Sabtu, 19 Juni 2021

ANAK KIJANG DI KOTA BUAYA; Bagian Kedua - "Anak Kijang"

Orang 1    :  “Woi….anak Kijang…nak kemane?”

Orang 2    : “takdee…..”


Dialog tersebut hampir terdengar setiap hari baik antara orang dewasa, remaja, maupun anak-anak. Dan selalu jawabnya adalah “takde” yang berarti tidak ada. Terus terang sampai sekarang pun aku tidak pernah memahami apa maksud dari jawaban “takde”. Jadi jangan kaget jika suatu saat pembaca menginjakkan kaki di bumi Bintan dan ada orang bertanya “nak kemane pak/bu/kak/bang/dek/nak” selalu dijawab “takde”.

Kenapa pula “Anak Kijang”???

“Anak Kijang” adalah nama panggilan secara umum yang disematkan kepada warga usia anak-anak hingga remaja yang berdomisili Kijang. Terkadang digunakan juga istilah “Budak Kijang”. Kata “Budak” diambil dari bahasa Melayu yang bermakna “Anak”. Sedangkan untuk kalangan warga dewasa dipanggil dengan sebutan “Orang Kijang”. Begitu juga sebaliknya, jika Anak Kijang memanggil orang diluar Kijang akan menyebutkan nama daerahnya seperti “Anak/Budak Pinang” (berdomisili di Kota Tanjung Pinang), “Anak/Budak Uban” (berdomisili di Kelurahan Tanjung Uban), “Anak/Budak Berakit (berdomisili di Desa Berakit), anak/budak Tenggel (berdomisili di Pulang Tenggel) dan lainnya.

Kijang adalah nama salah satu daerah di Kabupaten Bintan setingkat Kelurahan dengan strata administratif di bawah Kecamatan Bintan Timur salah satu dari sepuluh kecamatan di Kabupaten Bintan. Jangan pernah mengimajinasikan jika di Kijang ini banyak berkeliaran binatang kijang atau rusa atau menjangan. Atau membayangkan jika nama Kijang diambil dari nama khas binatang endemic dari daerah ini yaitu hewan kijang. Karena semua itu salah. Tidak ada hewan endemic kijang di Kijang bahkan tidak pernah tercatat di buku-buku sekolah dan pitutur para tetua tentang keberadan hewan kijang di Kijang. Tidak di kota, di kampung-kampung maupun di hutan. Jadi, nama Kijang sangat unik karena hingga saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui dan bisa menjelaskan alasan historis yang logis dan sahih tentang penggunaan nama hewan kijang untuk Keluarahan Kijang. Satu-satunya hewan di Kijang yang masih ada dan digolongkan dalam marga Tragulus (Bahasa Latin; kambing kecil) yang masih berkerabat dengan Kijang dan Rusa adalah pelanduk atau kancil. Hewan yang terkenal dalam hikayat-hikayat melayu dengan kecerdikan dan kebijaksanaannya.

Beberapa ilmuan sejarah di Kepri membuat kesimpulan bahwa nama Kijang diambil dari hewan kancil/pelanduk ini. Dimana hewan ini masih jenis kerabat dari Kijang dan Rusa. Dan secara historis Kerajaan Malaka (saat ini masuk wilayah Malaysia) menggunakan Pelanduk/Kancil Putih sebagai lambang kerajaan. Dan secara historis pula Kerajaan Malaka dahulu masuk dalam wilayah Kerajaan Riau termasuk juga Temasek (saat ini menjadi Singapura). Tetapi alasan tersebut belum final hingga saat ini karena masih menjadi perdebatan ilmiah dikalangan ahli sejarah di Kepri.

Waktu kecilku dahulu Bapakku sering membawa pelanduk yang beliau beli dari hasil jeratan warga tempatan di pulau tempat beliau bekerja. Jika pelanduk dalam kondisi sehat akan kami masukkan kandang untuk dipelihara dan nantinya jika sudah bosan akan kami potong. Jika pelanduk sudah dalam kondisi tidak sehat (biasanya karena terluka) akan langsung di potong. Jadi sebenarnya nasib si pelanduk baik sehat atau sakit sama saja, sama-sama di hujung pisau.

Ada pengalaman yang menarik dan cukup merepotkan gara-gara nama Kijang. Di Sertifikat Akta Kelahiranku tertulis keterangan lahir di Kijang. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa untuk keterangan kelahiran seharusnya tertulis nama Daerah Tingkat II atau Kabupaten/Kota, seperti istri dan kedua anakku karena lahir di Surabaya maka tercatat keterangan lahir di Surabaya. Sehingga aku selalu kesulitan untuk pengisian beberapa form biodata karena di option pilihan daerah yang dimunculkan adalah nama-nama Kabupaten/Kota bukan nama Kecamatan apalagi Kelurahan.

what’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet” (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi) kata William Shakespeare. Karena ikut alasan eyang Shakespeare inilah maka aku mengganti nama Kijang pada kolom tempat lahir di KTP dan Kartu Keluarga serta kartu-kartu lainnya menjadi Kepulauan Riau. Nama boleh berganti tetapi kenangan tidak akan hilang.

Apa kabar kalian budak Kijang??? kaifa haalukum..... ngopi yuuk....!!!



Surabaya, Padukuhan Kupang Wetan – 19 Juni 2021; 03:30 dini hari

Jumat, 18 Juni 2021

ANAK KIJANG DI KOTA BUAYA; Bagian Kesatu - Bintan; Bumi “Segantang Lada”

 Namaku Wahsun, aku lahir pada tanggal sebelas bulan Juni tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh sembilan di sebuah pulau terbesar diantara gugusan pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau. Pulau Bintan itulah namanya. Pulau yang kental dengan adat istiadat asli nusantara, pulau yang bahasa ibu-nya menjadi pondasi bahasa nasional rakyat Indonesia. Yaaa….inilah pulau Bintan, tanah bertuah tempat Hang Tuah berguru menuntut ilmu, bumi pujangga, bumi gurindam, bumi romantis dimana seorang sultan menghadiahkan sebuah pulau untuk permaisurinya yang terkenal dengan pulau Penyengat, bumi segantang lada……tanah Melayu…!!!
Kabupaten Bintan sebelumnya merupakan Kabupaten Kepulauan Riau. Kabupaten Kepulauan Riau (berikutnya akan saya tuliskan dengan singkatan “Kepri”) telah dikenal beberapa abad yang silam tidak hanya di nusantara tetapi juga di manca negara. Wilayahnya mempunyai ciri khas terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar di Laut Cina Selatan, karena itulah julukan kepulauan “Segantang Lada” sangat tepat untuk menggambarkan betapa banyaknya pulau-pulau yang ada di Kepri ini.
“Segantang lada” tidak hanya menggambarkan banyaknya pulau-pulau di Kepri tetapi juga menggambarkan kondisi multi etnis, multi budaya dan multi agama di pulau ini. Pulau kecil yang harmonis dimana berkumpul ragam suku seperti Melayu sebagai suku asli Kepri, Bugis yang menjadi bagian historis yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah Kepri, Batak, Buton, Jawa, Bawean, Madura, Mandar, Cina, dan suku-suku lainnya. Kesemua suku membawa dan memperkenalkan budaya dan adat istiadat sukunya masing-masing tanpa pernah terjadi “gesekan” apalagi perang antar suku. Enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan Aliran Kepercayaan pemeluknya bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing tanpa pernah terjadi konflik agama/kepercayaan. Pada masa kelam tahun 1998 saat di Jakarta terjadi penjarahan dan pelecehan terhadap etnis Cina, di Kepri etnis Cina masih bisa ngopi satu meja dengan etnis lain. Kok bisa??? yaa….karena ada suatu budaya di Kepri yaitu “semua bisa diselesaikan di kedai kopi dan sambil nyeruput secangkir kopi tentunya”. Karena kedai kopi jugalah penjualan koran tidak pernah laku karena di kedai kopilah pusat penyebaran informasi (entahlah kalau sekarang…..!).
Untuk lebih mengenalkan Bintan, akan saya tulis ulang alias copas sejarah Kabupaten Bintan yang saya ambil dari website resmi Pemerintah Kabupaten Bintan di https://bintankab.go.id/sejarah.
Pada kurun waktu 1722-1911, terdapat dua Kerajaan Melayu yang berkuasa dan berdaulat yaitu Kerajaan Riau Lingga yang pusat kerajaannya di Daik dan Kerajaan Melayu Riau di Pulau Bintan.
Jauh sebelum ditandatanganinya Treaty of London, kedua Kerajaan Melayu tersebut dilebur menjadi satu sehingga menjadi semakin kuat. Wilayah kekuasaannya pun tidak hanya terbatas di Kepulauan Riau saja, tetapi telah meliputi daerah Johor dan Malaka (Malaysia), Singapura dan sebagian kecil wilayah Indragiri Hilir. Pusat kerajaannya terletak di Pulau Penyengat dan menjadi terkenal di Nusantara dan kawasan Semenanjung Malaka.
Setelah Sultan Riau meninggal pada tahun 1911, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan amir-amirnya sebagai Districh Thoarden untuk daerah yang besar dan Onder Districh Thoarden untuk daerah yang agak kecil.
Pemerintah Hindia Belanda akhirnya menyatukan wilayah Riau Lingga dengan Indragiri untuk dijadikan sebuah keresidenan yang dibagi menjadi dua Afdelling yaitu;
1.        Afdelling Tanjungpinang yang meliputi Kepulauan Riau–Lingga, Indragiri Hilir dan Kateman yang berkedudukan di Tanjungpinang dan sebagai penguasa ditunjuk seorang Residen.
2.        Afdelling Indragiri yang berkedudukan di Rengat dan diperintah oleh Asisten Residen (dibawah) perintah Residen. Pada 1940 Keresidenan ini dijadikan Residente Riau dengan dicantumkan Afdelling Bengkalis (Sumatera Timur) dan sebelum tahun 1945–1949 berdasarkan Besluit Gubernur General Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1947 No. 9 dibentuk daerah Zelf Bestur (daerah Riau).
            Berdasarkan surat Keputusan delegasi Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah tanggal 18 Mei 1950 No.9/Deprt. menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia dan Kepulauan Riau diberi status daerah Otonom Tingkat II yang dikepalai oleh Bupati sebagai kepala daerah dengan membawahi empat kewedanan sebagai berikut:
1.    Kewedanan Tanjungpinang meliputi wilayah kecamatan Bintan Selatan (termasuk kecamatan Bintan Timur, Galang, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur sekarang).
2.    Kewedanan Karimun meliputi wila-yah Kecamatan Karimun, Kundur dan Moro.
3.    Kewedanan Lingga meliputi wilayah Kecamatan Lingga, Singkep dan Senayang.
4.    Kewedanan Pulau Tujuh meliputi wilayah Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tambelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan No. 26/K/1965 dengan mem-pedomani Instruksi Gubernur Riau tanggal 10 Februari 1964 No. 524/A/1964 dan Instruksi No. 16/V/1964 dan Surat Keputusan Gubernur Riau tanggal 9 Agustus 1964 No. UP/ 247/5/1965, tanggal 15 Nopember 1965 No. UP/256 /5/1965 menetapkan terhitung mulai 1 Januari 1966 semua daerah Administratif kewedanaan dalam Kabupaten Kepulauan Riau di hapuskan.
Pada tahun 1983, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1983, telah dibentuk Kota Administratif Tanjungpinang yang membawahi 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Tanjungpinang Barat dan Kecamatan Tanjungpinang Timur, dan pada tahun yang sama sesuai dengan peraturan pemerintah No. 34 tahun 1983 telah pula dibentuk Kotamadya Batam. Dengan adanya pengembangan wilayah tersebut, maka Batam tidak lagi menjadi bagian Kabupaten Kepulauan Riau.
Berdasarkan Undang-Undang No. 53 tahun 1999 dan UU No. 13 tahun 2000, Kabupaten Kepulauan Riau dimekarkan menjadi 3 kabupaten yang terdiri dari: Kabupaten Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun dan Kabupaten Natuna. Wilayah kabupaten Kepulauan Riau hanya meliputi 9 kecamatan, yaitu : Singkep, Lingga, Senayang, Teluk Bintan, Bintan Utara, Bintan Timur, Tambelan, Tanjungpinang Barat dan Tanjungpinang Timur. Kecamatan Teluk Bintan merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Galang. Sebahagian wilayah Galang dicakup oleh Kota Batam. Kecamatan Teluk Bintan terdiri dari 5 desa yaitu Pangkil, Pengujan, Penaga, Tembeling dan Bintan Buyu.
Kemudian dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 2001, Kota Administratif Tanjungpinang berubah menjadi Kota Tanjungpinang yang statusnya sama dengan kabupaten. Sejalan dengan perubahan administrasi wilayah pada akhir tahun 2003, maka dilakukan pemekaran kecamatan yaitu Kecamatan Bintan Utara menjadi Kecamatan Teluk Sebong dan Bintan Utara. Kecamatan Lingga menjadi Kecamatan Lingga Utara dan Lingga. Pada akhir tahun 2003 dibentuk Kabupaten Lingga sesuai dengan UU No. 31/2003, maka dengan demikian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau meliputi enam Kecamatan yaitu Bintan Utara, Bintan Timur, Teluk Bintan, Gunung Kijang, Teluk Sebong dan Tambelan. Dan berdasarkan PP No. 5 Tahun 2006 tanggal 23 Februari 2006, Kabupaten Kepulauan Riau berubah nama menjadi Kabupaten Bintan. 
Begitulah sekilas tentang Bintan si “Bumi Segantang Lada”, bumi bertuah penuh berkah dengan motto “Tak Berganjak; Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing” yang bermakna mengandung makna kebesaran jiwa, kemuliaan dan semangat yang tak tergoyahkan serta semangat kebersamaan untuk membangun.
 
Surabaya, Padukuhan Pakis Wetan, 18 Juni 2021; 16:45 WIB
 

Kamis, 17 Juni 2021

MODEL DESAIN INSTRUKSIONAL SAM (SUCCESSIVE APPROXIMATION MODEL); HARUSKAH MENINGGALKAN ADDIE???

Tulisan ini mencoba menganalisis mengapa sebagian orang lebih memilih meninggalkan model pengembangan desain instruksional ADDIE untuk beralih kepada model pengembangan desain interaksional SAM (Successive Approximation Model). Dalam tulisan ini penulis tidak akan menjustifikasi salah satu model kepada kesimpulan BENAR dan SALAH akan tetapi penulis hanya akan membahas mengenai perbedaan mendasar antara kedua model pengembangan instruksional tersebut (ADDIE dan SAM)Penulis juga akan menjelaskan mengapa Michael Allen mengkritik model pengembangan instruksional ADDIE dan apa kelebihan dari model interaksional SAM.

Sebagaimana kita ketahui ADDIE adalah akronim dari sebuah proses linear yang terdiri dari lima tahapan besar yang harus dilalui secara bertahap yaitu tahap Analysis, Design, Developt, Implementation, dan Evaluation. Model pengembangan instruksional ADDIE adalah sebuah model instructional design klasik yang awalnya dikembangkan di dunia militer dan merupakan akar dari model-model instructional design yang lain (Payne, 2016). Sedangkan SAM atau Successive Approximation Model merupakan model instructional design yang dikembangkan oleh Michael Allen seorang pioneri e-learning pada tahun 2012 di Amerika, dimana SAM memiliki delapan langkah kecil secara berulang yang tersebar ke dalam tiga tahapan yaitu tahap persiapan (preparation phase), tahap iteratif desain (iterative design phase),  dan tahap interatif pengembangan (iterative development phase) (Jung H., dkk., 2019).

Dalam tahap persiapan (preparation phase) terdiri dari dua aktifitas yaitu mengumpulkan informasi (information gathering) dan SAVVY Start (brainstorming, sketching, dan prototyping). Dalam tahap iteratif desain (design) terdiri dari dua aktifitas yaitu perencanaan proyek (project planning) dan desain tambahan (additional design),  dan pada tahap iteratif pengembangan (development) terdiri dari empat langkah yaitu design proof, Alpha, Beta, dan Gold.

 



Perbedaan Inti Antara ADDIE dan SAM

Secara lebih spesifik perbedaan dari kedua model pengembangan desain instruksional ADDIE dan SAM ini dapat dilihat dari beberapa karakteristik atau indikator pembeda yaitu proses, efisiensi waktu, fleksibilitas, kebutuhan dan kolaborasi tim, dan sistim evaluasi. Penjelasan ringkas dari setiap indikator pembeda sebagaimana penulis sederhanakan dalam bentuk tabel berikut ini.

INDIKATOR PEMBEDA

ADDIE

SAM

Proses

Linear, dari fase ke fase

(bereskan fase sebelumnya sebelum melangkah ke fase selanjutnya)

Rekursif dan Iteratif

(berulang / bersiklus secara agile / gesit / fleksibel)

Efisiensi Waktu

Lamban dan berkepanjangan

Gesit dan cepat (agile)

Fleksibilitas

Lebih kaku

(sulit untuk kembali ke fase sebelumnya, jika ada kesalahan perlu restart total)

Lebih fleksibel

(memungkinkan kembali ke fase sebelumnya, karena evaluasinya cepat)

Kebutuhan dan Kolaborasi Tim

Kurang Kolaboratif

(bisa saja SME/client tidak paham isi produk, stakeholder seringkali dilibatkan diakhir fase. Dapat berjalan bagaimana kondisi tim)

Lebih Kolaboratif

(keterbukaan dibangun sejak awal, pelibatan stakeholder dari awal. Butuh teamwork yang solid)

Sistim Evaluasi

Bersifat final di setiap fase

Kolaboratif dan berkelanjutan

 

Proses

Perbedaan paling utama dari model pengembangan desain instruksional ADDIE dan SAM adalah pada karakteristik prosesnya. Proses pada model ADDIE dilakukan secara menyeluruh dan linier pada setiap fase besarnya.  Yang berarti bahwa satu fase harus selesai dan disempurnakan sebelum pindah pada fase berikutnya. Pergerakannya yang linier membuat produk yang dikerjakan harus benar-benar ditinjau sebelum bergerak maju setiap waktu. Hal ini bisa saja menghambat serta menyebabkan prosesnya menjadi agak rumit. Pergerakan linear ini juga berpotensi menyebabkan sulitnya atau bahkan mustahil untuk mundur pada fase sebelumnya. Apabila di tengah perjalanan suatu proyek ditemukan kesalahan atau sesuatu ide yang baru, ini bisa berakibat diperlukan pengolahan penuh atau dilakukan perbaikan dari awal. Sedangkan proses pada model SAM dilakukan secara rekursif dengan memecahkan persoalan kepada step-step yang lebih kecil. Perjalanannya bersifat lebih iteraktif yaitu berulang ataupun secara bersiklus yang dilakukan dengan gesit atau agile. Artinya bahwa beberapa langkah dapat terjadi atau dilakukan pada saat yang bersamaan. Hal ini memungkinkan perjalanan suatu proyek untuk mundur ke step atau bahkan fase sebelumnya apabila terjadi perubahan dan koreksi atau muncul ide yang lebih baik di tengah-tengah perjalanan proyek.

Efisiensi waktu

Perbedaan karakteristik proses dari kedua desain instruksional ini akan dijabarkan ke beberapa karakteristik turunan agar kita lebih memahami perbedaan keduanya, yaitu pada karakteristik efisiensi waktu. Karena prosesnya yang bersifat linear dan membutuhkan penyempurnaan di setiap fase menyebabkan perjalanan model ADDIE menjadi lebih lambat dan berkepanjangan. Sedangkan model SAM berpotensi lebih gesit atau cepat karena konstruksi ide dibangun sejak awal dengan proses yang berulang. Selain itu model SAM ini memungkinkan beberapa langkah dilakukan secara bersamaan sehingga pada pelaksanaannya dapat dilakukan dengan lebih cepat.

Fleksibilitas

Dari karakteristik fleksibilitas, model ADDIE akan berpindah dari satu fase ke fase berikutnya apabila dirasa produk sudah sempurna pada masing-masing fase yang telah disepakati oleh beberapa komponen pemangku kepentingan. Sehingga apabila terjadi kesalahan akan sulit untuk kembali pada proses sebelumnya atau bahkan harus mengulangi semuanya dari awal. Sedangkan model SAM bersifat lebih fleksibel karena evaluasi dilakukan secara berkelanjutan. Sehingga apabila ditemukan kesalahan dapat segera dilakukan perbaikan dan dapat saja mundur ke step atau fase sebelumnya dan tidak perlu mengulangi semuanya dari awal.

Kebutuhan dan kolaborasi tim

Selanjutnya perbedaan pada karakteristik kebutuhan dan kolaborasi tim. Dalam model ADDIE proses komunikasi lebih banyak terjadi pada akhir setiap fase. Sehingga bisa saja subject matter expert atau client tidak sepenuhnya paham mengenai isi dari produk yang sedang dibangun. Sedangkan dalam model SAM kolaborasi benar-benar dilakukan dan dibangun sejak awal terutama melalui proses brainstorming, sketching, dan prototyping pada step-step sejak awal yang diistilahkan dengan SAVVY Start (Allen, 2007: 110; Rimmer, 2016). Jika pengembangan dalam fokus pembelajaran di sekolah, maka kolaborasi SAM harus terjadi antara instructional designer (bisa Pengembang Teknologi Pembelajaran), Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, guru (fasilitator), dan bahkan siswa (Wintarti, dkk., 2019).

Proses kolaborasi antar semua pemangku kepentingan ini juga tetap dijaga dan dilakukan sepanjang perjalanan proyek pada setiap step dan fase yang dilakukan sehingga model ini lebih terbuka dan diketahui oleh semua pihak. Namun konsekuensi akan hal ini adalah bahwa dibutuhkan teamwork yang benar-benar solid dan komunikasi yang baik antar semua komponen team.

Sistim evaluasi

Model ADDIE membutuhkan proses evaluasi di setiap fase namun hanya bersifat sumatif dan biasanya akan bersifat final ketika ingin melanjutkan ke fase berikutnya. Sedangkan dalam model SAM evaluasi lebih bersifat kolaboratif dan memungkinkan masukan yang bersifat konstruktif dari semua anggota tim. Evaluasi yang dilakukan juga bersifat berkelanjutan pada semua step yang dilakukan secara cepat dan fleksibel. 

 

Beberapa Kritik Michael Allen Terhadap ADDIE

Michale Allen mengembangkan model SAM ini berdasarkan beberapa kritik atas kelemahan dari model ADDIE. Menurut Allen (2007: xvi) desain instruksional yang baik harus memiliki dua faktor utama yaitu; (1) mengandung unsur CCAF (Context, Challenge, Activity, dan Feedback) dan pembelajaran harus bermakna (meaningful), mudah diingat (memorable), dan memotivasi (motivational).

Pembelajaran perlu adanya beberapa pengalaman belajar yang disebut CCAF yang terdiri dari Context (konteks) di mana siswa/pebelajar harus ditempatkan dalam pembelajaran yang bersifat kontekstual dengan permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Challenge (tantangan),  untuk menjaga agar pelajar tetap fokus pada hasil belajar yang kita laksanakan. Kemudian Activity (aktifitas), pelajar harus melakukan sesuatu ketika belajar. Aktivitas pembelajaran ini harus dibuat semirip mungkin dengan kemungkinan apa yang dilakukan pada kehidupan nyata. Terakhir adalah Feedback (imbal balik) sebagai konsekuensi dari pilihan dan tindakan apakah pembelajaran sudah baik atau belum dan apakah pembelajaran telah mencapai hasil dan berguna bagi pebelajar.

Allen  menginginkan agar pengalaman belajar CCAF ini terkoneksi dengan baik terhadap pelajar. Kemudian dapat memberdayakan pebelajar untuk melakukan sesuatu dengan benar sehingga mereka dapat melihat konsekuensi dari hal tersebut. CCAF ini juga perlu diatur menjadi sebuah tampilan pembelajaran yang mudah dipahami siswa sehingga mereka tahu apa yang mereka ketahui untuk menciptakan sebuah proses perkembangan diri setiap siswa. Michael Allen melihat bahwa model ADDIE tidak terfokus pada pengalaman belajar seperti itu. Menurut Michael Allen, ADDIE lebih fokus pada konten meskipun menurutnya konten dapat menjadi solusi namun bukanlah keharusan menjadikannya sebuah fokus. Michael Allen juga berpendapat bahwa model ADDIE cukup menyulitkan karena mengharuskan menyelesaikan suatu proses sebelum mengerjakan proses yang lain, hal ini dapat menghambat waktu. 

Kritik Allen terhadap ADDIE lainnya adalah terkait kolaborasi. Menurut Allen, ADDIE kurang memperhatikan dan memfasilitasi aspek koneksifitas dan kolaborasi. Misalkan kolaborasi antar tim, koneksi dengan klien, dan setiap orang yang berkepentingan untuk memastikan bahwa proyek berjalan dengan baik.

Micahel Allen juga mengkritisi kesulitan untuk melakukan perubahan atau pun koreksi di tengah-tengah proses dalam model ADDIE. Menurut Allen, kadang ide terbaik sering datang terlambat dan bisa saja muncul di tengah-tengah perjalanan. ADDIE yang sifatnya harus final di setiap tahap tentu akan sulit jika harus mundur kembali ke tahap sebelumnya untuk melakukan perbaikan atau penambahan.

Berdasarkan beberapa perbedaan tersebut maka dapat kita simpulkan beberapa kelebihan dari model pengembangan desain instruksional SAM (Neibert, 2012) yaitu;

1.    Time effectivity and efficiency. Model SAM memungkinkan untuk mendesain instruksional yang efektif dan efisien secara gesit dan cepat. 

2.   Colaborative. Model SAM juga memungkinkan dilakukan secara kolaboratif bersama tim yang cukup besar untuk mengembangkan ide dan menarik pengetahuan dari rekan antar tim.

3.   Iterative. Sifatnya yang iteratif yaitu menggunakan pendekatan iteratif sejak awal sampai akhir sambil terus menganalisis dan menyempurnakan pekerjaan saat sedang diproduksi. Pendekatan iteratif ini terdiri dari proses creation, feedback, implementation, tracking, discovery yang terjadi secara berulang dan terus-menerus.

4.  The Process Must Be Manageable. Kelebihan yang lain adalah struktur proses desain yang menyeluruh. Kedelapan langkah yang terbagi ke dalam tiga fase iteratif model SAM (fase persiapan, fase desain, dan fase pengembangan) menyediakan kerangka menyeluruh sebagai sebuah struktur proses desain. 

5.      Sifat SAM yang fleksibel. Prosesnya yang bersifat rekursif dan iteratif sehingga perjalanan proyek menjadi lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi. 

6.    Kelebihan yang terakhir adalah evaluasi yang bersifat kolaboratif dan berkelanjutan. Pernyataan evaluasi secara kolaboratif sejak awal proses akan menghasilkan instruksional yang lebih efektif.

 

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Model SAM lebih memiliki keunggulan daripada model ADDIE. Hal ini menjadi suatu kewajaran karena Michael Allen mengembangkan SAM bertolak dari kritik konstruktifnya terhadap model ADDIE. Dengan kata lain SAM merupakan antitesis daripada ADDIE. Sebagai antitetis tentu akan menunjukkan aspek-aspek penyempurnaan daripada tesis.

Akan tetapi, meninggalkan ADDIE tentu bukan suatu hal yang bijak mengingat faktor “usia” ADDIE yang matang dan telah teruji dalam memproduksi beragam desain instruktisional perlu menjadi pertimbangan secara cermat jika dibanding “usia” SAM yang masih seumur jagung.

 

Daftar Pustaka

Allen, Michael (2007). Designing Successful e-Learning; Forget What You Know About Instructional Design and Do Something Interesting. San Francisco: Pfeiffer

Payne, D.L. (2016). Mapping SAM to ADDIE. California State University

Jung H., Kim Y. R., Lee H. and Shin Y. (2019). Advanced instructional design for successive E-learning: Based on the successive approximation model (SAM). Int. J. E-Learning Corp. Gov. Heal. High. Educ.18(2); 191-204

Wintarti, A., Abadi, Fardah, D.K. (2019). The Instructional Design of Blended Learning on Differential Calculus Using Successive Approximation Model. Journal of Physics: Conference Series. doi:10.1088/1742-6596/1417/1/012064

Rimmer, Trina (2016). An Introduction to SAM for Instructional Designers. https://community.articulate.com/articles/an-introduction-to-sam-for-instructional-designers

Neibert, Jennifer (2012). Book Review: Leaving ADDIE for SAM, by Michael Allen with Richard Sites. https://learningsolutionsmag.com/articles/1012/book-review-leaving-addie-for-sam-by-michael-allen-with-richard-sites

Rabu, 16 Juni 2021

GEN-Z; PENDIDIKAN HARUS BERTRANSFORMASI


Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning Model) Bagi Gen-Z

 

 Pada bulan Januari yang lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Program Sensus Penduduk yang dilakukan tahun 2020 yang lalu. Kegiatan sensus penduduk merupakan program rutin 10 tahunan yang dilakukan secara periodik dan metodologis (sensus terakhir di tahun 2010). Tujuan dari program sensus penduduk adalah menyediakan data jumlah, komposisi, distribusi, dan karakteristik penduduk Indonesia menuju SATU DATA KEPENDUDUKAN INDONESIA (de facto dan de jure) dan hasilnya akan ditindaklanjuti dengan penyediaan parameter demografi (fertilitas, mortalitas, dan migrasi) serta karakteristik penduduk lainnya untuk keperluan proyeksi penduduk dan indikator SDGs (Sustainable Development Goals) yang rencananya baru akan dilakukan oleh BPS pada bulan September 2021.

Hasil sensus 2020 memberikan gambaran demografi Indonesia yang mengalami banyak perubahan dari hasil sensus tahun 2010. Hasil sensus tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 270,20 juta jiwa dengan komposisi jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Penduduk laki-laki sebanyak 136,66 juta jiwa (50,58%) sedangkan penduduk perempuan 133,54 juta jiwa (49,42%). Pulau dengan tingkat populasi penduduk terpadat masih berada di pulau Jawa dengan jumlah penduduk sebanyak 151,59 juta jiwa atau 56,10% dari penduduk Indonesia. Sebaran penduduk terbesar kedua terdapat di Pulau Sumatera dengan sebanyak 58,56 juta jiwa (21,68%). Pulau Sulawesi mempunyai sebaran sebesar 7,36% dan Pulau Kalimantan mempunyai sebaran sebesar 6,15%, sedangkan wilayah Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua masing masing sebesar 5,54% dan 3,17%. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk 48,27 juta jiwa. Urutan berikutnya adalah Provinsi Jawa Timur sebanyak 40,67 juta jiwa. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Provinsi Kalimantan Utara sebanyak 0,70 juta jiwa (BPS, 2020).

Selain perihal jumlah penduduk berdasar jenis kelamin dan sebaran setiap provinsi, hasil sensus 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia berdasarkan kategori generasi yaitu pre-boomer (lahir sebelum tahun 1945), baby boomer (generasi yang lahir tahun 1946-1964), generasi X (generasi lahir tahun 1965-1980), Generasi Milenial (lahir tahun 1981-1996), Generasi Z (lahir tahun 1997-2012), dan Post Generation Z (2013 dst). Sesuai prediksi dari berbagai kalangan, Indonesia tengah berada pada periode yang dinamakan sebagai Bonus Demografi. Sebagian besar penduduk saat ini berasal dari Generasi Z/Gen Z yaitu sebanyak 74,93 juta jiwa (27,94%). Generasi Milenial yang digadang-gadang menjadi motor pergerakan masyarakat saat ini, jumlahnya berada sedikit di bawah Gen Z, yaitu sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,87% dari total penduduk Indonesia. Berikutnya adalah generasi X sebanyak 58,65 juta jiwa (21,88%), generasi Baby Boomer (31,01 juta jiwa / 11,56%), Post Gen Z (29,17 juta jiwa / 10,88%), dan generasi Pre-Boomer (5,03 juta jiwa / 1,87%). Ini artinya, keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan akan memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan nanti.

Banyak para ahli menyatakan bahwa Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Ryan Jenkins, seorang penulis dan ahli generasi Z pada tahun 2017 dalam artikelnya berjudul Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation (https://blog.ryan-jenkins.com/2017/01/26/4-reasons-generation-z-will-be-the-most-different-generation) menyatakan bahwa Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi suatu organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas.

Generasi Z ini dilabeli juga sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation). Secara usia, Gen Z saat ini berkisaran antara usia 8-23 tahun yaitu usia “produktif” dibangku sekolah/perguruan tinggi. Dengan karakteristik tersebut tentu pemangku kebijakan pendidikan harus mampu meramu dan menyiapkan suatu konsep pendidikan yang tepat bagi Gen Z. pendidikan harus mampu bertransformasi menjadi pendidikan era Gen Z, tidak lagi pendidikan yang klasik (guru berbicara di depan kelas, siswa mendengarkan sambil mengantuk).

David Stillman dan Jonah Stillman (beliau berdua memiliki hubungan bapak dan anak) dalam bukunya Gen Z @Work: How The  Next Generation is Transforming the Workplace (2017) memberikan gambaran lebih komprehensif tentang karakter Gen Z dengan mengidentifikasi tujuh karakter utama Gen Z, yaitu: phygital, fear of missing out (FOMO), hiper kustomisasi, terpacu, Weconomist, do it yourself (DIY), dan realistis. Gen Z berkarakter phygital karena Gen Z yang lahir setelah era 1995 dimana segala aspek di dunia fisik memiliki wujud yang ekuivalen di dunia maya. Dunia fisik dan dunia maya bukan dua dunia yang terpisah, tetapi saling berkelindan. Gen Z berkarakter hiper kustomisasi karena hidup di dunia maya yang sangat cair, gen Z selalu ingin memiliki identitas unik yang membuatnya tidak larut dalam lautan massa. Mereka tidak menyukai produk standar dan seragam. Mereka mengkostumisasi apapun, mulai daftar lagu, film, logo, dan sebagainya.

FOMO (Fear of Missing Out). Dengan perubahan di linimasa yang terus mengalir, Gen Z selalu khawatir ketinggalan informasi. Mereka takut tidak update, ketinggalan gosip, isu terbaru, dan menjadi tidak relevan di kalangan teman-temannya. berkarakter weconomist karena pada saat bertumbuh, Gen Z telah hidup dengan fasilitas platform ekonomi yang memungkinkan berbagi, seperti Uber, Grab, AirBnB, dan lain-lain. Mereka selalu ingin mencari jalan untuk terus memanfaatkan sumber daya bersama tanpa harus melakukan investasi besar. Berkarakter DIY (Do it Yourself) karena Gen Z dibesarkan dengan aneka tutorial yang membuat mereka bisa mempelajari apapun secara asinkron mandiri seperti melalui Youtube. Hal ini menjadikan Gen Z tumbuh menjadi generasi yang percaya diri dan merasa bisa melakukan apapun sendiri. Sikap mental ini didukung oleh orang tua yang merupakan generasi X yang tidak mengikuti jalur-jalur tradisional. Yang berikutnya adalah berkarakter competitive dimana karakter ini tumbuh dari hasil pengalaman mereka saat orangtua mengalami krisis ekonomi membuat Gen Z lebih kompetitif dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka ingin menjadi bagian dari tim pemenang, bukan pecundang. Berkarakter realistis karena sebagai sosok yang mengalami kekhawatiran usai peristiwa serangan teroris 11/9 dan krisis ekonomi, Gen Z cenderung bersikap pragmatis. Semisal, mereka berhitung apakah perlu kuliah atau tidak berdasarkan rasionalitas kepentingan mereka. Jika menurut mereka kuliah akan menguntungkan maka mereka akan menjalaninya dan sebaliknya.

Tujuh karakter utama Gen Z ini dapat menjadi indikator bagi pemangku kebijakan pendidikan dalam menentukan bagaimana strategi pendidikan yang efektif diberikan kepada siswa kategori Gen Z. Dengan karakter phygital, guru harus banyak melakukan pengamatan tentang bagaimana siswa memadukan sisi fisik dan digital dalam cara mereka berinteraksi, hidup, dan belajar. Ini kemudian akan menjadi landasan bagi guru untuk menentukan metode pembelajaran yang akan gunakan. Guru harus semakin terbuka dan terbiasa menggunakan media pembelajaran berbasis digital, agar siswa tetap dapat aktif dan tersambung dalam pembelajaran dalam berbagai kondisi pembelajaran yang ada.

Gen Z berkarakter FOMO dengan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. Karakter FOMO menjadikan siswa terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang tersebar dan mudah diakses saat ini semisal situs pencarian google. Dalam hal ini, pendidikan perlu menjadi media yang terbuka dan mewadahi berbagai informasi yang diperlukan siswa tidak hanya pada hal yang berkaitan dengan pembelajaran, tetapi juga keterampilan hidup. Guru harus mampu mengkurasi informasi apa saja yang memang bermanfaat bagi siswa, dan yang tidak.

Hiper kustomisasi merupakan karakter lainnya dari Gen Z dimana terbiasa menentukan kebutuhan apa yang mereka butuhkan dan perlu dapatkan. Hal ini dilakukan oleh mereka dengan cara berselancar di dunia maya. Dalam konteks pendidikan, memberikan kebebasan siswa menentukan cara belajarnya merupakan sebuah kebutuhan. Guru perlu untuk mampu melakukan personalisasi cara-cara belajar bagi setiap siswa, dan memberikan siswa lebih banyak kesempatan untuk mencari sumber belajar di luar aktivitas bersekolah. Karakter hiper kustomisasi menyebabkan siswa juga menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di sekelilingnya, termasuk memberikan masukan terhadap media-media belajar yang selama ini digunakannya. Penting bagi ekosistem pendidikan untuk memberikan ruang kepada para siswa untuk menyampaikan gagasan dan penilaiannya tentang proses belajar yang mereka jalani sehari-hari, termasuk berkesempatan merekonstruksi harapan mereka tentang pendidikan di masa depan. Yang utama dari peran guru adalah memberikan pemahaman pada siswa agar selalu memberikan ide dan kritik yang konstruktif secara asertif.

Dalam praktik pembelajaran saat ini, siswa menjadi sangat kompetitif dengan keragaman potensi yang dimilikinya. Ini perlu menjadi catatan penting bagi pendidikan khususnya guru untuk mampu memfasilitasi karakter terpacu tersebut melalui berbagai media yang mampu mengakomodasi potensi siswa yang beragam, tanpa mengarahkan pada upaya memperbandingkan antara siswa yang satu dan yang lainnya. Siswa perlu lebih banyak diapresiasi dan menjadikan praktik tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya-upaya reflektif semua pihak dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.

Karakter lain dari Gen Z adalah Weconomist. Pada karakter ini, Gen Z lebih menyenangi kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terkoneksi dengan rekan sejawatnya. Dalam pembelajaran, karakter ini dapat difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu siswa dan mengkondisikan siswa untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang diberikan. Era dunia maya, siswa justru perlu lebih banyak didekatkan dengan sesamanya, untuk dapat saling belajar dan saling memberikan peer review, dengan tetap menempatkan guru sebagai fasilitator belajar.

Model project based learning dapat diterapkan di kelas untuk membangun karakter Gen Z yang lebih senang DIY (Do It Yourself). Dengan pembelajaran berbasis project, siswa bisa secara asinkron belajar mandiri melalui video-video tutorial semisal youtube untuk mengembangkan produk dari projectnya. Dengan begitu, imajinasi dan kreativitas siswa akan lebih terasah. Tetapi guru tetap menjadi fasilitator belajar dengan kesediaannya menjadi rujukan pertanyaan jika ada hal yang tidak dipahami oleh siswa.

Selain penerapan pembelajaran yang bersifat mandiri, demokratis, dan membuka ranah yang luas bagi penciptaan dan penemuan hal-hal baru dalam pembelajaran. Guru perlu menciptakan iklim belajar yang mampu membangun self regulation pada diri siswa. Siswa perlu dikuatkan untuk realistis tentang kehidupan dan masa depannya. Guru harus menyampaikan kepada siswa terkait peluang, tantangan dan hambatan yang mungkin nantinya akan dihadapi oleh siswa dalam mencapai impian cita-cita mereka.


Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning Model) Bagi Gen-Z

Melihat karakter generasi Z (Gen-Z) yang multitasking atau terbiasa dengan teknologi, maka guru dapat meramu pembelajaran di sekolah dengan menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakter generasi Z, diantaranya: inquiry based learning, problem based learning, experiential based learning, task based learning, theme based learning, cooperative learning, project based learning dan flipped classroom model (Kusumaningtyas dkk., 2019). Model yang satu tidak berarti lebih unggul daripada model yang lain, semua bergantung pada bagaimana kemampuan guru mengimplementasikan model yang diterapkan secara baik dan benar. Dalam makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada tawaran secara konseptual penerapan Project Based Learning Model dalam pembelajaran.

Project Based Learning Model pada awalnya dikembangkan oleh Howard Barrows (1969) di McMaster University di Kanada. Ketika itu pendekatan pembelajaran ini digunakan atas dasar pertimbangan bahwa pengetahuan berkembang cepat dan peserta didik tidak mungkin menguasai semua pengetahuan dalam kurun waktu tertentu (semester). Karena itu peserta didik diminta bekerja dalam kelompok untuk mengidentifikasi pengetahuan yang sudah dikuasai, yang perlu dikuasai, bagaimana menguasainya dan kemana mencari akses informasi untuk bisa memecahkan masalah. Konsep Project Based Learning tersebut sesuai dengan beberapa karakter Gen-Z yaitu phygital, Do It Yourself, dan realistic. Phygital karena Project Based Learning dapat berjalan optimal jika didukung dengan penggunaan sumber-sumber atau media-media pembelajaran berbasis digital. Do It Yourself karena siswa baik secara mandiri maupun bersama tim kelompoknya menemukan sendiri core problem dan solusinya. Realistic karena Project Based Learning dapat memuaskan rasa keingintahuan Gen-Z terhadap suatu permasalahan dari hasil project yang nyata. 

Secara definisi, Michael M. Grant (2002) menjelaskan bahwa Project Based Learning (PjBL) merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik untuk melakukan suatu investigasi yang mendalam terhadap suatu topik. Peserta didik secara konstruktif melakukan pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata, dan relevan. Peran guru dan tutor sangat penting dalam memfasilitasi dan mengarahkan proses pembelajaran. Proses pemecahan masalah bisa bervariasi.

Dalam Project Based Learning guru menuntun pertanyaan dan berperan lebih aktif ketika siswa melaksanakan proses belajar. Blended learning ataupun flipped classroom bisa dilaksanakan ketika guru menggunakan Problem Based Learning atau Project Based Learning. Siswa bisa melaksanakan proses pencarian dan pengumpulan informasi dengan mengakses sumber-sumber online, menggunakan sumber-sumber multimedia secara online, menyiapkan bahan laporan dan presentasi secara online, bekerja sama dengan kelompok untuk mengerjakan proyek atau melaksanakan kritik dan evaluasi kegiatan.

Adapun langkah‐langkah pembelajaran dengan Project Based Learning Model adalah sebagai berikut:

1.     Peserta didik dibagi dalam kelompok‐kelompok kecil dan masing masing kelompok melaksanakan proyek nyata (connecting the problem).

2.  Masing‐masing kelompok diberikan penjelasan tentang tugas dan tanggung jawab (setting the structure) yang harus dilakukan oleh kelompoknya dalam praktik.

3.    Peserta didik di masing‐masing kelompok berusaha maksimal untuk mengidentifikasikan masalah bisnis (visiting the problem) yang dihadapi sesuai pengetahuan yang dimiliki; (a). mengidentifikasi masalah dengan seksama untuk menemukan core problem yang sedang dihadapi dan (b) mengidentifikasi cara untuk memecahkan masalah.

4.      Peserta didik di masing‐masing kelompok mencari informasi dari berbagai sumber (buku, pedoman dan sumber lain) atau bertanya pada pakar yang mendampingi untuk mendapatkan pemahaman tentang masalah (revisiting the problem).

5.   Berbekal informasi yang diperoleh peserta didik saling bekerjasama dan berdiskusi dalam memahami masalah dan mencari solusi (produce the product) terhadap masalah dihadapi dan langsung diaplikasikan. Pelatih bertindak sebagai pendamping.

6.  Masing‐masing kelompok mensosialisasikan pengalaman dalam memecahkan masalah kepada kelompok lainnya untuk mendapatkan masukan dan penilaian (evaluation) dari kelompok lainnya.

Tahapan atau sintaks Project Based Learning Model yang lain adalah seperti yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebagai pendukung dari Kurikulum 2013 yaitu sebagai berikut.

1.       Penentuan pertanyaan mendasar.

Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk para peserta didik.

2.        Mendesain perencanaan proyek.

Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik. Dengan demikian peserta didik diharapkan akan merasa memiliki atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.

3.       Menyusun Jadwal.

Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (a) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (b) membuat deadline penyelesaian proyek, (c) membawa peserta didik agar merencanakan cara yang baru, (d) membimbing peserta didik ketika membuat cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (e) meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara.

4.        Memonitor peserta didik dan kemajuan.

Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara memfasilitasi peserta didik pada setiap proses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang penting.

5.       Menguji Hasil.

Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.

6.       Mengevaluasi Pengalaman.

Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap evaluasi peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran.

Sebagaimana model-model pembelajaran yang lain, Project Based Learning Model juga memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Beberapa kelebihan dari Project Based Learning Model menurut Purnawan (2007) yaitu:

1.       Memotivasi peserta didik dengan melibatkannya di dalam pembelajarannya, membiarkan sesuai minatnya, menjawab pertanyaan dan untuk membuat keputusan dalam proses belajar.

2.           Menyediakan kesempatan pembelajaran berbagai disiplin ilmu.

3.      Membantu keterkaitan hidup di luar sekolah, memperhatikan dunia nyata, dan mengembangkan keterampilan nyata.

4.         Menyediakan peluang unik karena pendidik membangun hubungan dengan peserta didik, sebagai pelatih, fasilitator, dan co-learner.

5.           Menyediakan kesempatan untuk membangun hubungan dengan komunitas yang besar.

6.           Membuat peserta didik lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.

7.           Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.

8.       Memberikan pengalaman pada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasikan proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.

9.      Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.

10.  Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.

Selain beberapa kelebihan tersebut, Project Based Learning Model juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan dari Project Based Learning antara lain; memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah, membutuhkan biaya yang cukup banyak, banyak pendidik yang merasa nyaman dengan kelas tradisional di mana pendidik memegang peran utama di dalam kelas, banyaknya peralatan yang harus disediakan, peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan, ada kemungkinan terdapat peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok, ketika topik yang diberikan pada masing-masing kelompok berbeda, dan dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan.

 

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (2020). Berita Resmi Statistik No. 07/01/Th.XXIV, 21 Januari 2020

Grant, M.M. (2002). Getting A Grip of Project Based Learning: Theory, Cases and Recomandation. Meredian A Middle School Computer Technologies Journal, Vol. 5 (1); 1-3

Jenkins, Ryan (2017). Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation. https://blog.ryan-jenkins.com/2017/01/26/4-reasons-generation-z-will-be-the-most-different-generation

Kemendikbud. 2013. Bahan Sosialisasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kusumaningtyas, Ratri dkk. (2020). Peningkatan Kualitas Pembelajaran Guru Melalui Model dan Media Pembelajaran bagi Generasi Z. Jurnal WARTA LPM, Vol.3 (1); 54-62

Purnawan, Yudi (2007). http://yudipurnawan.wordpress.com/2007/12/18/deskripsi-model-pbl-pembelajaran-berbasis-proyek

Stillman, David & Stillman, Jonah (2017). Gen Z @Work: How The  Next Generation is Transforming the Workplace. New York: HarperCollins Published