Seiring dengan berkembangnya Abad
Penalaran, maka konsep dasar menjadi berubah dari "persamaan" kepada
"perbedaan". Mulailah terdapat perbedaan yang jelas antara berbagai
pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan, dan
konsekuensinya dapat mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai
dibeda-bedakan, setidaknya berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara
mengetahui, dan untuk apa pengetahuan tersebut digunakan.
Mungkin Anda pernah mendengar seorang
tukang obat yang menawarkan panacea (obat segala macam penyakit) di kaki lima
yang berkata : "Untuk urat kaku, pegal linu, darah tinggi, sakit bengek,
eksim, keputihan, susah tidur, kurang nafsu makan, kurang jantan...., minumlah
kapsul ini tiga kali sehari, diguyur dengan air minum, yang hamil dilarang
minum....!!!". Raja obat yang konon katanya mampu mengobati berbagai
macam penyakit ini adalah "warisan" dari zaman dulu, dimana pada
waktu itu perbedaan antara wujud yang satu dengan wujud lainnya masih belum
dilakukan.
Pada masyarakat primitif, perbedaan
antara berbagai organisasi kemasyarakatan belum begitu nampak, mungkin karena
belum adanya "pembagian pekerjaan". Seorang ketua suku, misalnya,
bisa saja merangkap hakim, penghulu yang menikahkan, panglima perang, guru
besar (mufti), sesepuh, dan lain-lain. Sekali dia menempati status tertentu,
maka biasanya status itu tetap, ke mana pun dia pergi. Sebab organisasi
kemasyarakatan pada waktu itu hakikatnya hanya satu.
Sekali menjadi seorang ahli, maka seterusnya
dia akan menjadi seorang ahli. "Jadi kalau sekarang kita melihat seorang
professor psikiatri mencantumkan gelar/titelnya waktu main ketoprak, maka
gejala ini dapat dianggap sebagai sindrom tempo doeloe, kan...?", tanya
seseorang pada sebuah seminar. "...Tahu ! Habis contohnya professor
psikiatri, sih. Jadi membuka lorong ke arah penafsiran yang lain", jawab
seorang ketua panitia.
Jadi kriteria persamaan dan bukan
perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam
kesatuan yang batas-batasnya "kabur" dan "mengambang".
Tidak ada batas-batas yang jelas antara obyek yang satu dengan obyek yang lain,
antara wujud yang satu dengan wujud yang lain.
Konsep dasar ini baru mengalami
perubahan fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason)
pada pertengahan abad ke-17. Sebelum Charless Robert Darwin menyusun Teori
Evolusi-nya, kita sering menganggap bahwa semua makhluk adalah serupa yang
diciptakan dalam waktu yang sama.
Jadi, adalah wajar kalau dalam kurun
waktu tersebut tidak ada perbedaan antara berbagai pengetahuan. Segala apa yang
kita ketahui adalah pengetahuan; apakah itu cara memburu gajah, cara mengobati
sakit gigi, cara menentukan kapan harus bercocok tanam, atau barangkali
biografi para bidadari di khayangan, dan sebagainya. Intinya, semua itu adalah
satu; apakah itu obyeknya, metodenya, atau kegunaannya, dan lain-lain.
Metode ngelmu yang akhir-akhir
ini mulai ngepop lagi, yang tidak membedakan antara berbagai jenis pengetahuan,
mungkin bisa dianggap sebagai metode yang bersifat universal pada waktu itu.
Namun dengan berkembangnya Abad Penalaran, maka konsep dasar pun berubah dari
"persamaan" menjadi "perbedaan".
Salah satu cabang pengetahuan yang
berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu, yang berbeda dengan
pengetahuan-pengetahuan lainnya, terutama dalam segi metodenya. Sedangkan yang
namanya metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang
merupakan paradigma sejak Abad Pertengahan. Demikian juga ilmu, dapat dibedakan
dari apa yang ditelaahnya, bagaimana cara mendapatkannya, dan untuk apa ilmu
itu digunakan.
Diferensiasi dalam bidang ilmu dengan
cepat terjadi. Secara metafisik, ilmu sudah mulai dipisahkan dengan moral.
Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, mulailah dibeda-bedakan antara ilmu-ilmu
alam (natural sciences) dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Dari cabang
ilmu yang satu, sekarang ini diperkirakan berkembang lebih dari 665 ranting
disiplin keilmuan (lihat Ruang Lingkup Penjelajahan Ilmu). Pembedaan yang makin
terperinci ini menimbulkan keahlian yang makin spesifik pula.
"...Saya adalah Dokter Fulan,
ahli burung betet betina". Begitulah ungkap seseorang dalam
"abad spesialisasi" ini memperkenalkan dirinya. Jadi tidak lagi ahli zoologi,
atau ahli burung, atau juga ahli betet, melainkan khas betet betina.
"Ceritakan, Dok, bagaimana cara
membedakan antara burung betet betina dengan burung betet jantan....?!", tanya
seorang pemuda, yang kebetulan bukan dokter.
"Burung betet jantan makan
cacing betina, sedangkan burung betet betina makan cacing jantan....", jawab pak
dokter. "Lalu bagaimana cara membedakan antara cacing jantan dengan
cacing betina ?", tanya pemuda lagi. "Wah, itu di luar profesi
dan keahlian Saya, Mas! Anda harus bertanya kepada seorang ahli
cacing...!", jawab sang dokter dengan keringat dingin.
Makin ciutnya kapling masing-masing
disiplin keilmuan, itu bukan berarti tidak akan menimbulkan masalah. Sebab
dalam kehidupan nyata, seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang
dihadapi tentu begitu banyak dan bersifat jelimet, acakadut, pabeulit, paburantak,
dan sebagainya. Menghadapi kenyataan seperti ini, ada lagi orang-orang yang
ingin memutar "jarum sejarah" kembali dengan mengaburkan batas-batas
otonomi masing-masing disiplin keilmuan.
Dengan dalih pendekatan inter-disipliner,
maka berbagai disiplin keilmuan dikaburkan batas-batasnya; perlahan-lahan
menyatu dalam kesatuan yang berdifusi, seperti semboyan Tiga Musketir dari Alexander Dumas : "....Tous pour un, un pour tous !". (Bahkan
kapling moral mulai digabungkan kembali dengan kapling ilmu secara metafisik).
Pendekatan inter-disipliner memang
merupakan keharusan, tetapi tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing
disiplin keilmuan yang sudah berkembang berdasarkan route-nya masing-masing,
melainkan dengan menciptakan paradigma baru.
Paradigma ini adalah bukan saja ilmu,
melainkan "sarana berpikir ilmiah", seperti Logika, Matematika, Statistika,
dan Bahasa. Setelah Perang Dunia II, muncullah paradigma "konsep
sistem" yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengkajian bersama
antar-disiplin keilmuan.
Jelaslah kiranya bahwa pendekatan inter-disipliner
bukan merupakan fusi antara disiplin keilmuan yang bisa menimbulkan
"anarki" keilmuan, tetapi suatu federasi yang diikat oleh suatu
pendekatan tertentu, dimana tiap-tiap disiplin keilmuan dengan otonominya
masing-masing saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji suatu obyek (maudhu)
yang menjadi kajian bersama.
Hendrik William Van Loon dalam
bukunya, The Story of Mankind pernah mengeluh : "Ah, ingin
rasanya saya menuliskan sejarah dengan satu suku kata....".
"Satu suku kata mungkin tidak
bisa, namun ada satu kalimat yang patut diingat oleh mereka yang mendalami
perkembangan ilmu !", jawab seorang ilmuwan.
"Yakni....?".
"jangan putar jarum sejarah....!!!".
note: ditulis ulang dari tulisan Prof. Jujun S. Suriasumatri dalam bukunya "Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer" hal. 101-10 dengan sedikit perubahan.