Kamis, 23 Maret 2023

KISAH SAPI DAN WATAK "NGEYEL" BANI ISRAIL

Suatu ketika di era dakwah Nabiullah Musa alaihissalam terjadilah kasus pembunuhan seorang bani Israil. Korban adalah seorang hartawan yang kekayaannya luar biasa berlimpah tapi tidak memiliki anak sebagai ahli waris. Alhasil, banyak kerabat si korban yang menginginkan dan menanti warisan.

Singkat kisah, pertikaian pun terjadi diantara para kerabat si korban. mereka mengklaim sebagai yang berhak mendapatkan harta waris korban. semakin lama pertikaian semakin menjurus kepada saling fitnah dan saling tuduh sebagai pembunuh si korban.

Di situasi yang semakin rumit, ada salah seorang yang menengahi, “wes ojo gegeran....bukankah di antara kita ada Musa, sang Rasul Allah? Mari kita tanyakan perihal ini kepada beliau" ujarnya. Dan mereka pun berbondong-bondong segera menemui Nabiullah Musa alaihissalam.

"ya Nabiyullah Musa, salah seorang kerabat kami ada yang mati terbunuh, mintalah kepada Allah untuk menunjukkan siapa pembunuhnya" pinta Bani Israil.
Setelah mendengar curhatan dan permintaan dari orang-orang Bani Israil yang bertikai, Nabi Musa pun berdoa memohon petunjuk pada Allah agar menunjukkan rahasia di balik kematian si korban. Maka, Allah pun memerintahkan Musa agar menyuruh bani Israil menyembelih seekor sapi.

"ok.....Allah sudah memerintahkan padaku agar kalian menyembelih seekor sapi. sekarang bawalah padaku seekor sapi dan sembelihlah" perintah Nabi Musa.
Sebenarnya perintah yang sangat mudah. Akan tetapi karena watak "ngeyel" Bani Israil, mereka tidak segera melaksanakan perintah tersebut tapi justru bertanya lagi “sapinya yang berumur muda atau tua?". Nabi Musa menjawab "Tidak muda, tidak pula tua, umur pertengahan saja". Bani Israil bertanya lagi “Apa warna sapinya?”. Nabi Musa menjawab, “Warnanya kuning tua/keemasan”.
Dasar tukang "ngeyel", Bani Israil pun bertanya lagi “kira-kira bagaimana ciri-ciri kondisi sapi itu?". Nabi Musa dengan sabar pun menjawab lagi "sapi itu tak pernah digunakan untuk membajak sawah atau memberi air bagi tanaman. Sapi itu pun sangat bersih, tidak memiliki cacat”.

Akhirnya, Bani Israil menyadari kebodohan mereka. Mereka pun mencukupkan pertanyaan dan mulai mencari jenis sapi yang elok itu.

Coba bayangkan, dari perintah yang sangat mudah karena faktor "ngeyel" kebanyakan bertanya, akhirnya justru semakin sulit mendapatkan sapi itu. Andai mereka menurut saat perintah pertama, mereka bebas memilih sapi manapun.

Setelah kesulitan mencari kesana kemari, akhirnya mereka pun mendapatkan sapi dengan kriteria hasil ke-ngeyel-an mereka. itupun dengan harga yang sangat mahal. Konon harga sapi setara dengan harta waris si korban, sehingga habislah harta si korban hanya untuk membeli sapi tersebut.

Setelah sapi didapat, segeralah dibawa kehadapan Nabi Musa dan diperintahkan untuk disembelih. Setelah disembelih Nabi Musa pun memukulkan buntut sapi ke jasad si korban. Biidznillah, mayat korban pun bangun. Nabi Musa pun bertanya kepada korban siapa yang telah membunuhnya. Korban pun menjawab sambil menunjuk kepada salah seorang kerabatanya bahwa dialah pembunuhnya. Tapi dasar Bani Israil, tetap "ngeyel" tidak mengakui.

Itulah watak bani Israil. Minta petunjuk pada Allah dengan perantara Nabi Musa, sudah dapat petunjuk malah "ngeyel" membantah tidak mengakui.

eiiiiittssss.....jangan pongah dulu dengan merendahkan bani Israil. Kita pun sekarang sudah mulai terjangkit watak "ngeyelan" bani Israil. diperintahkan untuk melakukan yang mudah tapi karena ngeyel akhirnya jadi sulit. kalau istilah arek Suroboyo "dikongkon A jalukane B, C, D padahal ora mampu, suwe2 dadi ruwet. opo maneh dibumbuhi watak arep kemoncolen golek rai malah tambah ruweeeeetttttt".



Padukuhan Kupang Wetan, 1 Romadhon 1444 hijriah
Selamat berpuasa 🙏

Selasa, 17 Januari 2023

ANAK KIJANG DI KOTA BUAYA; Kisah Beberapa Bongkah Batu

            Di pojok utara lahan pekarangan rumah kami ada parit dengan lebar dan kedalaman sekitar setengah meter. Parit ini mengaliri air dari kompleks rumah kos-kosan depan rumah kami. Sedangkan disebelah parit hanya tanah kosong milik seseorang yang masih kerabat jauh Emakku. Jadi antara tanah rumah kami dan tanah kosong kerabatku terbatasi oleh parit. Karena selalu tergerus air lama kelamaan parit menjadi semakin dangkal dan menyempit sehingga dalam setahun sekali harus digali dan diperlebar kembali. Saat memperlebar parit biasanya Bapakku akan sekalian memperbaiki konstruksi pinggiran parit dengan bebatuan. Pembaca mungkin berpikir kenapa tidak di cor (dipasang batu miring atau pelengsengan dg semen agar kokoh). Jelas alasan ekonomi adalah jawabannya. Karena untuk makan saja kami sangat kesulitan.
Pada saat aku duduk di bangku kelas 3 MTs. (setara SMP) ada suatu peristiwa yang tidak akan pernah kulupakan dan akan menjadi pelajaran bahkan hingga keanak cucuku nanti.
Saat itu aku diminta bantuan oleh Bapakku untuk membantu memperbaiki parit yang sudah mendangkal dan menyempit. Seperti biasanya Bapakku terlebih dahulu akan pergi ke lokasi-lokasi bekas penambangan PT. Aneka Tambang untuk mengambil beberapa karung bebatuan bauksit. Disekitar Kijang banyak lokasi bekas penambangan Bauksit. Beberapa lokasi di reboisasi dengan ditanami pohon akasia atau pohon jambu mede/mete (jambu monyet) beberapa dibiarkan menjadi lahan kosong. Singkat cerita kami kehabisan bongkahan batu dan akupun langsung mengumpulkan beberapa bongkahan batu yang kuambil dari lahan kosong.
Awalnya Bapakku tidak mengetahui kalau aku mengambil bongkahan-bongkahan batu dari tanah sebelah. Tapi lama kelamaan beliau tahu juga. “dapat darimana batu-batunya?” Tanya Bapakku. “itu Pak ambil di tanah sebelah” jawabku sambil menunjuk ke tanah sebelah. “tidak boleh, cepat kembalikan semuanya. Yang sudah terpasang di parit bongkar juga dan kembalikan semua” perintah Bapakku dengan wajah tegas. “lhaaa Pak, kan cuma batu dan juga tanah kosong gak ada yang nempati” kelahku. “tanah ini ada yang punya, bukan haknya kita, meskipun cuma sebutir kerikil kalau kita tidak minta sama yang punya artinya kita sudah mencuri. Harus minta izin dulu sama yang punya tanah” timpal Bapakku.
Akhirnya akupun mengembalikan semua bongkahan-bongkahan batu keasalnya dan batu-batu yang sudah tertata menjadi batu miring aku bongkar kembali dengan dibantu oleh Bapakku. Sambil itu, Bapakku bercerita tentang kisah yang masyhur dikalangan para sufi. Aku sangat ingat sekali kisah ini karena Bapakku sering sekali mengulang-ulang kisah ceritanya.
Begini kisahnya,
Zaman Sultan Harun al-Rasyid, hiduplah sepasang suami-istri beserta anak-anak mereka. Mereka bukan keluarga yang mampu bahkan tergolong miskin. Sementara tetangga mereka adalah keluarga yang kaya raya.
Suami istri ini adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah). Suami bekerja sebagai buruh pencari kayu di hutan. Sedangkan tetangga mereka selain terkenal kaya raya tapi juga terkenal dengan kepelitannya. Meskipun punya tetangga yang miskin tapi mereka tidak pernah mau membantu.
Suatu ketika di bulan Romadlon, seperti biasa Sultan al-Rasyid mengumpulkan para mustahiq zakat (orang yang berhak mendapatkan zakat) yang terdiri dari orang-orang faqir, miskin, amil, muallaf, gharim, riqab, fiisabilillah, dan ibnu sabil. Semua mustahiq dipanggil satu persatu untuk menerima zakat. Seperti biasa juga selain zakat berupa makanan pokok, Sultan juga memberikan beberapa keping dirham kesetiap mustahiq. Rasa syukur yang tak terkira diucapkan oleh si suami ‘abid tadi. “Dirham ini kalau aku belikan pakaian tentu tidak akan cukup untuk semua keluarga, tapi jika dibelikan beberapa lembar kain maka akan cukup jika dijahit untuk semua keluargaku akan. Biarlah istriku yang akan menjahit kainnya nanti untuk menjadi baju” pikir si ‘abid.
Pulanglah si ‘abid sambil membawa hasil zakat dan beberapa potong kain. Diberikanlah kain tersebut kepada sang istri untuk dijahitkan menjadi beberapa helai baju yang cukup untuk seluruh keluarga dan akan dipakai saat ‘iedul fitri. Mulailah sang istri menjahit kain-kain tersebut.
Tidak terasa malam pun tiba, mereka baru menyadari jika di rumah mereka sudah tidak ada minyak untuk menyalakan lentera. “pak, malam semakin gulita, kita sudah tidak punya minyak untuk menyalakan lentera” ujar si istri. “coba bu ke rumah tetangga untuk meminta sedikit minyak sekedar untuk menyalakan sebuah lentera” saran si ‘abid. “baiklah pak” jawab si istri.
Pergilah si istri ke rumah tetangga yang kaya raya. Setelah bertemu si empunya rumah, segeralah diutarakan maksud si tamu. “wahai tetangga, di rumah kami sudah tidak ada satupun lentera yang menyala. Kami sudah tidak memiliki setetes pun minyak…..sudilah kiranya tuan untuk memberikan kami sedikit minyak agar terang rumah kami” iba si tamu. “cih…kamu lagi, selalu saja mengganggu istirahat malamku” hardik si empu rumah. “kalau mau banyak minyak suruh suamimu kerja, jangan cuma ibadah. Ibadah tidak akan buat kalian kenyang dan kaya raya. Malam ini tidak akan kuberikan minyak, supaya kalian belajar bahwa jadi orang miskin itu tidak enak, supaya kalian sadar untuk bekerja keras…pulanglah sana!!!” kembali si empu rumah menghardik.
Dengan wajah lesu, si tamu pun kembali ke rumah. Diceritakanlah semua kepada suaminya. Dengan sabar suaminya pun menyahut penjelasan istrinya dengan kalimat-kalimat yang membesarkan hati istrinya.
Bagaimana dengan jahitan baju kita pak? Besok sudah ‘iedul fitri” ucap si istri. “bu, coba lihat….disebelah rumah tetangga kita itu ada seberkas sinar cahaya lentera yang menyinari hingga keluar. Cobalah kau menjahit disana. Aku yakin si tetangga yang pelit itu tidak akan marah” saran si ‘abid. “iya pak, aku akan menjahit disitu pak” balas si istri. Dan si istri pun langsung menuju kesebelah rumah tetangga hanya sekedar untuk memanfaatkan seberkas sinar cahaya dari rumah tetangga yang menjorok hingga keluar rumah (kalau sekarang numpang wifi gratis tetangga….hehe). Mulailah si istri menjahit. Jahitan demi jahitan, hingga jadilah beberapa helai baju. Setelah selesai kembalilah si istri ke rumah.
Malam pun semakin larut. Lolongan anjing liar dan burung-burung malam mulai bersahut-sahutan. Manusia sudah lelap di peraduan masing-masing. Saat lelap tidur, si ‘abid bermimpi. Ia bermimpi sedang disiksa oleh Malaikat Zabaniyah (Malaikat yang menjadi algojo di Neraka) bersama istrinya didalam neraka. Di neraka itu ada pula si tetangga. Sambil menyiksa, Zabaniyah sambil berucap “inilah ganjaranmu wahai pencuri”, terus saja kalimat itu berulang-ulang diucapkannya.
Diseberang, si tetangga juga sedang bermimpi, bermimpi dengan tema yang sama yaitu sedang disiksa di neraka dan dalam mimpinya ia juga melihat tetangganya sedang disiksa bersamanya di neraka. Sambil menyiksa, Zabaniyah sambil berucap “inilah ganjaranmu wahai orang kaya yang pelit”, terus saja kalimat itu berulang-ulang diucapkannya.
Setelah semakin berat siksaannya tiba-tiba si ‘abid dan si tetangga sontak terbangun dari tidurnya dengan terengah-engah dan keringat bercucuran karena rasa takut.
Keesokan paginya, pergilah mereka berdua kepada seorang ulama yang masyhur dengan sifat wara’ dan sudah mencapai maqom mukasyafah. Berceritalah mereka berdua perihal mimpi yang dialaminya. Setelah mendengar cerita mereka berdua, si ulama pun menjelaskan bahwa kesalahan si ‘abid dan istri karena telah mencuri hak milik tetangga tanpa izin meskipun itu hanya seberkas sinar lentera. Sedangkan kesalahan si tetangga karena tidak memberikan hak tetangganya yang miskin. Ajaran Islam bagi tetangga yang kaya adalah berkewajiban membantu tetangganya yang miskin. Islam mengutuk tetangga yang perutnya selalu kekenyangan sementara tetangga sebelah rumahnya sangat kelaparan meskipun ia seorang yang taat beribadah. Ada hak dan kewajiban yang telah diatur oleh Islam dalam hidup bertetangga.
Akhirnya, setelah mendapat penjelasan dari ulama tersebut, kedua orang bertetangga itupun saling menyadari kesalahan masing-masing dan keduanya kembali hidup rukun saling membantu.
Selesai bercerita, Bapakku menegaskan dan menasehatiku untuk jangan pernah mengambil hak milik orang lain tanpa izin meskipun cuma sebutir batu atau secercah sinar. Hak milik orang lain juga bukan cuma berupa barang yang telihat oleh mata. Tetapi yang tidak terlihat oleh mata juga tidak boleh kita renggut. Rasa bahagia, rasa aman, rasa damai, rasa berkasih sayang itu hak miliki setiap orang yang tidak boleh kita ganggu apalagi kita rampas. Saat itu Bapakku memberikan contoh, andai ada tetangga yang sedang berbahagia mengadakan resepsi pernikahan, janganlah kita rusak dengan cerita-cerita gosip dari lisan kita yang menjelek-jelekkan acara tersebut sehingga tetangga kita menjadi merasa risih, merasa susah dan gundah. Ada tetangga kita yang sedang bahagia punya sepeda motor baru meskipun secara kredit, jangan lisan kita mencemooh sehingga tetangga kita menjadi malu. Jika ini dilakukan berarti kita sudah mencuri hak tetangga kita.
Itulah Bapakku, orang yang berani hidup miskin daripada harus mencuri. Bapakku bekerja sebagai pegawai tetap di PT. Aneka Tambang Wilayah Kijang-Bintan Timur salah satu BUMN yang khusus menambang tanah Bauksit. Terakhir jabatan beliau adalah Pengawas Lapangan. Tugas Pengawas Lapangan adalah mengawasi proses penggalian tanah bauksit di lokasi penambangan, juga mengawasi sarana dan prasarana produksi. Termasuk sarana prasarana disini adalah kendaraan dinas beserta BBM (Bahan Bakar Minyak)-nya.
Lokasi penambangan biasanya di pulau-pulau kecil sekitar Bintan dan ditengah hutan. Kendaraan produksi berupa truk tambang Komatsu yang ukuran ban-nya lebih dari 2 meter. Kendaraan-kendaraan ini tentu membutuhkan BBM yang tidak sedikit sehingga disetiap lokasi tambang sudah disediakan tangki-tangki BBM jenis solar dengan model tandong tabung ukuran diameter lebih dari 2 meter.
Sebagai Pengawas Lapangan, sangat bisa bagi Bapakku untuk korupsi BBM. Jika saat itu Bapakku berani membawa pulang satu jerigen solar aja tiap hari untuk dijual ke juragan-juragan ikan atau juragan pemilik perahu motor seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan beliau tentu keluarga kami akan kaya raya.
Itulah Bapakku Muhammad Yasin bin Yahya, seorang sufi “ortodok” yang sepanjang hidupnya tetap setia menjaga muru’ah seorang sufi hingga akhir hayat beliau.


Padukuhan Kupang Wetan,
24 Jumadil Akhir 1444h
17 Januari 2023

Sabtu, 03 Desember 2022

CINTA LAILA LEBIH BESAR DARI CINTA QAIS

“Laila….engkau harus menikah dengan Ibnu Salam” ujar keras Amir Qhatibiah kepada puteri semata wayangnya.
Dengan tertunduk layu sembari meneteskan air mata Laila menjawab tanpa membantah “baiklah ayah, sekehendak hati ayah”.
“Ibnu Salam anak bangsawan suku Thaqif yang kaya raya…engkau tidak akan menyesal menikah dengannya Laila” istri Amir ikut membujuk.
“baiklah ibu, sekehendak hati ibu” ucap tegas dari Laila
---------------------------------------------------------------------------------
Sampailah kisah pada hari pernikahan Laila dan Ibnu Salam. Dan saat malam pertama tiba, masuklah Ibnu Salam kedalam kelambu ranjang Laila.
Ibnu Salam adalah seorang tua dari golongan bangsawan kaya raya yang sudah menikah lebih dari sepuluh kali. Dengan segudang pengalaman dalam hal ihwal pernikahan, Ibnu Salam mencoba merayu Laila.

“wahai Laila istriku, marilah kita reguk kenikmatan malam ini sebagai sepasang suami istri” ucap Ibnu Salam.

Sambil tersenyum Laila menjawab “baiklah wahai suamiku Ibnu Salam, aku akan melakukannya bersamamu. tapi sebelumnya, jawablah dulu pertanyaan dariku”.

“silahkan Laila, ajukanlah pertanyaanmu itu istriku” balas Ibnu Salam.

Segera Laila mengajukan pertanyaan “kenapa engkau menikahiku wahai suamiku?”
“Karena engkau wanita tercantik di kota ini wahai Laila. Semua pria di kota ini berhasrat untuk menikahimu, tetapi akulah orang yang paling beruntung karena akulah yg menjadi suamimu” jawab Ibnu Salam sambil tertawa dengan pongahnya.

Sambil menahan marah Laila berkata “jika itu alasanmu, ambillah belatimu yang paling tajam. Potonglah kepalaku atau kulitilah wajahku ini dengan belatimu dan simpanlah ia untuk menjadi pemuas hasratmu. Jika engkau belum puas juga, silahkan potong-potong bagian tubuhku lainnya yang selama ini kau idam-idamkan. Sungguh engkau tidak mencintaiku wahai Ibnu Salam suamiku”.

Terperanjatlah Ibnu Salam dan sontak berteriak sambil berkacak pinggang “wahai Laila, aku adalah suamimu, aku telah membayar maharmu, haram bagimu menolak ajakan suamimu”.
“silahkan perlakukan aku sesukamu layaknya sawah ladang bagimu wahai suamiku, tapi sawahmu ini sangat gersang dari air cinta. Sawah yang gersang tidak akan pernah menyuburkan tanaman” jawab Laila dengan lembut sambil tersenyum.
---------------------------------------------------------------------------------
Malam berganti siang, siang kembali berganti malam, hari terus silih berganti, bulan berganti bulan bahkan bertemu tahun. Tetapi pertanyaan Laila selalu sama. Tidak kurang rayuan Ibnu Salam agar Laila berkenan kepadanya, bahkan dengan cara kekerasan sekalipun Laila tetap tak bergeming dan tetap dengan pertanyaan juga keputusan yang sama.

Ibnu Salam pun terheran-heran dengan sikap Laila hingga ia pun pasrah tanpa bisa berbuat apapun lagi. Saat siang hari Laila melayani kebutuhan suaminya dalam hal sandang dan pangan dan menjadi pendamping suami dihadapan tamu-tamu suaminya. Tapi saat malam tiba, Laila mengunci rapat-rapat pintu kamarnya. Ia menangis menahan rindu dengan Qais kekasihnya hingga subuh tiba. Hingga suatu hari takdir Allah yang sudah pasti pun berlaku pada Ibnu Salam. Ia mati tanpa pernah menyentuh Laila.
Saat hari kematian Ibnu Salam. Laila menangis sejadi-jadinya hingga orang-orang beranggapan jika ia menangisi mendiang suaminya. Esok harinya Laila masih saja menangis, demikian juga lusa dan hari-hari seterusnya hinggalah mata Laila menjadi buta.

Orang-orang berkata “sungguh besar rasa cinta Laila kepada Ibnu Salam hingga ia menangisi kematiannya sampai matanya menjadi buta”.

Sungguh tangisan Laila adalah karena rasa rindunya yang tidak pernah terungkap pada Qais. Ia menutup rapat-rapat kedua bibirnya agar tidak mengucapkan rasa rindunya. Hanya tangisan dan air matanyalah yang berbicara mewakili beban hatinya.

Setelah kedua matanya membuta, hilanglah juga hasrat duniawi Laila. Tidak lagi ada hasrat untuk makan dan minum, yang ada hanyalah tangisan kerinduannya pada Qais. Hingga iapun jatuh sakit. Sudah buta – sakit pula.

Saat sudah semakin lemah dengan sakitnya, datanglah mendekat salah seorang dayang Laila. Si dayang berkata kepada Laila “wahai tuanku Laila, tadi di masjid aku melihat segerombolan orang sedang berdebat dan mencaci maki seorang majnun. Bahkan tidak henti-hentinya orang-orang mengumpatnya. Anak-anak kecil melemparinya dengan batu. ibu-ibu mengutuknya. Tapi dari mulut si majnun hanya berucap Laila…..Laila….Laila”. kucoba bertanya ke orang-orang perihal si majnun, orang-orang kompak menjawab “orang itu majnun sejak berjumpa Laila”.

Mendengar nama majnun, Laila yang sedang dalam payahnya karena sakit sontak berjingkat dari pembaringan, dan dengan pandangan keingintahuan kelanjutannya berita tentang Qais ditatapnya si dayang seolah-olah ingin melahap wanita paruh baya itu.
“apakah engkau melihatnya wahai dayang? Benarkah selalu keluar dari mulutnya nama Laila???” Tanya Laila.

“apakah yang selalu keluar dari mulutnya adalah namamu wahai tuan putri” timpal dayang.

“iya dayang, dialah Qais bin Maluh….sang pecinta gila. Dialah tangisku selama ini. Dialah buta dan sakitku ini”.

"wahai tuan putri, apakah cintamu pada Qais lebih besar daripada cintanya padamu?" tanya dayang. Lalu Laila menjawab, "Justru cintaku padanya yang lebih besar!". "Mengapa bisa?" balas dayang. "Karena cintanya padaku terkenal. Sedangkan cintaku padanya tersembunyi." Jawab Laila.
“wahai dayang, ambilkanlah aku secarik kain sutera putih dan pena dengan tinta aroma ambar (mawar).

Bergegaslah si dayang menyiapkan permintaan tuan putrinya. Tak sampai seperdupaan, dayang pun kembali dan menyerahkan semua keperluan kepada tuan puterinya. Laila pun mulai menuliskan sesuatu di secarik kain sutra putih . Setelahnya dilipatnya kain sutera putih itu.

“wahai dayang, pergilah engkau keluar. Carilah majnunku entah dimana dia berada. Carilah ia dipojokan-pojokam pasar, atau di kuburan-kuburan, di hutan belantara atau di goa-goa. Carilah ia sampai ketemu bahkan jika engkau harus menyeberang benua sekalipun. Berikanlah secarik kain sutera putih ini padanya. Tidak perlu engkau bersusah payah menjelaskan perihalnya karena rasa cintanya padaku yang sudah terpatri disetiap bulu roma tubuhnya yang akan menjelaskan padanya.
“Sendiko dawuh tuan putri” timpal dayang sambil berpamit diri.
---------------------------------------------------------------------------------
Dicarilah Qais oleh si dayang mulai dari gang-gang dan pojokan pasar, di kuburan-kuburan, di goa-goa. Sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, dua minggu, berganti bulan belum juga ditemukan olehnya di majnun. Hinggal akhirnya Allah pun berkehendak, dipertemukanlah si dayang dengan si majnun.

Majnun sedang tiduran dengan dikelilingi oleh sekumpulan binatang liar, singa, serigala, rusa, kelinci, ular dan lainnya. Tidak ada satupun dari hewan-hewan itu yang berniat mencelakai diri majnun.

“wahai Qais, bangunlah” sapa dayang. Tapi Qais tak bergeming. “wahai Qais, bangunlah” dayang mengulangi. Qais masih tetap tak peduli. “wahai sang pecinta gila, akankah engkau terus berpura-pura menutup kedua matamu? Ataukah kau akan menyambut sesuatu matlumat dari Laila-mu???”

Sontak Qais meloncat dari pura-pura tidurnya. “engkau membawa matlumat dari Laila?” tanya Qais. “iya” jawab si dayang sambil menyodorkan secarik kain sutera putih.

Diambilnya kain itu oleh Qais, digenggamnya erat-erat, diciuminya dengan penuh cinta. Dibukanya perlahan seolah-olah kain itu ibarat kertas usang yang mudah rusak. Dipandanginya isi secarik kain sutera putih itu.
“Lailaaaaaaaaaaaaaa………..” Qais berteriak sekuat-kuatnya hingga tubuhnya gontai hingga tumbang. Qais pun pingsan.
---------------------------------------------------------------------------------
“Qaiiiiiiiiiiiiisssssssssssss………..” teriak Laila terdengar lamat-lamat dan serak hingga bibirnya terkatup, matanya pun terpejam. Laila telah menerima takdir ilahi yang pasti yaitu kematian.
 
 

Padukuhan Kupang Wetan-Ujunggaluh, 1-12-2022
Pukul, 22:45
Syekh Joborantas






 


Epilog:
Isi surat Laila untuk kekasihnya Qais al-majnuni di secarik kain sutera putih:
Wahai pengembara yang selalu diliputi kesengsaraan……..Aku adalah rembulan dan engkau adalah matahari yang menyinariku dari kejauhan. Maafkan aku, karena orbit berbeda membuat kita selalu terpisah. Semua sudah selesai. Laila, sahabatmu dalam kesedihan itu sekarang sudah tiada. Ia telah terbebas dari belenggu duniawi Hatinya hanya diberikan padamu dan dia mati untukmu”.