Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based
Learning Model) Bagi Gen-Z
Pada bulan Januari yang lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis
hasil Program Sensus Penduduk yang dilakukan tahun 2020 yang lalu. Kegiatan
sensus penduduk merupakan program rutin 10 tahunan yang dilakukan secara
periodik dan metodologis (sensus terakhir di tahun 2010). Tujuan dari program
sensus penduduk adalah menyediakan data jumlah, komposisi, distribusi, dan
karakteristik penduduk Indonesia menuju SATU DATA KEPENDUDUKAN INDONESIA (de facto dan de jure) dan hasilnya akan
ditindaklanjuti dengan penyediaan parameter demografi (fertilitas, mortalitas,
dan migrasi) serta karakteristik penduduk lainnya untuk keperluan proyeksi
penduduk dan indikator SDGs (Sustainable
Development Goals) yang rencananya baru akan dilakukan oleh BPS pada bulan
September 2021.
Hasil sensus 2020 memberikan gambaran demografi Indonesia yang
mengalami banyak perubahan dari hasil sensus tahun 2010. Hasil sensus tahun
2020, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 270,20 juta jiwa dengan komposisi
jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Penduduk laki-laki
sebanyak 136,66 juta jiwa (50,58%) sedangkan penduduk perempuan 133,54 juta
jiwa (49,42%). Pulau dengan tingkat populasi penduduk terpadat masih berada di
pulau Jawa dengan jumlah penduduk sebanyak 151,59 juta jiwa atau 56,10% dari
penduduk Indonesia. Sebaran penduduk terbesar kedua terdapat di Pulau Sumatera
dengan sebanyak 58,56 juta jiwa (21,68%). Pulau Sulawesi mempunyai sebaran
sebesar 7,36% dan Pulau Kalimantan mempunyai sebaran sebesar 6,15%, sedangkan
wilayah Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua masing masing sebesar 5,54% dan
3,17%. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Provinsi Jawa
Barat dengan jumlah penduduk 48,27 juta jiwa. Urutan berikutnya adalah Provinsi
Jawa Timur sebanyak 40,67 juta jiwa. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk
paling sedikit adalah Provinsi Kalimantan Utara sebanyak 0,70 juta jiwa (BPS,
2020).
Selain perihal jumlah penduduk berdasar jenis kelamin dan sebaran
setiap provinsi, hasil sensus 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia
berdasarkan kategori generasi yaitu pre-boomer
(lahir sebelum tahun 1945), baby boomer
(generasi yang lahir tahun 1946-1964), generasi X (generasi lahir tahun
1965-1980), Generasi Milenial (lahir tahun 1981-1996), Generasi Z (lahir tahun
1997-2012), dan Post Generation Z
(2013 dst). Sesuai prediksi dari berbagai kalangan, Indonesia tengah berada
pada periode yang dinamakan sebagai Bonus Demografi. Sebagian besar penduduk
saat ini berasal dari Generasi Z/Gen Z yaitu sebanyak 74,93 juta jiwa (27,94%).
Generasi Milenial yang digadang-gadang menjadi motor pergerakan masyarakat saat
ini, jumlahnya berada sedikit di bawah Gen Z, yaitu sebanyak 69,38 juta jiwa
atau 25,87% dari total penduduk Indonesia. Berikutnya adalah generasi X
sebanyak 58,65 juta jiwa (21,88%), generasi Baby
Boomer (31,01 juta jiwa / 11,56%), Post
Gen Z (29,17 juta jiwa / 10,88%), dan generasi Pre-Boomer (5,03 juta jiwa /
1,87%). Ini artinya, keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan akan
memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan nanti.
Banyak para ahli menyatakan bahwa Gen Z memiliki sifat dan
karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Ryan Jenkins,
seorang penulis dan ahli generasi Z pada tahun 2017 dalam artikelnya berjudul Four Reasons Generation Z will be the Most
Different Generation
(https://blog.ryan-jenkins.com/2017/01/26/4-reasons-generation-z-will-be-the-most-different-generation)
menyatakan bahwa Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang
berbeda serta dinilai menantang bagi suatu organisasi. Karakter Gen Z lebih
beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap
masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan
perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka
gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas.
Generasi Z ini dilabeli juga sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation). Secara usia,
Gen Z saat ini berkisaran antara usia 8-23 tahun yaitu usia “produktif”
dibangku sekolah/perguruan tinggi. Dengan karakteristik tersebut tentu pemangku
kebijakan pendidikan harus mampu meramu dan menyiapkan suatu konsep pendidikan
yang tepat bagi Gen Z. pendidikan harus mampu bertransformasi menjadi
pendidikan era Gen Z, tidak lagi pendidikan yang klasik (guru berbicara di
depan kelas, siswa mendengarkan sambil mengantuk).
David Stillman dan Jonah Stillman (beliau berdua memiliki hubungan
bapak dan anak) dalam bukunya Gen Z
@Work: How The Next Generation is Transforming the Workplace (2017)
memberikan gambaran lebih komprehensif tentang karakter Gen Z dengan
mengidentifikasi tujuh karakter utama Gen Z, yaitu: phygital, fear of missing out (FOMO), hiper kustomisasi, terpacu, Weconomist, do it yourself
(DIY), dan realistis. Gen Z berkarakter phygital
karena Gen Z yang lahir setelah era 1995 dimana segala aspek di dunia fisik
memiliki wujud yang ekuivalen di dunia maya. Dunia fisik dan dunia maya bukan
dua dunia yang terpisah, tetapi saling berkelindan. Gen Z berkarakter hiper
kustomisasi karena hidup di dunia maya yang sangat cair, gen Z selalu ingin
memiliki identitas unik yang membuatnya tidak larut dalam lautan massa. Mereka
tidak menyukai produk standar dan seragam. Mereka mengkostumisasi apapun, mulai
daftar lagu, film, logo, dan sebagainya.
FOMO (Fear of Missing Out).
Dengan perubahan di linimasa yang terus mengalir, Gen Z selalu khawatir
ketinggalan informasi. Mereka takut tidak update,
ketinggalan gosip, isu terbaru, dan menjadi tidak relevan di kalangan
teman-temannya. berkarakter weconomist
karena pada saat bertumbuh, Gen Z telah hidup dengan fasilitas platform ekonomi yang memungkinkan
berbagi, seperti Uber, Grab, AirBnB, dan lain-lain. Mereka selalu ingin mencari
jalan untuk terus memanfaatkan sumber daya bersama tanpa harus melakukan
investasi besar. Berkarakter DIY (Do it
Yourself) karena Gen Z dibesarkan dengan aneka tutorial yang membuat mereka
bisa mempelajari apapun secara asinkron mandiri seperti melalui Youtube. Hal
ini menjadikan Gen Z tumbuh menjadi generasi yang percaya diri dan merasa bisa
melakukan apapun sendiri. Sikap mental ini didukung oleh orang tua yang
merupakan generasi X yang tidak mengikuti jalur-jalur tradisional. Yang
berikutnya adalah berkarakter competitive
dimana karakter ini tumbuh dari hasil pengalaman mereka saat orangtua mengalami
krisis ekonomi membuat Gen Z lebih kompetitif dibandingkan generasi sebelumnya.
Mereka ingin menjadi bagian dari tim pemenang, bukan pecundang. Berkarakter
realistis karena sebagai sosok yang mengalami kekhawatiran usai peristiwa
serangan teroris 11/9 dan krisis ekonomi, Gen Z cenderung bersikap pragmatis.
Semisal, mereka berhitung apakah perlu kuliah atau tidak berdasarkan
rasionalitas kepentingan mereka. Jika menurut mereka kuliah akan menguntungkan
maka mereka akan menjalaninya dan sebaliknya.
Tujuh karakter utama Gen Z ini dapat menjadi indikator bagi
pemangku kebijakan pendidikan dalam menentukan bagaimana strategi pendidikan
yang efektif diberikan kepada siswa kategori Gen Z. Dengan karakter phygital, guru harus banyak melakukan
pengamatan tentang bagaimana siswa memadukan sisi fisik dan digital dalam cara
mereka berinteraksi, hidup, dan belajar. Ini kemudian akan menjadi landasan
bagi guru untuk menentukan metode pembelajaran yang akan gunakan. Guru harus
semakin terbuka dan terbiasa menggunakan media pembelajaran berbasis digital,
agar siswa tetap dapat aktif dan tersambung dalam pembelajaran dalam berbagai
kondisi pembelajaran yang ada.
Gen Z berkarakter FOMO dengan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. Karakter FOMO menjadikan siswa
terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang
tersebar dan mudah diakses saat ini semisal situs pencarian google. Dalam hal
ini, pendidikan perlu menjadi media yang terbuka dan mewadahi berbagai
informasi yang diperlukan siswa tidak hanya pada hal yang berkaitan dengan
pembelajaran, tetapi juga keterampilan hidup. Guru harus mampu mengkurasi
informasi apa saja yang memang bermanfaat bagi siswa, dan yang tidak.
Hiper kustomisasi merupakan karakter lainnya dari Gen Z dimana
terbiasa menentukan kebutuhan apa yang mereka butuhkan dan perlu dapatkan. Hal
ini dilakukan oleh mereka dengan cara berselancar di dunia maya. Dalam konteks
pendidikan, memberikan kebebasan siswa menentukan cara belajarnya merupakan
sebuah kebutuhan. Guru perlu untuk mampu melakukan personalisasi cara-cara
belajar bagi setiap siswa, dan memberikan siswa lebih banyak kesempatan untuk
mencari sumber belajar di luar aktivitas bersekolah. Karakter hiper kustomisasi
menyebabkan siswa juga menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di
sekelilingnya, termasuk memberikan masukan terhadap media-media belajar yang
selama ini digunakannya. Penting bagi ekosistem pendidikan untuk memberikan
ruang kepada para siswa untuk menyampaikan gagasan dan penilaiannya tentang
proses belajar yang mereka jalani sehari-hari, termasuk berkesempatan
merekonstruksi harapan mereka tentang pendidikan di masa depan. Yang utama dari
peran guru adalah memberikan pemahaman pada siswa agar selalu memberikan ide
dan kritik yang konstruktif secara asertif.
Dalam praktik pembelajaran saat ini, siswa menjadi sangat
kompetitif dengan keragaman potensi yang dimilikinya. Ini perlu menjadi catatan
penting bagi pendidikan khususnya guru untuk mampu memfasilitasi karakter
terpacu tersebut melalui berbagai media yang mampu mengakomodasi potensi siswa
yang beragam, tanpa mengarahkan pada upaya memperbandingkan antara siswa yang
satu dan yang lainnya. Siswa perlu lebih banyak diapresiasi dan menjadikan praktik
tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya-upaya reflektif semua
pihak dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.
Karakter lain dari Gen Z adalah Weconomist. Pada karakter ini, Gen
Z lebih menyenangi kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terkoneksi
dengan rekan sejawatnya. Dalam pembelajaran, karakter ini dapat difasilitasi
dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu siswa
dan mengkondisikan siswa untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan
tugas-tugas pembelajaran yang diberikan. Era dunia maya, siswa justru perlu
lebih banyak didekatkan dengan sesamanya, untuk dapat saling belajar dan saling
memberikan peer review, dengan tetap
menempatkan guru sebagai fasilitator belajar.
Model project based learning
dapat diterapkan di kelas untuk membangun karakter Gen Z yang lebih senang DIY
(Do It Yourself). Dengan pembelajaran
berbasis project, siswa bisa secara asinkron belajar mandiri melalui
video-video tutorial semisal youtube untuk mengembangkan produk dari
projectnya. Dengan begitu, imajinasi dan kreativitas siswa akan lebih terasah.
Tetapi guru tetap menjadi fasilitator belajar dengan kesediaannya menjadi
rujukan pertanyaan jika ada hal yang tidak dipahami oleh siswa.
Selain penerapan pembelajaran yang bersifat mandiri, demokratis,
dan membuka ranah yang luas bagi penciptaan dan penemuan hal-hal baru dalam
pembelajaran. Guru perlu menciptakan iklim belajar yang mampu membangun self
regulation pada diri siswa. Siswa perlu dikuatkan untuk realistis tentang
kehidupan dan masa depannya. Guru harus menyampaikan kepada siswa terkait
peluang, tantangan dan hambatan yang mungkin nantinya akan dihadapi oleh siswa
dalam mencapai impian cita-cita mereka.
Model
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project
Based Learning Model) Bagi Gen-Z
Melihat karakter generasi Z (Gen-Z) yang multitasking atau
terbiasa dengan teknologi, maka guru dapat meramu pembelajaran di sekolah
dengan menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakter generasi
Z, diantaranya: inquiry based learning,
problem based learning, experiential based learning, task based learning, theme
based learning, cooperative learning, project based learning dan flipped classroom model (Kusumaningtyas
dkk., 2019). Model yang satu tidak berarti lebih unggul daripada model yang
lain, semua bergantung pada bagaimana kemampuan guru mengimplementasikan model
yang diterapkan secara baik dan benar. Dalam makalah ini, penulis hanya
memfokuskan pada tawaran secara konseptual penerapan Project Based Learning Model dalam pembelajaran.
Project Based
Learning Model pada awalnya dikembangkan oleh Howard Barrows (1969) di McMaster
University di Kanada. Ketika itu pendekatan pembelajaran ini digunakan atas
dasar pertimbangan bahwa pengetahuan berkembang cepat dan peserta didik tidak
mungkin menguasai semua pengetahuan dalam kurun waktu tertentu (semester).
Karena itu peserta didik diminta bekerja dalam kelompok untuk mengidentifikasi
pengetahuan yang sudah dikuasai, yang perlu dikuasai, bagaimana menguasainya
dan kemana mencari akses informasi untuk bisa memecahkan masalah. Konsep Project Based Learning tersebut sesuai
dengan beberapa karakter Gen-Z yaitu phygital,
Do It Yourself, dan realistic. Phygital karena Project Based
Learning dapat berjalan optimal jika didukung dengan penggunaan
sumber-sumber atau media-media pembelajaran berbasis digital. Do It Yourself karena siswa baik secara
mandiri maupun bersama tim kelompoknya menemukan sendiri core problem dan
solusinya. Realistic karena Project Based Learning dapat memuaskan
rasa keingintahuan Gen-Z terhadap suatu permasalahan dari hasil project yang
nyata.
Secara definisi, Michael M. Grant (2002) menjelaskan bahwa Project Based Learning (PjBL) merupakan
suatu model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik untuk melakukan suatu
investigasi yang mendalam terhadap suatu topik. Peserta didik secara
konstruktif melakukan pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset
terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata, dan relevan. Peran
guru dan tutor sangat penting dalam memfasilitasi dan mengarahkan proses
pembelajaran. Proses pemecahan masalah bisa bervariasi.
Dalam Project Based Learning
guru menuntun pertanyaan dan berperan lebih aktif ketika siswa melaksanakan proses
belajar. Blended learning ataupun flipped classroom bisa dilaksanakan
ketika guru menggunakan Problem Based
Learning atau Project Based Learning.
Siswa bisa melaksanakan proses pencarian dan pengumpulan informasi dengan
mengakses sumber-sumber online,
menggunakan sumber-sumber multimedia secara online,
menyiapkan bahan laporan dan presentasi secara online, bekerja sama dengan kelompok untuk mengerjakan proyek atau
melaksanakan kritik dan evaluasi kegiatan.
Adapun langkah‐langkah pembelajaran dengan Project Based Learning Model adalah sebagai berikut:
1. Peserta didik dibagi dalam kelompok‐kelompok
kecil dan masing masing kelompok melaksanakan proyek nyata (connecting the problem).
2. Masing‐masing kelompok diberikan penjelasan
tentang tugas dan tanggung jawab (setting
the structure) yang harus dilakukan oleh kelompoknya dalam praktik.
3. Peserta didik di masing‐masing kelompok
berusaha maksimal untuk mengidentifikasikan masalah bisnis (visiting the problem) yang dihadapi
sesuai pengetahuan yang dimiliki; (a). mengidentifikasi masalah dengan seksama
untuk menemukan core problem yang sedang dihadapi dan (b) mengidentifikasi cara
untuk memecahkan masalah.
4. Peserta didik di masing‐masing kelompok
mencari informasi dari berbagai sumber (buku, pedoman dan sumber lain) atau
bertanya pada pakar yang mendampingi untuk mendapatkan pemahaman tentang
masalah (revisiting the problem).
5. Berbekal informasi yang diperoleh peserta
didik saling bekerjasama dan berdiskusi dalam memahami masalah dan mencari
solusi (produce the product) terhadap
masalah dihadapi dan langsung diaplikasikan. Pelatih bertindak sebagai
pendamping.
6. Masing‐masing kelompok mensosialisasikan
pengalaman dalam memecahkan masalah kepada kelompok lainnya untuk mendapatkan
masukan dan penilaian (evaluation)
dari kelompok lainnya.
Tahapan atau sintaks Project Based Learning Model yang lain adalah
seperti yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) sebagai pendukung dari Kurikulum 2013 yaitu sebagai berikut.
1. Penentuan pertanyaan mendasar.
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan
esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik dalam
melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia
nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar
topik yang diangkat relevan untuk para peserta didik.
2.
Mendesain perencanaan proyek.
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif
antara pengajar dan peserta didik. Dengan demikian peserta didik diharapkan
akan merasa memiliki atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan
main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan
esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta
mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian
proyek.
3. Menyusun Jadwal.
Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif
menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini
antara lain: (a) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (b)
membuat deadline penyelesaian proyek, (c) membawa peserta didik agar
merencanakan cara yang baru, (d) membimbing peserta didik ketika membuat cara
yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (e) meminta peserta didik untuk
membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara.
4.
Memonitor peserta didik dan kemajuan.
Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan
monitor terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek.
Monitoring dilakukan dengan cara memfasilitasi peserta didik pada setiap
proses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas
peserta didik. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang
dapat merekam keseluruhan aktivitas yang penting.
5. Menguji Hasil.
Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar
dalam mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan
masing- masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman
yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi
pembelajaran berikutnya.
6. Mengevaluasi Pengalaman.
Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan
peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah
dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok.
Pada tahap evaluasi peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan
pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik
mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses
pembelajaran.
Sebagaimana model-model pembelajaran yang lain, Project Based Learning Model juga
memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Beberapa kelebihan dari Project Based Learning Model menurut
Purnawan (2007) yaitu:
1. Memotivasi peserta didik dengan melibatkannya
di dalam pembelajarannya, membiarkan sesuai minatnya, menjawab pertanyaan dan
untuk membuat keputusan dalam proses belajar.
2. Menyediakan kesempatan pembelajaran berbagai
disiplin ilmu.
3. Membantu keterkaitan hidup di luar sekolah,
memperhatikan dunia nyata, dan mengembangkan keterampilan nyata.
4. Menyediakan peluang unik karena pendidik
membangun hubungan dengan peserta didik, sebagai pelatih, fasilitator, dan co-learner.
5. Menyediakan kesempatan untuk membangun
hubungan dengan komunitas yang besar.
6. Membuat peserta didik lebih aktif dan berhasil
memecahkan problem-problem yang kompleks.
7. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan
dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.
8. Memberikan pengalaman pada peserta didik
pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasikan proyek, dan membuat alokasi
waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
9. Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan
peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia
nyata.
10. Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan,
sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.
Selain beberapa kelebihan tersebut, Project Based Learning Model juga memiliki beberapa kelemahan.
Kelemahan dari Project Based Learning
antara lain; memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah, membutuhkan
biaya yang cukup banyak, banyak pendidik yang merasa nyaman dengan kelas
tradisional di mana pendidik memegang peran utama di dalam kelas, banyaknya
peralatan yang harus disediakan, peserta didik yang memiliki kelemahan dalam
percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan, ada kemungkinan
terdapat peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok, ketika topik
yang diberikan pada masing-masing kelompok berbeda, dan dikhawatirkan peserta
didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (2020). Berita Resmi Statistik No.
07/01/Th.XXIV, 21 Januari 2020
Grant, M.M. (2002). Getting A Grip of Project Based Learning:
Theory, Cases and Recomandation. Meredian A Middle School Computer
Technologies Journal, Vol. 5 (1); 1-3
Jenkins, Ryan (2017). Four Reasons Generation Z will be the Most
Different Generation. https://blog.ryan-jenkins.com/2017/01/26/4-reasons-generation-z-will-be-the-most-different-generation
Kemendikbud. 2013. Bahan Sosialisasi Kurikulum 2013.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kusumaningtyas, Ratri dkk. (2020). Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Guru Melalui Model dan Media Pembelajaran bagi Generasi Z. Jurnal
WARTA LPM, Vol.3 (1); 54-62
Purnawan, Yudi (2007). http://yudipurnawan.wordpress.com/2007/12/18/deskripsi-model-pbl-pembelajaran-berbasis-proyek
Stillman, David & Stillman, Jonah (2017). Gen
Z @Work: How The Next Generation is
Transforming the Workplace. New York: HarperCollins Published