Rabu, 30 November 2022

MAJENUN SEJAK BERJUMPA LAILA



“Laila…..Laila….Lailaaaaa” ocehan Qois tiada henti.

“lihatlah Qois…dia sekarang sudah gila….sudah jadi majnun sejak bertemu Laila” kata orang.

“Qois gila….Qois gendeng….Qois majnun” ejek anak-anak kecil sembari melemparinya dengan batu.

“laila…..laila….lailaaaa….” hanya ini kata yang kembali keluar dari mulut Qois.

Sejak saat itu…terkenallah Qois bin Maluh, putera seorang raja dengan julukan si majnun Laila (orang yang tergila-gila dengan Laila).

Suatu hari, Qois melihat anjing milik Laila berjalan di sebuah jalan, segera Qois mengejar anjingnya Laila itu berharap bisa berjumpa dengan pemilik si anjing…siapa lagi jika bukan Laila.
Di perjalanan mengejar anjing menuju rumah Laila, Qois melewati sebuah masjid saat orang-orang sedang sholat. Ia tidak berhenti dan terus berjalan. Ketika kembali dari rumah Laila ia kembali melewati masjid tadi. Disana ia ditanya “hai Qois, mengapa engkau tadi tidak berhenti dan ikut sholat bersama kami??”.

Qois menjawab “demi Allah!!! Aku tidak melihat kalian”. “demi Allah!!! Andaikan kalian betul-betul mencintai Allah sebagaimana aku mencintai Laila pasti kalian tidak akan melihatku saat sholat tadi”. “kaliah sedang berdiri dihadapan Allah masih bisa melihatku, sedangkan aku baru berada dibelakang anjingnya Laila saja sudah tidak bisa melihat kalian”. “cinta kalian kepada Allah belum benar!!!”, “ulanglah sholat kalian!!!”.
Aku berjalan melintasi rumahnya Laila, kucium dinding itu, dinding itu, semua sudut-sudut rumah titik-titiknya kuciumi. Cinta di dadaku bukanlah untuk dinding-dinding rumah, namun cinta pada siapa yang tinggal di dalamnya….Laila”. “sedangkan kalian, sibuk menciumi lantai rumah Allah tapi tidak ada sedikitpun rasa cinta di dada kalian pada Sang Pemilik Rumah”.
 
Orang-orang pun terdiam juga sebagian mencemooh….”dasar majnun”.

Qois tidak peduli…dia tinggalkan orang-orang sambil terus menikmati rasa dzauq-nya dan tetap berguman….Laila…..Laila….Lailaaaa......hingga ketemu fana-nya.



 

30 Desember 2022, antara Pacitan – Surabaya
Pukul 01:58 dini hari
Siapakah "Laila"?????
bagaimanakah rasa dzauq itu???
bagaimana rasa fana itu???
 
 







epilog:
Di akhir kisahnya, seorang sufi dalam mimpinya melihat Majnun tengah dibelai dengan penuh rasa cinta dan sayang oleh Allah SWT, kemudian ia pun mendudukkan Majnun disamping-Nya. Kemudian berkata lah Allah SWT kepada Majnun “apakah engkau tidak malu wahai Qais memanggil-manggil nama-Ku dengan sebutan Laila, setelah kau meminum anggur Cintaku?”

Senin, 21 November 2022

JARUM SEJARAH PENGETAHUAN

Seiring dengan berkembangnya Abad Penalaran, maka konsep dasar menjadi berubah dari "persamaan" kepada "perbedaan". Mulailah terdapat perbedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan, dan konsekuensinya dapat mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan, setidaknya berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan untuk apa pengetahuan tersebut digunakan.

Mungkin Anda pernah mendengar seorang tukang obat yang menawarkan panacea (obat segala macam penyakit) di kaki lima yang berkata : "Untuk urat kaku, pegal linu, darah tinggi, sakit bengek, eksim, keputihan, susah tidur, kurang nafsu makan, kurang jantan...., minumlah kapsul ini tiga kali sehari, diguyur dengan air minum, yang hamil dilarang minum....!!!". Raja obat yang konon katanya mampu mengobati berbagai macam penyakit ini adalah "warisan" dari zaman dulu, dimana pada waktu itu perbedaan antara wujud yang satu dengan wujud lainnya masih belum dilakukan.

Pada masyarakat primitif, perbedaan antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum begitu nampak, mungkin karena belum adanya "pembagian pekerjaan". Seorang ketua suku, misalnya, bisa saja merangkap hakim, penghulu yang menikahkan, panglima perang, guru besar (mufti), sesepuh, dan lain-lain. Sekali dia menempati status tertentu, maka biasanya status itu tetap, ke mana pun dia pergi. Sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu hakikatnya hanya satu.

Sekali menjadi seorang ahli, maka seterusnya dia akan menjadi seorang ahli. "Jadi kalau sekarang kita melihat seorang professor psikiatri mencantumkan gelar/titelnya waktu main ketoprak, maka gejala ini dapat dianggap sebagai sindrom tempo doeloe, kan...?", tanya seseorang pada sebuah seminar. "...Tahu ! Habis contohnya professor psikiatri, sih. Jadi membuka lorong ke arah penafsiran yang lain", jawab seorang ketua panitia.

Jadi kriteria persamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya "kabur" dan "mengambang". Tidak ada batas-batas yang jelas antara obyek yang satu dengan obyek yang lain, antara wujud yang satu dengan wujud yang lain.

Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17. Sebelum Charless Robert Darwin menyusun Teori Evolusi-nya, kita sering menganggap bahwa semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama.

Jadi, adalah wajar kalau dalam kurun waktu tersebut tidak ada perbedaan antara berbagai pengetahuan. Segala apa yang kita ketahui adalah pengetahuan; apakah itu cara memburu gajah, cara mengobati sakit gigi, cara menentukan kapan harus bercocok tanam, atau barangkali biografi para bidadari di khayangan, dan sebagainya. Intinya, semua itu adalah satu; apakah itu obyeknya, metodenya, atau kegunaannya, dan lain-lain.

Metode ngelmu yang akhir-akhir ini mulai ngepop lagi, yang tidak membedakan antara berbagai jenis pengetahuan, mungkin bisa dianggap sebagai metode yang bersifat universal pada waktu itu. Namun dengan berkembangnya Abad Penalaran, maka konsep dasar pun berubah dari "persamaan" menjadi "perbedaan".

Salah satu cabang pengetahuan yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu, yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, terutama dalam segi metodenya. Sedangkan yang namanya metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang merupakan paradigma sejak Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu, dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya, bagaimana cara mendapatkannya, dan untuk apa ilmu itu digunakan.

Diferensiasi dalam bidang ilmu dengan cepat terjadi. Secara metafisik, ilmu sudah mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, mulailah dibeda-bedakan antara ilmu-ilmu alam (natural sciences) dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Dari cabang ilmu yang satu, sekarang ini diperkirakan berkembang lebih dari 665 ranting disiplin keilmuan (lihat Ruang Lingkup Penjelajahan Ilmu). Pembedaan yang makin terperinci ini menimbulkan keahlian yang makin spesifik pula.

"...Saya adalah Dokter Fulan, ahli burung betet betina". Begitulah ungkap seseorang dalam "abad spesialisasi" ini memperkenalkan dirinya. Jadi tidak lagi ahli zoologi, atau ahli burung, atau juga ahli betet, melainkan khas betet betina.

"Ceritakan, Dok, bagaimana cara membedakan antara burung betet betina dengan burung betet jantan....?!", tanya seorang pemuda, yang kebetulan bukan dokter.

"Burung betet jantan makan cacing betina, sedangkan burung betet betina makan cacing jantan....", jawab pak dokter. "Lalu bagaimana cara membedakan antara cacing jantan dengan cacing betina ?", tanya pemuda lagi. "Wah, itu di luar profesi dan keahlian Saya, Mas! Anda harus bertanya kepada seorang ahli cacing...!", jawab sang dokter dengan keringat dingin.

Makin ciutnya kapling masing-masing disiplin keilmuan, itu bukan berarti tidak akan menimbulkan masalah. Sebab dalam kehidupan nyata, seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang dihadapi tentu begitu banyak dan bersifat jelimet, acakadut, pabeulit, paburantak, dan sebagainya. Menghadapi kenyataan seperti ini, ada lagi orang-orang yang ingin memutar "jarum sejarah" kembali dengan mengaburkan batas-batas otonomi masing-masing disiplin keilmuan.

Dengan dalih pendekatan inter-disipliner, maka berbagai disiplin keilmuan dikaburkan batas-batasnya; perlahan-lahan menyatu dalam kesatuan yang berdifusi, seperti semboyan Tiga Musketir dari Alexander Dumas : "....Tous pour un, un pour tous !". (Bahkan kapling moral mulai digabungkan kembali dengan kapling ilmu secara metafisik).

Pendekatan inter-disipliner memang merupakan keharusan, tetapi tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang sudah berkembang berdasarkan route-nya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru.

Paradigma ini adalah bukan saja ilmu, melainkan "sarana berpikir ilmiah", seperti Logika, Matematika, Statistika, dan Bahasa. Setelah Perang Dunia II, muncullah paradigma "konsep sistem" yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengkajian bersama antar-disiplin keilmuan.

Jelaslah kiranya bahwa pendekatan inter-disipliner bukan merupakan fusi antara disiplin keilmuan yang bisa menimbulkan "anarki" keilmuan, tetapi suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap-tiap disiplin keilmuan dengan otonominya masing-masing saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji suatu obyek (maudhu) yang menjadi kajian bersama.

Hendrik William Van Loon dalam bukunya, The Story of Mankind pernah mengeluh : "Ah, ingin rasanya saya menuliskan sejarah dengan satu suku kata....".

"Satu suku kata mungkin tidak bisa, namun ada satu kalimat yang patut diingat oleh mereka yang mendalami perkembangan ilmu !", jawab seorang ilmuwan.

"Yakni....?".
"jangan putar jarum sejarah....!!!".


note: ditulis ulang dari tulisan Prof. Jujun S. Suriasumatri dalam bukunya "Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer" hal. 101-10 dengan sedikit perubahan.



Sabtu, 19 November 2022

SEAMLESS LEARNING SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN DI MASA DEPAN. MUNGKINKAH????

Penulis: Wahsun (Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda Kemdikbudristek)

Pandemi covid-19 mengakibatkan perubahan diberbagai bidang termasuk dalam bidang Pendidikan. Perubahan tersebut diantaranya adalah model pembelajaran yang semula bersifat konvensional terpaksa berubah menjadi daring dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Sisi baiknya para pendidik menjadi “tidak latah” lagi dengan teknologi. Guru-guru sudah mulai mengenal sarana-sarana belajar digital dan mencoba berimprovisasi memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran di kelas. Akan tetapi, karena sifatnya yang mendadak tentu implementasinya pun asal-asalan dan tidak terdesain dengan baik. Guru hanya sekedar buka aplikasi g-meet atau zoom dan memulai proses pembelajaran. Dengan kalimat lain, ruang kelas hanya berubah menjadi ruang daring, proses belajar tetap sama – guru menjelaskan, murid mendengarkan sambil mengantuk.

Selama masa pandemi, platform komunikasi yang paling banyak digunakan oleh guru adalah WhatsApp dalam pembelajaran online. Hal ini sebagaimana hasil survey penulis pada awal tahun 2020 dan berita hasil survey dapat dibaca pada laman BBPMP Provinsi Jawa Timur https://lpmpjatim.kemdikbud.go.id/site/detailpost/whatsapp-paling-diminati-untuk-pembelajaran-online. WhatsApp menjadi dominan karena mudah diakses karena guru dan siswa cukup membuka perangkat telepon genggam atau handphone. Lucunya, setelah pandemi Covid-19, pemanfaatan handphone sebagai media pembelajaran kembali menjadi tabu bahkan dibeberapa sekolah melarang kelas bagi siswa untuk membawa handphone masuk ke dalam kelas.

Padahal di era digital ini, handphone sebagai mobile device telah menjadi teknologi pervasive yang berpengaruh pada setiap sendi kehidupan manusia termasuk bidang pendidikan. Bahkan Kemdikbudristek juga sudah memulai project Transformasi Digital dalam bidang pendidikan salah satu contohnya adalah Massive Open Online Courses ala Kemdikbudristek yang diberi nama Platform Merdeka Mengajar. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya fungsi sebuah handphone yang tidak lagi hanya sebagai alat telpon-telponan saja tetapi menjadi alat selayaknya komputer sehingga dikenal dengan istilah ponsel cerdas atau smartphone.

Fitur yang paling utama pada sebuah smartphone adalah layanan high-speed internet access via wifi dan mobile broadband. Dengan demikian, pengguna smartphone dapat mengunduh beragam aplikasi dari internet. Dari segi fisik, juga mengalami evolusi, seperti layar sentuh, web browser, keyboard, GPS (Global Positioning System), in-built camera dan lain- lain.

Dengan dilengkapi berbagai fitur yang menyerupai sebuah komputer, saat ini panggilan telepon dan pesan teks dapat digunakan dengan memanfaatkan fasilitas jaringan data internet. Beberapa layanan komunikasi gratis diantaranya, WhatsApp, Telegram, Line, dan lain sebagainya. Selain layanan komunikasi, smartphone juga menyediakan aplikasi office layaknya sebuah aplikasi office pada komputer yang memungkinkan penggunanya membuat file baru, editing dan menyimpan file tersebut. Media penyimpanan sudah bukan menjadi masalah bagi sebuah smartphone, penggunanya sudah bisa memanfaatkan penyimpanan data berbasis cloud computing system. Beberapa layanan penyimpanan gratis berbasis cloud yang ditawarkan diantaranya Drop box, Google Drive, Skydrive, Box, Ubuntu One, Sugar Sync, dan lain sebagainya. Belum lagi kemampuan sebuah smarpthone untuk menikmati layanan video, tv dan radio streaming semakin melengkapi fitur yang dimiliki oleh sebuah smartphone.

Kekayaan fitur pada sebuah smartphone inilah yang memunculkan istilah “dunia dalam genggaman”. Konsep portabilitas, mobilitas, ubiquiti dan terhubung (connected), menjadikan berbagai aktifitas termasuk dalam bidang pendidikan dapat dilakukan hanya dengan menggunakan sebuah smartphone, dan penggunaannya dapat terjadi tanpa batas waktu dan ruang.

Begitu pentingnya peran sebuah smartphone dalam pembelajaran, sampai-sampai smartphone dimasukkan dalam suatu fase evolusi kematangan e-pembelajaran (e-learning) yaitu fase traditional, fase web-based, fase mobile, fase ubiquitous, dan fase seamless. Prof. Ucok (Zainal Hasibuan) dan kedua rekannya menggambarkan fase kematangan proses e-learning seperi gambar berikut (artikel dapat dibaca di url https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/978/1/012028/pdf).

Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa di Indonesia harapan capaian level kematangan e-pembelajaran masih jauh panggang dari api. Grafik tertinggi masih dilevel tradisional (guru ceramah di depan kelas). Semoga saja dengan fantastic project kemdikudristek yaitu Program Guru Penggerak dan Program Sekolah Penggerak di 2024 nanti sim salabim abra kadabra sudah masuk ke level Seamless Learning (tidak ada salahnya untuk bermimpi….hehe).

Untuk lebih menyemangati mimpi kita, penulis akan menuliskan sedikit tentang Mobile Seamless Learning (MSL) sebagai bekal saat kita terbangun nanti.

Secara harfiah Seamless berarti kontinuitas yang berlangsung secara halus. Istilah Seamless Learning pertama kali tidak dikaitkan dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran, baru pada tahun 2006, Chan dan kawan-kawan mendefenisikan Seamless Learning sebagai kontinuitas dalam pembelajaran dengan berbagai skenario yang menggunakan perangkat bergerak. Sedangkan penekanan dari Seamless Learning adalah, menudukung siswa untuk mengoptimalkan pengalaman belajar dan kepedulian mereka terhadap pengalaman yang abstrak dan yang konkrit.

Seaw dan rekan-rekannya (2008) menjelaskan bahwa harus ada enam komponen dari suatu Seamless Learning, yaitu space, time, context, community, cognitive tools, dan artifacts. (1) Space berarti eamless learning mendukung siswa agar dapat bergerak  secara lancar dan kontinyu antar ruang yang berbeda secara fisik dan virtual. (2) Time, waktu memegang peranan penting dalam mengembangkan sebuah pengamatan. Boleh jadi pengambilan data secara fisik dilakukan pada waktu bersamaan dalam konteks yang sama pula, misalnya dengan mengambil data di museum atau kebun binatang. (3) Context. Desain konteks sangat berpengaruh pada proses pembelajaran. Misalnya, pengambilan data dapat dilakukan dalam konteks formal di sekolah, dan kontinuitas dari pembelajaran ini dilakukan secara informal di luar sekolah. (4) Community. komunitas dalam lingkup Seamless Learning terdiri atas siswa, pendidik dan domain expert. (5) Cognitive Tools. Alat yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, seperti smartphone. Fitur smartphone yang digunakan umumnya untuk merekam data, mengambil gambar, mengunggah data ke online portal, dan lain sebagainya. Dan terakhir (6) Artifacts dimana objek berupa hasil kerja siswa yang dihasilkan dalam proses pembelajaran.

 


Dalam perjalanannya seamless learning pun berkembang dengan memanfaatkan perangkat mobile (smartphone) sehinggan diistilahkan menjadi Mobile Seamless Learning (MSL). Mobile Seamless Learning (MSL) merupakan dampak daripada perkembangan teknologi yang mengubah paradigma dalam pendidikan, pembelajaran berkembang sudah di luar konteks pembelajaran tradisional pada umumnya. Sehingga menjadikan tantangan pendidikan dalam era digital ini adalah bukan lagi hanya berfokus pada konten apa yang akan dipelajari namun telah berkembang menjadi bagaimana dan kapan pembelajaran tersebut terjadi. Belajar mengajar tidak lagi terbatas di kelas, namun pembelajaran dapat terjadi kapan dan dimana saja tanpa terikat waktu dan ruang. Keberadaan perangkat bergerak seperti smartphone inilah yang mendukung pembelajaran diluar konteks tersebut.

Menurut Looi dan kawan-kawan (2009), portabilitas dan fleksibilitas dari sebuah perangkat bergerak sangat berpotensi mendukung peralihan pedagogi dari pembelajaran berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Dalam hal ini, pendidik bukan lagi satu-satunya sumber belajar, namun pendidik bertindak sebagai fasilitator dan partner dalam belajar.

Rogers dan Price (2009) mengemukakan beberapa keunggulan menggunakan teknologi bergerak dalam implementasi Seamless Learning, yakni: dapat meningkatkan motivasi siswa; meningkatkan partisipasi siswa dalam aktifitas belajar dan mengembangkan proses sosial dan kognitif siswa; membuka wawasan siswa terhadap berbagai bentuk informasi. Mereka menyimpulkan bahwa ada tiga tantangan dalam mendesain Seamless Learning dengan menggunakan teknologi bergerak, yaitu: 1) menghindari informasi yang berlebih, 2) menghindari apek yang dapat menyebabkan fokus perhatian siswa teralihkan oleh perangkat tersebut, 3) memahami kendala dalam mendukung kolaborasi siswa yang terjadi secara alami dalam kaitan konteks sosial.

Pentingnya pemahaman  bagaimana proses interaksi sosial dapat berimbas pada situasi pembelajaran berbasis kolaborasi yang terjadi pada skenario Seamless Learning. Proses socio-affective tersebut menjadi  semakin penting ketika kendala lingkungan belajar secara fisik dan sosial yang berbeda terjadi pada konteks, tempat dan waktu yang berbeda. Pada intinya, bagaimana pendidik dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam interaksi sosial yang kompleks dengan menggunakan berbagai jenis peralatan termasuk digital dan nondigital dalam meningkatkan aktifitas belajar (Otero dkk, 2011).

Wong dan Looi (2011) membuat 10 dimensi Mobile Seamless Learning environment yaitu; (1) MSL1: mencakup pembelajaran formal dan informal, (2) MSL2: mencakup pembelajaran yang bersifat personal/pribadi dan sosial, (3) MSL3: pembelajaran yang terjadi dengan melintas waktu, (4) MSL4: pembelajaran yang terjadi dengan melintas lokasi, (5) MSL5: akses pengetahuan berbasis ubiqitous (sebuah kombinasi dari context-aware learning, augmented reality learning, and akses secara ubiqitous terhadap sumber belajar yang berbasis daring atau online) , (6) MSL6: mencakup dunia digital dan non digital, (7) MSL7: Menggabungkan penggunaan berbagai tipe perangkat, (8) MSL8: Seamless dan peralihan yang cepat antar beberapa learning tasks (seperti data collection + analysis + communication), (9) MSL9: sintetis pengetahuan (pengetahuan sebelumnya dan sekarang serta multiple levels dari keterampilan berfikir dan / atau pembelajaran multidisiplin), dan (10) MSL10: mencakup multiple pedagogical atau model aktifitas belajar (difasilitasi oleh pendidik).

Menurut Wong (2012), visualisasi MSL yang ada pada gambar tersebut merupakan gambaran ekologi dari MSL yang menempatkan siswa sebagai pusat belajar atau learner-centric. Penempatan siswa sebagai learner-centric bukan berarti mereka  merupakan  pusat perhatian pendidik semata, namun merupakan pusat penghasil pengetahuan yang terjadi pada berbagai konteks dalam multidimensi ruang pembelajaran. Dalam hal ini,  MSL  adalah bukan hanya tentang bagaimana pembelajaran dimana saja dan kapan saja, namun  pembelajaran adalah sesuatu yang terjadi secara terus menerus yang lintas konteks.

Telah banyak hasil-hasil penelitian terkait Mobile Seamless learning yang telah dipublikasikan. Penulis tidak akan bercerita  Yang terpenting saat ini adalah bagaimana para pendidik berniat akan memulai dan para Instructional Designer akan membantu para guru mewujudkan niatnya tersebut. Tanpa ada kordinasi dan kolaborasi antara dua jabatan ini tentulah harapan capaian level kematangan e-pembelajaran sulit terwujud, jangankan di 2024 bahkan di 2042 pun bakal tidak mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Chan, T. Dkk. (2006). One-to-one technology-enhanced learning: An opportunity for global research collaboration. Research and Practice in Technology Enhanced Learning, 1(1), pp.3- 29.

Looi, C.-K. Dkk. (2009) Leveraging Mobile Technology for Sustainable Seamless Learning: a Research Agenda“. British Journal of Educational Technology 41 (2): pp.154–169.

Otero, N. Dkk. (2011) ‘Challenges in designing seamless-learning scenarios: affective and emotional effects on external representations’, Int. J. Mobile Learning and Organisation, Vol. 5, No. 1, pp.15–27.

Rogers, Y. and Price, S. (2009) ‘How mobile technologies are changing the way children learn’, in A. Druin (Ed.), Mobile Technology for Children. Morgan Kaufmann, pp.3–22.

Seow, P. Dkk. (2008).Towards A Framework for Seamless Learning Environments. Proceeding ICLS'08 Proceedings of the 8th international conference on International conference for the learning sciences - Volume 2 Pages 327- 334.

Wong.L.-H.(2012). A Learner-centric View of Mobile Seamless learnning. British Journal of Educational Technology. Vol 43,No.1. doi:10.1111/j.1467-8535.2011.01245.x

Wong.L.H and  Looi. C.-K.(2011). What Seams Do We Remove in Mobile Assisted Seamless Learning? A Crtical Review of The literature. Computers & Education. 57.4.2364-2381



Senin, 14 November 2022

“SURGA DUNIA” BUATAN MANUSIA BAGI TIKUS

Jika ditanya, apakah ada suatu tempat yang terbebas dari rasa lapar, rasa takut, dan rasa lelah. Tempat yang penuh kenikmatan tanpa ada rasa gundah gulana, tanpa ada rasa permusuhan dan dendam kesumat. Tempat dimana manusia tidak perlu lagi khawatir pada makanan, tempat tinggal, pendidikan, atau pekerjaan, sebab semua yang kita perlukan untuk hidup sudah tersedia kapan saja. Tempat dimana tidak ada lagi para jomblo kesepian yang harus takut tidak bisa menikah. Sebab kenikmatan seks bisa dinikmati kapanpun, dengan siapapun, berapa kalipun, bebas. Ingin memiliki anak atau tidak memiliki anak, bebas. Bahkan, manusia tidak perlu lagi beribadah karena takut pada Tuhan. 

Pasti semua sepakat menjawab “SURGA”. Tapi apa mungkin ada surga dunia??? Pertanyaan inilah yang akan dijawab oleh seorang peneliti bernama Prof. John Calhoun. Melalui penelitiannya, Calhoun mencoba menciptakan “surga dunia” yang diujicobakan pada sekelompok tikus. Penelitian tersebut dimulai sejak tahun 1954 sampai dengan 1972 dan di kemudian hari dikenal dengan nama eksperimen Universe 25. 

Melalui eksperimennya, Coulhon ingin mempelajari apa yang terjadi jika makhluk hidup dikasih suplai makanan dan minuman tanpa batas di ruang tertutup dan ruang yang terbatas yang sudah dikondisikan. Jadi di kandang tersebut makanan dan minuman tinggal ambil dan tidak terbatas. Ada tempat bersarangnya juga dan kandang tersebut dibuat untuk dapat menampung sampai dengan 3000 tikus. Suhu di kandang juga diatur agar tikus-tikus didalamnya dapat terus merasa nyaman dan aman dari predator. Dengan situasi ini kandang tersebut dapatlah jika disebut sebagai “surga tikus”. Bagaimana tidak, di surga” ini para tikus dapat makan minum yang tinggal ambil, tidak lagi beresiko kena perangkap seperti di dunia luar. Dan yang lebih nyaman lagi, di surga tikus pasangan sudah tersedia dan sama sekali tidak ada predator jadi mereka bisa hidup dengan damai. Aktifitasnya ya cuma makan-kawin-tidur-makan-kawin-tidur…..hehehehe. 

Eksperimen dimulai dengan menaruh empat pasang tikus di dalam kandang. Empat jantan dan Empat betina. Sebelum di masukkan kedalam kandang, tikus-tikus sudah dibersihkan sampai steril, agar tidak ada kuman yang menempel di badan tikus. Setelah didalam kandang, tikus-tikus hidup bahagia karena semua kebutuhan tikus sudah terjamin termasuk pemenuhan hasrat berkembang biak. Populasi jumlah tikus semakin hari bertambah dengan cepat. Pergerakan penambahan jumlah tikus bisa dlihat dari grafik berikut.

Dari grafik tersebut terlihat dimana pada awalnya hanya empat pasang tikus bertambah dengan cepat hingga pada hari ke 560 bertambah menjadi 2200 ekor. Akan tetapi setelah sampai 2200 ekor bisa kita lihat populasi mulai kembali turun. Padahal kandang “surga” didesain dapat memuat hingga 3000 ekor tikus. Tetapi ternyata mentoknya di 2200 ekor.  

Calhoun mencatat proses naik turunnya grafik penambahan populasi tikus tersebut dibagi menjadi empat periode. Periode pertama disebut dengan periode penyesuaian diri. Ini terjadi sejak empat pasang tikus dimasukkan kedalam kandang sampai 100 hari kemudian. Di periode ini jumlah populasinya menanjak tapi belum terlalu signifikan. Periode kedua disebut dengan periode eksploitasi dan terjadi di 250 hari setelahnya. Di periode ini, setiap 60 hari jumlah populasi tikus selalu bertambah dua kali lipat. Di periode ini penggunaan sumber makanan dan minuman terpantau tidak merata, ada tempat makan yang ramai dikerumuni tikus tapi ada juga tempat makan yang sepi dari tikus. Padahal tempat makan dan minum sudah dibagi sama rata disetiap sisi kandang. Dan di periode kedua ini, tikus-tikus sudah mulai hidup berkelompok. Mereka kemana-mana selalu bersama kelompoknya dan mereka sama sekali tidak percaya kepada tikus lain diluar kelompoknya (sudah mirip seperti manusia saat ini).  

Di dalam kandang sudah ada beberapa kelompok tikus, ada kelompok tikus good looking (selalu terlihat bersih), ada kelompok tikus jelek, ada kelompok kuat, ada kelompok tikus lemah. Jumlah anggota kelompok juga beragam, ada yang anggotanya banyak dan ada kelompok tikus yang anggotanya sedikit. Inilah kenapa akhirnya tempat makan juga ada yang ramai dan ada yang sepi tergantung kelompok mana yang mendekati dan menguasai tempat makan itu. 

Periode ketiga terjadi di 300 hari berikutnya dan disebut dengan periode equilibrium. Di periode ini John Calhoun menyadari jika pertumbuhan tikus-tikus jadi melambat tidak seperti kedua periode sebelumnya. Menurut Calhoun, ada beberapa penyebabnya seperti ditemukan beberapa perilaku tikus yang tidak wajar. Perilaku kekerasan semakin sering terjadi didalam kandang. Kelompok tikus yang kuat semakin sering menindas kelompok tikus yang lemah. Sudah pasti alasannya bukan karena rebutan makanan karena didalam kandang sudah tersedia makanan yang melimpah. Menurut Calhoun, kemungkinan besar penyebab penyerangan terjadi hanya karena berbeda kelompok saja dan tanpa alasan yang jelas. Alhasil, kelompok tikus yang lemah sering berkumpul tetapi malah sering menyerang sesama tikus bahkan beberapa tikus jadi target rutin “bully” tikus lainnya. Tikus-tikus korban bully bisa dilihat dari banyaknya bekas gigitan di badan dan ekor mereka dan mereka membentuk kelompok sendiri. Dengan kata lain, diantara tikus lemah mencari lagi siapa yang terlemah dan akan dijadikan pelampiasan. 

Selain itu, ada juga kelompok tikus-tikus muda yang yang perilakunya aneh dan perilaku mereka ini tidak ditemukan di orang tua mereka dan tidak ditemui di generasi sebelum mereka. John Calhoun menamakan tikus-tikus muda ini dengan the beautiful ones. Kehidupan kelompok the beautiful ones ini cuma dihabiskan untuk makan, tidur dan merawat diri.  Mereka tidak pernah berinteraksi dengan tikus lain, tidak pernah melakukan aktifitas dewasa, dan bersikap antisosial. Akan tetapi,  meskipun tikus-tikus the beautiful ones ini terlihat cantik, bersih dan sehat, kelompok ini cenderung lebih bodoh dari tikus-tikus lainnya. sudah kebayangkan bagaimana perilaku tikus-tikus tersebut sudah ada kemiripan dengan kelompok-kelompok manusia saat ini!!. 

Periode terakhir (keempat) disebut dengan periode kematian. Di periode ini tikus mulai menuju kepunahan. meskipun kandang didesain dapat nampung sampai lebih dari 3000 ekor tikus tapi ternyata populasinya mentok di 2200 ekor dan mulai menurun. Di periode ini masing-masing tikus mulai tidak peduli dengan tikus tikus lainnya bahkan sudah mulai semakin bersikap antisosial. John Calhoun menyimpulkan kalau tikus-tikus ini tidak bisa berinteraksi berulang-ulang dengan begitu banyak tikus tetapi hanya tikus-tikus itu saja. Bayangkan saja, dalam kandang seukuran tersebut yang isinya 2200 ekor tikus kemungkinan bertemu sesama tikus sangat besar sehingga kekerasan akan semakin meningkat. Karena tikus-tikus yang tua semakin suka main serang akhirnya semakin sedikit tikus muda yang bisa bertahan hidup sampai dewasa.  

Karena antar tikus sudah saling curiga dan suka menyerang, tikus betina menjadi bersikap menjauh jika didekati tikus jantan. Kalaupun ada yang berhasil berkembang biak, biasanya bayi-bayinya akan ditinggal oleh induknya. Alhasil bayi-bayi tikus ini akan mati kelaparan atau mati diserang oleh tikus dewasa. Dan tragisnya, karena tikus betina tidak bisa didekati, akhirnya tikus-tikus jantan banyak yang menjadi pelaku suka sesama jenis. Karena banyak kasus-kasus yang terjadi setelah populasi tikus membludak akhirnya tikus-tikus pun menuju kepunahan. 

Eksperimen tidak hanya dilakukan sekali, tetapi dilakukan beberapa kali. Periode pertama dilakukan pada tahun 1958 - 1962, periode kedua dari tahun 1968 - 1972. Berarti penelitian dilakukan oleh John Calhoun selama delapan tahun eksperimen. Tentu ini bukan waktu eksperimen yang sebentar. Selama delapan tahun, telah ada 25 eksperimen yang dilakukan. Garis besar eksperimennya hampir sama, hanya ada modifikasi sedikit atau jenis tikus yang diganti. Tetapi ending-nya selalu sama tikus-tikus berakhir dengan kepunahan. Akhirnya eksperimen ini diberi nama oleh Calhoun dengan Universe 25 atau the behavioural sink (wastafel perilaku). 

Penamaan wastafel karena perumpamaannya adalah berapun banyaknya air yang dituang ke wastafel pasti semua air akan masuk kedalam lobang sampai habis. Demikian juga dengan Behavioral sink, meskipun dikandang sudah terpenuhi semua kebutuhan tetapi tetap sama berujung pada kepunahan. Berarti kepunahan terjadi bukan karena kebutuhan tapi karena perilaku tikus-tikusnya sendiri yg membuat mereka “masuk lobang kepunahan. 

Setelah hasil dari eksperimen dirilis ke publik, ternyata menjadi kontroversi ada yang mendukung serta berterima kasih tetapi ada juga yang mengecam dan ada juga yang khawatir dan resah. Kelompok masyarakat yang merasa khawatir menganggap bahwa perilaku tikus selama dalam kandang “surga” serupa dengan perilaku manusia. Jadi mereka khawatir nantinya manusia juga akan punah gara-gara perilaku mereka sendiri bukan gara-gara bencana alam, mateor dan sebagainya. 

Sedangkan kelompok masyarakat yang mendukung dan berterima kasih karena dari eksperimen universe 25 dapat dilakukan eksperimen-eksperimen lain dengan tujuannya untuk mencegah manusia agar tidak masuk kedalam wastafel perilaku. Salah satunya adalah adanya penelitian tentang desain kota yang ternyata juga bisa berpengaruh terhadap penurunan perilaku negatif. Ada juga penelitian kesehatan mental yang mengkaji sisi hubungan antar manusia dan lain-lain. Dalam National Institute of Health, Jonathan Freedman seorang ilmuan psikologi menyatakan bahwa eksperimen yang dilakukan oleh John Calhoun mengajarkan bahwa kepadatan tidak hanya tentang jumlah orang tapi juga tentang interaksi derajat sosial.  

Kelompok yang mengecam hasil eksperimen mengatakan bahwa John Calhoun sudah melakukan “playing God atau sudah bermain sebagai Tuhan ke tikus-tikus dengan seolah-olah menciptakan surga dengan memberikan kenikmatan, akan tetapi setelah kondisi berubah menjadi neraka Calhoun justru membiarkan hingga akhirnya tikus-tikus ini punah.  

Meskipun penelitian ini menggunakan binatang, temuan tentang pertumbuhan populasi dan perilaku individu tikus menjadi perbandingan dekat dengan perilaku manusia. Kandang “surga” tikus universe 25 ibaratnya adalah dunia ini yang awalnya penuh dengan kenikmatan. Hanya sepasang manusia yang hidup di dunia ini yaitu Adam dan Hawa. Akhirnya berkembang dan berperilaku seperti perilaku tikus. Saling serang, saling jajah. Semua negara sudah mempunyai sumberdaya alam sendiri tetapi kenapa masih saja menjajah negara lain. Negara yang superpower saling berperang dengan alasan yang tidak jelas. 

Banyak peneliti yakin bahwa manusia sudah mencapai titik krusial di fase eksploitasi. Titik dimana keputusan penting harus dibuat dan dilaksanakan secara hati-hati jika manusia ingin bertahan hidup. 

Penulis akhiri tulisan ini justru dengan pikiran liar atas teori evolusinya Darwin. Menurut Darwin manusia adalah hasil perkembangan evolusi dari monyet. Agar tidak punah maka manusia harus berevolusi. Pertanyaannya adalah apakah kita akan berevolusi lagi semisal tumbuh tanduk di kepala atau tumbuh ekor dibelakang….ah entahlah!!!

Syekh Jabarantas
Situbondo, 12 November 2022