Selasa, 08 September 2020

TEKNOLOGI PENDIDIKAN ATAU TEKNOLOGI PEMBELAJARAN?

Dalam suatu kesempatan kegiatan webinar (web seminar) tentang teknologi pendidikan yang diselenggarakan oleh salah satu LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) di Surabaya ada pertanyaan dari peserta di kolom chat zoom meeting terkait istilah TP “yang benar istilahnya apakah teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran?”. Sayang sekali pertanyaan ini tidak terpantau oleh panitia kegiatan sehingga menjadi pertanyaan yang tidak terjawab.

 

Suatu ketika penulis juga pernah ditanya oleh rekan penulis terkait Jabatan Fungsional Pengembang Teknologi Pembelajaran. Pertanyaan yang diajukan oleh rekan penulis “kenapa istilahnya Pengembang Teknologi Pembelajaran? Kenapa tidak Pengembang Teknologi Pendidikan?”.

 

Begitu juga pada jurusan di LPTK terdapat perbedaan penggunaan istilah Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran. UNESA menggunakan istilah Jurusan Teknologi Pendidikan, UNIPA Surabaya menggunakan istilah Jurusan Teknologi Pendidikan, UPI Bandung menggunakan istilah Teknologi Pendidikan, sedangkan di UM Malang menggunakan istilah Jurusan Teknologi Pembelajaran.

 

Diantara para ilmuan pun terdapat trikotomi penggunaan kedua istilah tersebut. Sebagian ilmuan secara konsisten menggunakan istilah Teknologi Pendidikan, sebagian ilmuan yang lain secara konsisten menggunakan istilah Teknologi Pembelajaran, sedangkan sebagian ilmuan yang lain menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian dengan tanpa membedakaan definisi dari keduanya.

 

Kelompok ilmuan yang setuju dengan Teknologi Pembelajaran paling tidak didasari oleh dua alasan utama, yaitu; (1) kata pembelajaran lebih sesuai dengan fungsi teknologi, dan (2) kata pembelajaran mencakup pengertian pendidikan bukan hanya yang diselenggarakan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai pendidikan dasar dan menengah saja melainkan juga pada tingkat Perguruan Tinggi dan dalam situasi pelatihan. Sebaliknya kelompok ilmuan yang setuju dengan istilah Teknologi Pendidikan berpendapat bahwa Teknologi Pembelajaran adalah bagian dari Teknologi Pendidikan, maka sebaiknya menggunakan istilah yang lebih luas yaitu Teknologi Pendidikan.  Kelompok ini juga berpendapat bahwa kata pendidikan merujuk pada aneka ragam lingkungan belajar, termasuk belanja di rumah, di sekolah, di masyarakat dan ditempat kerja sedangkan Teknologi Pembelajaran merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan sekolah saja. Sedangkan kelompok ilmuan yang menggunakan kedua istilah Teknologi Pembelajaran dan Teknologi Pendidikan secara bergantian menganggap bahwa kedua istilah tersebut tidak perlu diperdebatkan karena keduanya sama-sama memiliki akar sejarah yang panjang dalam penggunaannya. Menurut mereka pendidikan adalah pembelajaran dan pembelajaran sudah pasti pendidikan (Yaumi, 2018:38).

 

Jadi, mana istilah yang paling benar Teknologi Pendidikan atau Teknologi Pembelajaran??? Ataukah kedua istilah tersebut sama saja pengertiannya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, akan penulis uraikan secara ringkas dengan tinjauan secara historis terminologis kedua istilah tersebut.

 

Secara historis, penggunaan istilah Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran oleh AECT (Assosiation For Educatioanal Communicatioan and Technology) terjadi silih berganti. Istilah Teknologi Pembelajaran lebih dahulu digunakan daripada Teknologi Pendidikan. Istilah Teknologi Pembelajaran digunakan pada definisi yang keluarkan oleh AECT tahun 1970 dan definisi tahun 1994. Adapun istilah teknologi pendidikan digunakan oleh AECT pada definisi tahun 1972, definisi tahun 1977, dan definisi 2008.

 

Agar lebih mempermudah pembaca dalam menelusuri historis definisi Teknologi Pendidikan yang dikeluarkan oleh AECT, penulis akan uraikan dalam bentuk matrik sebagaimana berikut;

 

Tahun

Definisi

Penggunaan Istilah

Definisi 1970

“In its more familiar sense, it (Instructional Technology) means that media is born of communication revolution which can be used for instructional purposes alongside of the teacher, text book and black board … the process that make up instructional technology; television, film, overhead projectors, computers, and other items of hardware and software…”

“(Instructional technology) . . . is a systematic way of designing, carrying out, and evaluating the total process of learning and teaching in terms of specific objectives, based on research in human learning and communication and employing a combination of human and nonhuman resources to bring about more effective instruction” (Commission on Instructional Technology, 1970 dalam Makki and Makki, 2012:276)

Teknologi Pembelajaran

Definisi 1972 [organisasi DAVI (Definition and Terminology of the Department of Audiovisual Instruction) berubah menjadi Association for Educational Communications and Technology atau disingkat AECT]

Educational technology is a field involved in the facilitation of human learning through the systematic identification, development, organization and utilization of a full range of learning resources and through the management of these processes (Ibrahim, 2015: 235)

Teknologi Pendidikan

Definisi 1977

Educational technology is a complex, integrated process, involving people, procedures, ideas, devices and organization, for analyzing problems and devising, implementing, evaluating and managing solutions to those problems, involved in all aspects of human learning. In educational technology, the solution to problems takes the form of all the Learning Resources that are designed and/or selected and/or utilized to bring about learning; these resources are identified as Messages, People, Materials, Devices, Techniques, and Settings. The processes for analyzing problems, and devising, implementing and evaluating solutions are identified by the Educational Development Functions of Research Theory, Design, Production, Evaluation Selection, Logistics, Utilization, and Utilization Dissemination. The processes of directing or coordinating one or more of these functions are identified by the Educational Management Functions of Organizational Management and Personnel Management (Januszewski dan Persichitte, dalam Januszewski dan Molenda, 2008: 270).

Teknologi Pendidikan

Definisi 1994

Instructional technology is the theory and practice of design, development, utilization, management and evaluation of processess and resources for learning (Seels dan Richey, 1994: 1)

Teknologi Pembelajaran

Definisi 2008

Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processess and resources (Januszewski dan Molenda, 2008: 1)

Teknologi Pendidikan

 

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa secara umum, kedua istilah tersebut memiliki objek kajian yang sama yakni berpijak pada bagaimana memfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja. Akan tetapi secara teknis, teknologi pendidikan berbeda dengan teknologi pembelajaran khususnya dilihat dari area kajian, kata kunci, fokus, tujuan, dan lingkup kajian. Perbedaan yang lebih spesifik tentang makna teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran dapat dilihat pada matriks di bawah ini (Yaumi, 2018:39).

 

ASPEK

TEKNOLOGI PENDIDIKAN

TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

 

 Area Kajian

Mengajarkan teknologi sebagai area konten untuk memfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja

Mengajar dengan menggunakan teknologi (menggunakan teknologi sebagai alat) untuk memfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja

 Kata Kunci

Integrasi dan pendidikan

Lingkungan belajar, proses dan sistem pembelajaran

 Fokus

Membentuk kurikulum dan menyelesaikan masalah kinerja

Lebih banyak diarahkan pada pengembangan dan penciptaan sistem belajar yang melibatkan beberapa jenis teknologi

 Tujuan

Literasi teknologi untuk setiap orang

Meningkatkan proses pembelajaran

 

 Lingkup Kajian

Berhubungan dengan spektrum teknologi yang luas (bagaimana manusia mendesain dan melakukan inovasi)

Berhubungan dengan spektrum teknologi yang lebih spesifik tentang teknologi informasi dan komunikasi

 

Dari tinjauan historis terminologis diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya istilah Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran tidak dapat diperdebatkan manakah yang lebih benar diantara keduanya. hingga saat ini pun tidak ada larangan atau sebuah aturan baku yang berlaku secara universal yang melarang dan membatasi penggunaan kedua istilah ini secara bergantian. Artinya bahwa bisa menggunakan teknologi pembelajaran dan bisa pula menggunakan teknologi pendidikan (Busthan Abdy, 2017: 43). Meskipun begitu, menurut hemat penulis, agar penggunaan istilah Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran bisa lebih tepat dan konsisten perlu memperhatikan aspek area kajian, kata kunci, fokus, tujuan, dan lingkup kerja dari bidang yang akan dikerjakan.

 

 

Daftar Pustaka

 

Abdy, Busthan. (2017). Media & Multimedia dalam Teknologi Pembelajaran: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. NTT: Desna Life Ministry

 

AETC Definition and Terminology Committee. (2008). Definition. In: A. Januszewski & M. Molenda (Eds.). Educational technology: A definition with commentary. New York: Lawrence Erlbaum.

 

Ibrahim, Muhammad Abdullahi. (2015). Evolutionary Nature of the Definition of Educational Technology. International Journal of Social Science and Education, Vol. 5 (2), 233-239.

 

Januszewski, Alan & Molenda, Michael. (2008). Educational Technology: A Definition with Commentary. New York: Taylor & Prancis Group.

 

Makki, Baharak & Makki, Bahador. (2012). The Impact of Integration of Instructional Systems Technology into Research and Educational Technology. Creative Education, Vol. 3 (2), 275-280.

 

Seels, B. B., & Richey, R. C. (1994). Instructional technology: The definition and domains of the field. Washington, DC: Association for Educational Communications and Technology.

 

Yaumi, Muhammad. (2018). Media dan Teknologi Pembelajaran. Jakarta: Prenadamedia

 

 

====================================================

Penulis: Wahsun (Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda LPMP Jawa Timur)

Jumat, 22 Mei 2020

KAKI KIRI BENEDICT ARNOLD



Bagi yang mempelajari sejarah Amerika Serikat, tentu mengenal betul siapa Benedict Arnold itu. Dia seorang jenderal pada masa Perang Kemerdekaan Amerika (1776-1783), dan terkenal karena berhasil memukul tentara Inggris di pertempuran Saratoga. Sebelumnya, rencana pertempuran tersebut tidak disetujui atasannya, Jenderal Washington, tetapi Arnold membangkang dan nekad bertempur dengan bala tentara yang tidak banyak. Tetapi orasi pertempurannya telah berhasil membangkitkan semangat juang anak buahnya. Malang, dalam pertempuran yang memashurkan namanya itu, ia jatuh dari kudanya. Kaki kirinya cedera berat sampai Arnold pingsan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Para dokter tidak dapat menyelamatkan kaki kirinya, dan akhirnya diamputasi. Karena cacat, ia tidak bisa ikut bertempur melawan tentara Inggris lagi, bahkan diberhentikan dari dinas militernya. Meskipun ia menghubungi beberapa orang berpengaruh, keinginannya agar ia tetap dapat berdinas sebagai militer ditolak. Benedict Arnold kesal dan merasa dilupakan Orang. Mereka gampang melupakan jasanya. Arnold balas dendam terhadap bangsanya, dengan diam-diam menghubungi tentara Inggris yang merencanakan menyerang West Point di bawah Mayor Andre. Sebelum penyerangan terhadap West Point dilaksanakan, Mayor Andre tertangkap oleh tentara Amerika dan bersamanya ada dokumen-dokumen persekongkolannya dengan Benedict Arnold. Mantan Jenderal ini bergegas melarikan diri ke Inggris dan di sana sampai kematiannya pada tahun 1801.

Di monumen Saratoga, kemudian didirikan sebuah patung kaki kiri yang mengenakan sepatu lars keJenderalan dan diatasnya terdapat karangan bunga dengan tanda pangkat jenderal. Di situ ada tullsan berbunyi: "Tugu ini didirikan untuk menghormatl seorang pahlawan tentara kemerdekaan Amerika", tanpa menyebut nama. Dan barang tentu pengunjung segera tahu, kaki kiri siapa yang dibuatkan monumennya itu. Rupanya pembuatan patung itu diilhami oleh sebuah percakapan antara Benedict Arnold dan seorang rekan yang mengunjunginya di Inggris, jauh setelah Amerika merdeka. Arnold bertanya kepada temannya itu, "Bagaimana penerimaan orang-orang Amerika apabila ia kernbali ke tanah kelahirannya?" Jawab teman itu, "Ah, mula-mula kita akan potong kaki kiri Anda yang akan kita kuburkan dengan penghormatan militer. Sudah itu sisa badan Anda akan kita berikan kepada anjing-anjing."

Itulah kisah seorang pahlawan yang kemudian berkhianat kepada bangsanya. Dan itulah cara orang Amerika mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsanya. Lain Amerika, lain Indonesia. Kita juga punya cara sendiri untuk menghormati pahlawan-pahlawan kita. Seorang pengkhianat bangsa seperti Benedict Arnold masih dikenang jasanya yang baik bagi bangsanya. Tetapi di Indonesia dikenal pepatah "nila setitik rusak susu sebelanga". Anda boleh berjasa kepada masyarakat dan bangsa hampir seluruh hidup Anda, tetapi kalau di ujung usia ternyata Anda bersalah, maka nama baik Anda ditentukan oleh perbuatan Anda yang terakhir itu. Lebih baik kalau Anda menjalani hidup rusak dulu dan di akhir hayat bertobat total. ltu lebih terhormat. Anda akan dikenang. Anda akan jadi pahlawan.

Yang selalu kita inginkan adalah manusia sempurna. LihatIah tujuh sumpah Pegawai Negeri Sipil yang dibacakan setiap tanggal 17, di situ tampak bertumpuk-tumpuk persyaratan untuk menjadi pegawai negeri yang baik. Atau sumpah janji setia pada kelompok profesi yang Iain. Kita selalu mengumpulkan sebanyak mungkin aspek-aspek ideal sebuah profesi. Seolah-olah manusia Indonesia itu mampu untuk menjadi sempurna sebagai pegawai negeri, sebagai polisi, sebagai pejabat, sebagai tentara. Hanya para pedagang saja yang tak pernah membuat janji-janji ideal. Rupanya mereka mengenal betul ketidaksempurnaan manusia.

Menjadi presiden menjadi menteri, menjadi gubernur, menjadi jenderal seolah-olah bukan manusia biasa lagi. Mereka berada di atas manusia biasa di dunia nyata ini. Mereka manusia sempurna. Kalau mereka melakukan hal-hal yang tidak sempurna, mereka lekas diampuni, karena mereka memang sempurna. Tetapi kalau ketidaksempurnaan mereka itu semakin menjadi-jadi, maka diperlukan munculnya tanda-tanda zaman. Dahulu kala, gejala raja-raja lalim selalu dapat dibaca dari alam. Tersebar wabah, meningkatnya bahaya kelaparan, sawah-sawah kering, hama merajalela, raja sendiri sering gering, itulah pertanda zaman bahwa si penguasa sudah seharusnya diganti, karena dia sudah tidak sempurna lagi. Cerita-cerita babad selalu punya koleksi kisah yang demikian itu.

Bangsa ini lebih dari setengahnya masih digayuti oleh kesadaran kolektif mitos. Hanya beberapa persen manusia Indonesia yang telah memiliki kesadaran negerinya Benedict Arnold? Bahwa manusia itu tidak sempurna dan hanya bisa menuju arah kesempurnaan yang tak mungkin dicapainya? Dapatkah kita membuat monumen kaki kiri para "Benedict Arnold" kita? Dapatkan kita memaafkan ketidaksempurnaan?.

Kita kadang terlalu banyak menuntut dari seorang pemimpin. Artinya, pemimpin itu harus sempura, seperti pegawai negeri itu harus sempurna sesuai dengan Sapta Prasetya Pegawai Negeri. Pegawai negeri itu harus jujur, tidak melakukan perbuatan tercela, mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri atau golongan, memegang teguh rahasia jabatan, terus-menerus meningkatkan profesionalisme kerjanya, setia sebagai abdi kepada negara, berpedoman pada Pancasila dan UUD 45. Begitu banyak tuntutan untuk seorang pegawai negeri, begitu rinci aspek-aspek kualitas Yang harus dipenuhinya. Siapa berani menjadi pegawai negeri semacam itu? Tetapi banyak yang berani dan merasa sanggup menjadi pegawai sempurna. Yang melihat terlalu banyak sama artinya tidak melihat sama sekali. Hidup itu harus fokus. Fokus iłu memiliki tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas memerlukan strategi untuk mencapainya. Dan strategi itu soal logika dan sistem kerja. Inilah salah satu budaya modern yang menekankan nalar dan fakta objektif. Sedang sebagian besar dari kita masih diberati oleh warisan budaya mitos, Budaya yang mempercayai hal-hal transendental dałam mengatur hidup ini. Benedict Arnold itu Dursasana dan bukan Yudhistira. Benedict Arnold iłu disisi kiri, di sisi kejahatan. Padanya tak ada sama sekali unsur sisi baiknya. Pernah berjasa untuk kemerdekaan? Tetapi nilai setitik rusak susu sebelanga.

Pada kita, yang dahulu dipuja di sisi kanan kebaikan, tiba-tiba bisa menjadi dicaci maki di sisi kiri kejahatan. Manusia iłu hanya ada dua, yakni hitam atau putih. Jahat atau baik. Sempurna atau cacat. Dunia dan hidup ini seperti dunia mitos wayang. Dongeng dan kenyataan menjadi satu. Dunia abadi dan dunia fana ini satu kesatuan. Kita masih percaya adanya manusia setengah dewa, manusia kharismatik dengan daya pikat transendental, manusia istimewa, manusia sempurna.

Inilah kenyataan konkret kita. Boleh saja kita membaca literatur Barat tentang demokrasi, sistem, konsep-konsep mutakhir filosofis, tetapi rakyat mana yang mampu mencernanya? Yakinkah kita bahwa peran kaum intelektual telah begitu besar pada rakyat? Mampukah kaum intelektual menggerakkan rakyat dalam sistem yang dirancangnya? Apakah Sutan Syahrir, Muhammad Hatta, Dr. Amir, sekarang populer di kalangan rakyat? Apakah rakyat ini lebih menghargai tokoh intelektual brilian atau tokoh tak begitu brilian tapi kharismatik?

Penghargaan sistem yang baik menentukan berhasilnya tujuan hanya dapat dipahami oleh  masyarakat bangsa yang mampu menghargai kaki kiri pahlawan Benedict Arnold yang pengkhianat Itu. Tetapi masyarakat kita belum sampai kepada sikap itu, masyarakat kita masih memasukkan Benedict Arnold sama sekali tokoh Jahat, dan tak punya hak sama sekali untuk dibuat monumen kakinva. Kita belum mampu melihat hidup secara objektif. Hidup masih dilihat secara subjektif-mitologis. Bahwa hidup ini hanya pihak Pandawa yang baik dan Korawa yang jahat. Kaki kiri Benedict Arnold hanya mampu dilihat oleh mereka yang objektif-intelektual. Dan hanya berapa puluh juta jumlah manusia Indonesia pada tingkat budaya itu?

Inilah pangkal kegagalan dernokrasi liberal tahun 1950-an. Rakyat Indonesia disejajarkan dengan rakyat Belanda. Kaum intelektual barangkali mampu menghargai kaki kiri pahlawan pengkhianat, tetapi rakyat kebanyakan hanya mampu menilai sebagai pengkhianat. Kampanye bukan tawaran sistem, tetapi unjuk kekuatan suatu sistem. Buku Di Bawah Bendera Revolusi laku jutaan rupiah, tetapi Renungan Indonesia dan Demokrasi Kita tak pernah dibaca. Inilah sebabnya tak ada patung kaki kiri Benedict Arnold di sini.

Ditulis ulang dari Buku Menjadi Manusia (hal. 199-203) karya Jakob Sumardjo