“Laila….engkau
harus menikah dengan Ibnu Salam” ujar keras Amir Qhatibiah kepada puteri semata wayangnya.
Dengan tertunduk layu
sembari meneteskan air mata Laila menjawab tanpa membantah “baiklah ayah,
sekehendak hati ayah”.
“Ibnu Salam anak
bangsawan suku Thaqif yang kaya raya…engkau tidak akan menyesal menikah
dengannya Laila”
istri Amir ikut membujuk.
“baiklah ibu, sekehendak
hati ibu” ucap
tegas dari Laila
---------------------------------------------------------------------------------
Sampailah kisah pada
hari pernikahan Laila dan Ibnu Salam. Dan saat malam pertama tiba, masuklah
Ibnu Salam kedalam kelambu ranjang Laila.
Ibnu Salam adalah
seorang tua dari golongan bangsawan kaya raya yang sudah menikah lebih dari
sepuluh kali. Dengan segudang pengalaman dalam hal ihwal pernikahan, Ibnu Salam
mencoba merayu Laila.
“wahai Laila
istriku, marilah kita reguk kenikmatan malam ini sebagai sepasang suami istri” ucap Ibnu Salam.
Sambil tersenyum Laila
menjawab “baiklah wahai suamiku Ibnu Salam, aku akan melakukannya bersamamu.
tapi sebelumnya, jawablah dulu pertanyaan dariku”.
“silahkan Laila,
ajukanlah pertanyaanmu itu istriku” balas Ibnu Salam.
Segera Laila
mengajukan pertanyaan “kenapa engkau menikahiku wahai suamiku?”
“Karena engkau
wanita tercantik di kota ini wahai Laila. Semua pria di kota ini berhasrat
untuk menikahimu, tetapi akulah orang yang paling beruntung karena akulah yg
menjadi suamimu”
jawab Ibnu Salam sambil tertawa dengan pongahnya.
Sambil menahan marah Laila
berkata “jika itu alasanmu, ambillah belatimu yang paling tajam. Potonglah
kepalaku atau kulitilah wajahku ini dengan belatimu dan simpanlah ia untuk
menjadi pemuas hasratmu. Jika engkau belum puas juga, silahkan potong-potong
bagian tubuhku lainnya yang selama ini kau idam-idamkan. Sungguh engkau tidak
mencintaiku wahai Ibnu Salam suamiku”.
Terperanjatlah Ibnu
Salam dan sontak berteriak sambil berkacak pinggang “wahai Laila, aku adalah
suamimu, aku telah membayar maharmu, haram bagimu menolak ajakan suamimu”.
“silahkan
perlakukan aku sesukamu layaknya sawah ladang bagimu wahai suamiku, tapi
sawahmu ini sangat gersang dari air cinta. Sawah yang gersang tidak akan pernah
menyuburkan tanaman”
jawab Laila dengan lembut sambil tersenyum.
---------------------------------------------------------------------------------
Malam berganti siang,
siang kembali berganti malam, hari terus silih berganti, bulan berganti bulan
bahkan bertemu tahun. Tetapi pertanyaan Laila selalu sama. Tidak kurang rayuan
Ibnu Salam agar Laila berkenan kepadanya, bahkan dengan cara kekerasan
sekalipun Laila tetap tak bergeming dan tetap dengan pertanyaan juga keputusan
yang sama.
Ibnu Salam pun
terheran-heran dengan sikap Laila hingga ia pun pasrah tanpa bisa berbuat
apapun lagi. Saat siang hari Laila melayani kebutuhan suaminya dalam hal
sandang dan pangan dan menjadi pendamping suami dihadapan tamu-tamu suaminya.
Tapi saat malam tiba, Laila mengunci rapat-rapat pintu kamarnya. Ia menangis
menahan rindu dengan Qais kekasihnya hingga subuh tiba. Hingga suatu hari
takdir Allah yang sudah pasti pun berlaku pada Ibnu Salam. Ia mati tanpa pernah
menyentuh Laila.
Saat hari kematian
Ibnu Salam. Laila menangis sejadi-jadinya hingga orang-orang beranggapan jika
ia menangisi mendiang suaminya. Esok harinya Laila masih saja menangis,
demikian juga lusa dan hari-hari seterusnya hinggalah mata Laila menjadi buta.
Orang-orang berkata “sungguh
besar rasa cinta Laila kepada Ibnu Salam hingga ia menangisi kematiannya sampai
matanya menjadi buta”.
Sungguh tangisan Laila
adalah karena rasa rindunya yang tidak pernah terungkap pada Qais. Ia menutup
rapat-rapat kedua bibirnya agar tidak mengucapkan rasa rindunya. Hanya tangisan
dan air matanyalah yang berbicara mewakili beban hatinya.
Setelah kedua matanya
membuta, hilanglah juga hasrat duniawi Laila. Tidak lagi ada hasrat untuk makan
dan minum, yang ada hanyalah tangisan kerinduannya pada Qais. Hingga iapun
jatuh sakit. Sudah buta – sakit pula.
Saat sudah semakin lemah
dengan sakitnya, datanglah mendekat salah seorang dayang Laila. Si dayang
berkata kepada Laila “wahai tuanku Laila, tadi di masjid aku melihat segerombolan
orang sedang berdebat dan mencaci maki seorang majnun. Bahkan tidak
henti-hentinya orang-orang mengumpatnya. Anak-anak kecil melemparinya dengan
batu. ibu-ibu mengutuknya. Tapi dari mulut si majnun hanya berucap Laila…..Laila….Laila”.
kucoba bertanya ke orang-orang perihal si majnun, orang-orang kompak menjawab “orang
itu majnun sejak berjumpa Laila”.
Mendengar nama majnun,
Laila yang sedang dalam payahnya karena sakit sontak berjingkat dari
pembaringan, dan dengan pandangan keingintahuan kelanjutannya berita tentang
Qais ditatapnya si dayang seolah-olah ingin melahap wanita paruh baya itu.
“apakah engkau
melihatnya wahai dayang? Benarkah selalu keluar dari mulutnya nama Laila???” Tanya Laila.
“apakah yang selalu
keluar dari mulutnya adalah namamu wahai tuan putri” timpal dayang.
“iya dayang, dialah
Qais bin Maluh….sang pecinta gila. Dialah tangisku selama ini. Dialah buta dan
sakitku ini”.
"wahai
tuan putri, apakah cintamu pada Qais lebih besar daripada cintanya
padamu?" tanya
dayang. Lalu Laila menjawab, "Justru cintaku padanya yang lebih
besar!". "Mengapa
bisa?" balas
dayang. "Karena cintanya padaku terkenal. Sedangkan
cintaku padanya tersembunyi." Jawab Laila.
“wahai dayang,
ambilkanlah aku secarik kain sutera putih dan pena dengan tinta aroma ambar (mawar).
Bergegaslah si dayang menyiapkan
permintaan tuan putrinya. Tak sampai seperdupaan, dayang pun kembali dan
menyerahkan semua keperluan kepada tuan puterinya. Laila pun mulai menuliskan
sesuatu di secarik kain sutra putih . Setelahnya dilipatnya kain sutera putih
itu.
“wahai dayang,
pergilah engkau keluar. Carilah majnunku entah dimana dia berada. Carilah ia
dipojokan-pojokam pasar, atau di kuburan-kuburan, di hutan belantara atau di goa-goa.
Carilah ia sampai ketemu bahkan jika engkau harus menyeberang benua sekalipun. Berikanlah
secarik kain sutera putih ini padanya. Tidak perlu engkau bersusah payah
menjelaskan perihalnya karena rasa cintanya padaku yang sudah terpatri disetiap
bulu roma tubuhnya yang akan menjelaskan padanya.
“Sendiko dawuh tuan
putri” timpal
dayang sambil berpamit diri.
---------------------------------------------------------------------------------
Dicarilah Qais oleh si
dayang mulai dari gang-gang dan pojokan pasar, di kuburan-kuburan, di goa-goa. Sehari,
dua hari, tiga hari, seminggu, dua minggu, berganti bulan belum juga ditemukan
olehnya di majnun. Hinggal akhirnya Allah pun berkehendak, dipertemukanlah si
dayang dengan si majnun.
Majnun sedang tiduran
dengan dikelilingi oleh sekumpulan binatang liar, singa, serigala, rusa, kelinci,
ular dan lainnya. Tidak ada satupun dari hewan-hewan itu yang berniat mencelakai
diri majnun.
“wahai Qais,
bangunlah” sapa
dayang. Tapi Qais tak bergeming. “wahai Qais, bangunlah” dayang
mengulangi. Qais masih tetap tak peduli. “wahai sang pecinta gila, akankah
engkau terus berpura-pura menutup kedua matamu? Ataukah kau akan menyambut
sesuatu matlumat dari Laila-mu???”
Sontak Qais meloncat
dari pura-pura tidurnya. “engkau membawa matlumat dari Laila?” tanya Qais.
“iya” jawab si dayang sambil menyodorkan secarik kain sutera putih.
Diambilnya kain itu
oleh Qais, digenggamnya erat-erat, diciuminya dengan penuh cinta. Dibukanya perlahan
seolah-olah kain itu ibarat kertas usang yang mudah rusak. Dipandanginya isi
secarik kain sutera putih itu.
“Lailaaaaaaaaaaaaaa………..” Qais berteriak sekuat-kuatnya
hingga tubuhnya gontai hingga tumbang. Qais pun pingsan.
---------------------------------------------------------------------------------
“Qaiiiiiiiiiiiiisssssssssssss………..” teriak Laila terdengar lamat-lamat
dan serak hingga bibirnya terkatup, matanya pun terpejam. Laila telah menerima
takdir ilahi yang pasti yaitu kematian.
Padukuhan Kupang Wetan-Ujunggaluh, 1-12-2022
Pukul, 22:45
Syekh Joborantas
Epilog:
Isi surat Laila untuk
kekasihnya Qais al-majnuni di secarik kain sutera putih:
“Wahai pengembara
yang selalu diliputi kesengsaraan……..Aku adalah rembulan dan engkau adalah
matahari yang menyinariku dari kejauhan. Maafkan aku, karena orbit berbeda
membuat kita selalu terpisah. Semua sudah selesai. Laila, sahabatmu dalam kesedihan itu sekarang sudah tiada. Ia telah terbebas
dari belenggu duniawi Hatinya
hanya diberikan padamu dan dia mati untukmu”.