengguna-media-sosial-indonesia, diakses pada 09 maret 2020.
Jacobs, N., Vollink,
T., Dehue, F., & Lechner, L. (2014). Online Pestkoppenstoppen: Systematic
and theory-based development of a web-based tailored intervention for
adolescent cyberbully victims to combat and prevent cyberbullying. BMC
Public Health, 14 (1), 396-400
Justice, L. J. & Hooker, S.D. (2016). Creating digital safe spaces for gender
expression and sexual diversity. In Dreon, O. & Polly, D. (Eds.), Handbook
of Research on Teacher Education for Ethical Professional Practice in the 21st
Century. IGI Global Publishing.
Morgan, H. (2013). Malicious use of technology: What
schools, parents, and teachers can do to prevent cyberbullying. Childhood
Education, 89 (3), 146-151.
OECD (2019). PISA
2018 Result; Combined Executive Summaries Volume I, II, III. OECD Publisher
Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2012). School-based
efforts to prevent cyberbullying. The Prevention Researcher, 19 (3),
7-9.
Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2015). Bullying Beyond the Schoolyard: Preventing and Responding
to Cyberbullying (2nd
edition). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Wahsun
wahsunlpmpjatim@gmail.com
Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda
LPMP
Jawa Timur
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak