Minggu, 19 Desember 2021

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING)

Problem based learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang mengutamakan penyelesaian masalah umum yang lazim terjadi dalam prosesnya. Seperti yang dikemukakan oleh Shoimin (2017:129) bahwa problem based learning artinya menciptakan suasana belajar yang mengarah terhadap permasalahan sehari-hari (Shoimin, 2017:129).

Melengkapi pernyataan tersebut, Panen (dalam Rusmono 2014:74) menyatakan bahwa dalam model pembelajaran dengan pendekatan problem based learning, peserta didik diharapkan untuk terlibat dalam proses penelitian yang mengharuskannya untuk mengidentifikasi permasalahan, mengumpulkan data, dan menggunakan data tersebut untuk pemecahan masalah.

Masalah adalah hal paling nyata yang akan menjadi hambatan utama dalam kehidupan manusia. Lalu “masalah” sendiri itu apa? Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Menghadapi masalah akan mengajarkan bagaimana cara terbaik dalam menjalani hidup.

Mengapa? Karena peserta didik langsung mempelajari bagaimana caranya menghadapi berbagai kesenjangan harapan yang akan selalu mereka temui dalam hidup. Saat hal tersebut terjadi, karakter (sikap) dan daya nalar (kognisi) mereka akan teruji dan terlatih dalam sekali tepuk.

Pengertian Problem Based Learning menurut Para Ahli
Untuk memastikan kesahihan pengertian model PBL, berikut adalah beberapa pendapat para ahli mengenai definisi problem based learning.
Delisle
Delisle dalam Abidin (2014:159) menyatakan bahwa problem based learning merupakan model pembelajaran yang dikembangkan untuk membantu guru mengembangkan kemampuan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah pada siswa selama mereka mempelajari materi pembelajaran.
Tim Kemdikbud
Tim Kemdikbud (dalam Abidin, 2014:159) memandang model PBL sebagai suatu model pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata.
Duch
Problem based learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah model pengajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks dalam pembelajaran agar peserta didik dapat belajar berpikir kritis dan meningkatkan keterampilan memecahkan masalah sekaligus memperoleh pengetahuan. (Duch dalam Shoimin, 2017:130).
Finkle dan Torp
Finkle dan Torp (dalam Shoimin, 2017:130) mengungkapkan bahwa problem based learning merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara stimultan strategi pemecahan masalah, dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik.
Torp dan Sage
Problem based learning merupakan model pembelajaran yang difokuskan untuk menjembatani siswa agar memperoleh pengalaman belajar dalam mengorganisasikan, meneliti, dan memecahkan masalah-masalah kehidupan yang kompleks (Torp dan Sage dalam Abidin, 2014:160).

Sintaks Problem Based Learning
Lalu seperti apa sintaks, prosedur, langkah, atau tahapan dari model problem based learning? Sintaks model pembelajaran problem based learning menurut Warsono & Hariyanto (2013:151) meliputi:
  1. memberikan orientasi masalah kepada siswa dengan menjelaskan tujuan pembelajaran serta bahan dan alat yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah,
  2. membantu mendefinisikan masalah dan mengorganisasikan siswa dalam belajar menyelesaikan masalah,
  3. guru mendorong peserta didik untuk mencari informasi yang sesuai dan mecari penjelasan pemecahan masalahnya,
  4. mendukung siswa untuk mengembangkan dan menyajikan hasil karya,
  5. guru membantu siswa melakukan refleksi terhadap hasil penyelidikannya dan proses pembelajaran yang telah dilakukan.
Sementara itu, langkah pembelajaran problem based learning menurut Shoimin (2017:131) meliputi:
  1. menjelaskan tujuan pembelajaran meliputi menjelaskan logistik yang dibutuhkan dan memotivasi siswa dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih,
  2. membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan permasalahan tersebut,
  3. mendorong siswa dalam mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk penjelasan masalah, pengumpulan data, hipotesis, dan pemecahan masalah,
  4. membantu siswa dalam merencanakan serta menyiapkan laporan hasil karya yang sesuai seperti laporan,
  5. guru membantu siswa untuk melakukan evaluasi terhadap penyelidikan mereka.
Contoh Penerapan PBL
Selanjutnya, contoh penerapan model pembelajaran problem based learning (dalam RPP) menurut Ibrahim dan Nur (dalam Trianto, 2017:12) adalah sebagai berikut.
 

No.

Fase/Indikator

Kegiatan / Perilaku Guru

1.

Mengorientasi peserta didik terhadap masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, dan saran atau logistik yang dibutuhkan. Selanjutnya, guru memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah nyata yang dipilih.

2.

Mengorganisasi peserta didik untuk belajar

Pendidik membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

3.

Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dan melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan kejelasan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Siswa dituntut untuk menjadi penyidik yang aktif.

 4.

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Pendidik membantu siswa untuk berbagi tugas dan merencanakan atau menyiapkan karya yang sesuai sebagai hasil pemecahan masalah dalam bentuk laporan.

5.

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu pesera didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses pemecahan masalah yang dilakukan.


Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning
Segala hal di dunia ini tentunya akan hadir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tak luput dari ketidaksempurnaan tersebut, problem based learning juga memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri yang akan dipaparkan dalam penjelasan di bawah ini.

Kelebihan PBL
Kelebihan atau manfaat model pembelajaran PBL menurut Kurniasih & Sani (2016:48) adalah dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar untuk mentransfer pengetahuan yang baru serta mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan ketrampilan kreatif.

Selain itu, Shoimin (2017:132) mengungkapkan beberapa kelebihan model pembelajaran berbasis masalah yang meliputi:
  1. mendorong siswa untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah pada dunia nyata,
  2. membangun pengetahuan siswa melalui aktivitas belajar,
  3. mempelajari materi yang sesuai dengan permasalahan,
  4. terjadi aktivitas ilmiah melalui kerja kelompok pada siswa,
  5. kemampuan komunikasi akan terbentuk melalui kegiatan diskusi dan presentasi hasil pekerjaan,
  6. melalui kerja kelompok siswa yang mengalami kesulitan secara individual dapat diatasi.
Manfaat Problem Based Learning
Selain berbagai kelebihan di atas, Warsono & Hariyanto (2013, hlm. 152) mengemukakan pendapat bahwa kekuatan atau manfaat utama penerapan model pembelajaran PBL adalah sebagai berikut.
  1. Siswa akan tertantang untuk menyelesaikan masalah yang akan membuat siswa menjadi terbiasa menghadapi masalah
  2. Solidaritas sosial akan terpupuk dengan adanya diskusi dengan teman satu kelompok,
  3. Guru dengan siswa akan semakin akrab
  4. Siswa akan terbiasa menerapkan metode eksperimen karena ada kemungkinan suatu masalah yang harus diselesaikan siswa melalui eksperimen
Kekurangan PBL
Sementara itu, kelemahan penerapan model pembelajaran Problem Based Learning menurut Shoimin (2017:132) antara lain:
  1. tidak semua materi pembelajaran dapat menerapkan PBL, guru harus tetap berperan aktif dalam menyajikan materi (dan akan kesulitan dalam kelas gemuk),
  2. keragaman siswa yang tinggi dalam suatu kelas akan menyulitkan dalam pembagian tugas berdasarkan masalah nyata.
Selain itu, menurut Abidin (2014:163) kekurangan dalam model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut.
  1. Siswa yang terbiasa mendapatkan informasi yang diperoleh dari guru sebagai narasumber utama akan merasa kurang nyaman dengan cara belajar sendiri dalam pemecahan masalah.
  2. Jika siswa tidak mempunyai rasa kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba memecahkan masalahnya.
  3. Tanpa adanya pemahaman siswa terhadap mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari.
Tujuan Problem Based Learning
Hosnan (2014:298) menjelaskan bahwa tujuan utama dari model PBL bukan sekedar menyampaikan pengetahuan kepada siswa namun juga mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah serta kemampuan siswa itu sendiri yang secara aktif dapat memperoleh pengetahuannya sendiri.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Al-Tabany (2017:71) yang menyatakan bahwa model problem based learning berusaha untuk membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri dan otonom.

Melalui bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan dan mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa secara tidak langsung akan belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam hidupnya kelak.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari PBL adalah agar peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, mandiri dalam belajar, dan memiliki keterampilan sosial yang tinggi dalam kehidupan.

Referensi
  1. Abidin, Yunus. (2014). Desain Sistem Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: PT Refika Aditama.
  2. Al-Tabany, Trianto. (2017). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif dan Kontektual. Jakarta: Kencana.
  3. Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik Dan Kontekstual Dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.
  4. Rusmono, R. (2014). Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning Itu Perlu Untuk Meningkatkan Profesionalitas Guru (Edisi Kedua). Bogor: Ghalia Indonesia.
  5. Shoimin, A. (2017). 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
  6. Warsono & Hariyanto. (2013). Pembelajaran Aktif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

(Sumber: https://serupa.id/problem-based-learning/)

Kamis, 16 Desember 2021

MEMAHAMI KONSEP STUDI KELAYAKAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

Pengantar
Kalau kita searching di internet, akan kita temukan studi kelayakan merupakan salah satu istilah yang lebih banyak dikenal di dunia bisnis daripada pendidikan. Dalam dunia pendidikan, apalagi spesifik untuk pembelajaran, referensi untuk ini masih sangat sedikit. Padahal studi kelayakan merupakan salah satu tugas yang termasuk pada tugas fungsi seorang pengembang teknologi pembelajaran. Untuk itu, maka tulisan singkat ini ingin mencoba membantu berbagi pengalaman tentang apa dan bagaimana studi kelayakan dilakukan dalam profesi pengembang teknologi pembelajaran.

Dalam dunia bisnis ada anekdot yang sangat populer, yaitu tentang dua orang staf pemasaran produk sepatu yang ditugaskan untuk melakukan studi kelayakan pembangunan pabrik sepatu di suatu daerah baru. Sasaran studi adalah lokasi yang sama, namun dilakukan secara terpisah oleh masing-masing petugas tersebut. Sepulang dari lapangan, petugas pertama melaporkan bahwa di daerah yang dikunjunginya tidak layak untuk didirikan sebuah pabrik sepatu, karena di daerah itu tidak ditemukan satu orang pun memakai sepatu. Tidak mungkin kita menjual sepatu pada mereka. Demikian lapornya. Sementara orang kedua datang belakangan dan melaporkan, “ini sebuah peluang besar”, karena di daerah yang dia kunjungi belum ada satu orang pun memakai sepatu, sehingga sangat layak di daerah tersebut didirikan pabrik sepatu. Bagaimana pendapat Anda?

Memahami Konsep Studi Kelayakan  
Dalam pelaksanaan tugas fungsinya, Pengembang Teknologi Pembelajaran menggunakan model pendekatan ADDIE (Analisis, Desain, Developmen, Implementasi, dan Evaluasi). Pada lampiran Permenpan No. 28 tahun 2017 tentang tugas fungsi pengembang Teknologi Pembelajaran, studi kelayakan dapat ditemukan pada dua tempat, yaitu pada tahap Analisis dan pada tahap Implementasi. Hal ini sering menjadi kebingungan terutama bagi para pemula. Biar gak bingung, maka harus kembali diingat, bahwa studi kelayakan dilakukan berdasarkan tujuan atau alasan dalam rangka apa studi kalayakan itu dilakukan. Jadi bisa saja sebuah studi kelayakan dilakukan dalam rangka analisis tentang kebutuhan pengembangan, artinya studi kalayakan yang dilakukan sebelum suatu kegiatan pengembangan dimulai. Tujuan studi kalayakan pada tahap analisis tentu saja dilakukan untuk menjawab apakah ada permasalahan atau kebutuhan pada satu lembaga atau instansi untuk mengembangkan suatu produk media pembelajaran, model pembelajaran, ataupun sistem pembelajaran guna menunjang kinerja lembaga tersebut.

Sedangkan pada tahap Implementasi atau penerapan, studi kelayakan dilakukan apabila ada suatu produk, baik berupa media ataupun model pembelajaran yang sudah siap untuk diimplementasikan. Dari mana produk tersebut diperoleh? Secara kronologis bisa dirunut dari langkah ADDIE itu sendiri. Maksudnya, untuk menghasilkan suatu produk, apabila kita memulainya dari NOL alias belum memiliki produk yang siap, maka kita mulai dengan melakukan analisis kebutuhan, dilanjutkan dengan perancangan, dan pengembangan. Nah, setelah produk itu dikembangkan dan diuji cobakan, maka langkah selanjutnya produk tersebut dinyatakan siap untuk implementasi. Bagaimana dan di mana produk tersebut akan diimplementasikan, pertanyaan itulah yang perlu dijawab dengan sebuah studi kelayakan. Jadi studi kalayakan dilakukan sebelum sebuah produk dimanfaatkan secara masal. Studi kelayakan pada tahap implementasi umumnya ditujukan dengan fokus pada kelayakan lokasi implementasi.

Bagaimana kalau kita akan melakukan sebuah studi kelayakan, tapi bukan untuk penerapan produk sendiri, misalnya kita akan melakukan studi kelayakan penerapan produk media karya pihak lain. Bolehkah? Tentu saja boleh. Kembali ke tujuan dari studi kelayakan itu sendiri, apakah untuk menerapkan produk hasil pengembangan sendiri ataukah untuk menerapkan produk pihak lain.

Contoh Tujuan Studi Kelayakan
Sebelum melakukan studi kelayakan, pastikan dulu, dalam rangka apa studi kelayakan ini kita lakukan. Apa tujuan yang ingin dihasilkan dari studi kelayakan ini? Tujuan akan memandu bagaimana metode studi kelayakan dilakukan. Untuk membedakan tujuan studi kelayakan secara mudah, maka berikut ini diberikan tiga contoh rumusan tujuan studi kalayakan.

Studi Kelayakan dalam rangka Analisis Kebutuhan
Studi Kelayakan ini dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi sejauhmana dalam mendukung peningkatan proses pembelajaran pada lembaga (Instansi) XXX layak dan dibutuhkan pengembangan teknologi pembelajaran, baik berupa pengembangan media pembelajaran, model e-pembelajaran, ataupun sebuah inovasi sistem pembelajaran berbasis TIK. Secara lebih spesifik tujuan studi kelayakan dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Mendapatkan informasi terkait kebutuhan pengembangan media pembelajaran, baik media pembelajaran audio, video, multimedia, maupun hypermedia
  2. Mendapatkan informasi sejauhmana kebutuhan pengembangan model e-pembelajaran, baik terkait kebutuhan kurikulum, kesiapan SDM, maupun program peningkatan layanan pembelajaran.
  3. Mendapatkan informasi sejauhmana dukungan kebijakan payung regulasi, dan kesiapan pimpinan, serta organisasi lembaga dalam rangka penerapan pembelajaran berbasis TIK
  4. Mendapatkan informasi terkait sejauhmana kesiapan infrastruktur baik saran fisik, perangkat TIK, dan sistem yang akan dikembangkan dalam peningkatan layanan pembelajaran.
Studi Kelayakan dalam Rangka Penerapan Media Pembelajaran
Studi kelayakan ini dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi terkait sejauhmana produk Media Pembelajaran X (Video, Audio, Multimedia, Hypermedia) yang telah dikembangkan oleh Pusdatin (LPMP, BPM, UPTD, dll) layak dan dapat dimanfaatkan utuk menunjang peningkatan proses pembelajaran pada Sekolah Y di wilayah Z. Secara lebih spesifik sebagai berikut:
  1. Mendapatkan informasi terkait sejauhmana produk Media Pembelajaran X (Video, Audio, Multimedia, Hypermedia) yang telah dikembangkan oleh Pusdatin (LPMP, BPM, UPTD, dll) sesuai dengan kebutuhan untuk peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah tersebut.
  2. Mendapatkan informasi terkait sejauhmana kelayakan kondisi lokasi, kesiapan infrastruktur, SDM, serta dukungan kebijakan sekolah setempat dalam rangka penerapan produk Media Pembelajaran X (Video, Audio, Multimedia, Hypermedia) yang telah dikembangkan oleh Pusdatin (LPMP, BPM, UPTD, dll)
  3. Mendapatkan informasi terkait sejauhmana respon guru dan siswa terkait kemungkinan dimanfaatkannya produk Media Pembelajaran X (Video, Audio, Multimedia, Hypermedia) yang telah dikembangkan oleh Pusdatin (LPMP, BPM, UPTD, dll) dalam pembelajaran.
Studi Kelayakan dalam Rangkan Penerapan Model Pembelajaran
Studi kelayakan penerapan model pada dasarnya hampir sama dengan penerapan media, namun untuk penerapan model diperlukan pendalaman terkait kesiapan guru-guru dalam memanfaatkan model sebagai solusi masalah pembelajaran yang dihadapi.

Studi kelayakan ini dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi terkait sejauhmana produk model e-Pembelajaran X (misal, Blended-blog, SOLE, Game, Kolaboratif, dll ) terintegrasi TIK yang telah dikembangkan oleh Pusdatin (LPMP, BPM, UPTD, dll) layak dan dapat diterapkan utuk menunjang peningkatan kualiatas proses dan hasil pembelajaran pada Sekolah Y di wilayah Z. Secara lebih spesifik sebagai berikut:
  1. Mendapatkan informasi terkait sejauhmana produk model e-Pembelajaran X (misal, Blended-blog, SOLE, Game, Kolaboratif, dll ) terintegrasi TIK yang telah dikembangkan oleh Pusdatin (LPMP, BPM, UPTD, dll) sesuai dengan kebutuhan untuk peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah tersebut.
  2. Mendapatkan informasi terkait sejauhmana kelayakan kondisi lokasi, kesiapan infrastruktur, SDM, serta dukungan kebijakan sekolah setempat dalam rangka penerapan model e-Pembelajaran X (misal, Blended-blog, SOLE, Game, Kolaboratif, dll ) terintegrasi TIK yang telah dikembangkan oleh Pusdatin (LPMP, BPM, UPTD, dll)
  3. Mendapatkan informasi terkait sejauhmana respon guru dan siswa terkait kemungkinan penerapan model e-Pembelajaran X (misal, Blended-blog, SOLE, Game, Kolaboratif, dll ) terintegrasi TIK yang telah dikembangkan oleh Pusdatin (LPMP, BPM, UPTD, dll) dalam pembelajaran.
Demikian contoh-contoh rumusan tujuan studi kalayakan. Ampun…ini bukan menggurui, tapi sekali lagi sekedar coba berbagi. Bagi teman-teman yang memiliki pengetahuan dan pengalaman berbeda, dipersilakan untuk memberikan koreksi dan oenyempurnaan.

Jangan Rancu dengan Uji Coba
Satu hal yang perlu disinggung juga di sini, mohon jangan rancu antara studi kelayakan dengan uji coba produk media atau model pembelajaran. Uji coba produk, biasanya dilakukan dalam rangkaian proses produksi. Misalnya, uji coba produk media pembelajaran dilakukan untuk memastikan bahwa suatu produk bisa dinyatakan final atau selesai. Kegiatan produksi atau development (D) merupakan tahap ketiga dalam model ADDIE. Tahap produksi biasanya dimulai dari menyusun naskah. Kemudian setelah naskah dinyatakan siap produksi, naskah diserahkan kepada team. Team produksi akan mengundang penulis, pengkaji dan seluruh kerabat kerja untuk melakukan rembuk naskah. Setalah seluruh team memiliki kesepahaman, maka kegiatan produksi dilaksanakan, biasanya dipimpin atau diarahkan oleh seorang stradara. Setelah selesai (versi alpha), maka sutradara mengundang team penulis dan pengkaji untuk melakukan preview. Preview ditujukan untuk memastikan bahwa produk media sudah sesuai dengan yang diinginkan oleh naskah. Apabila ada yang harus diperbaiki, maka sutradara akan melakukan perbaikan sesuai saran. Apabila dinyatakan sudah sesuai, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba lapangan. Uji coba lapangan ditujukan untuk mendapatkan respon langsung dari calon pengguna produk dan mendapatkan balikan untuk penyempurnaan produk. Jadi, kegiatan uji coba dilakukan masih dalam rangka kegiatan produksi.

Langkah-langkah dan Metode
Untuk melakukan studi kelayakan dengan mudah, ada baiknya lakukan langkah-langkah sederhana berikut ini, yaitu; baca dokumen, kumpulkan data, konfirmasi, dan rekomendasikan. 1). Baca Dokumen. Ada dua hal yang harus dipahami pada langkah pertama, yaitu pamahmi karaktersitik dari produk yang akan kita lakukan studi kelayakannya, dan yang kedua, pahami sasaran. Sebelum melakukan kepada pihak lain, pahami betul karakteristik produk Anda. Dengan memahamii karakteristik produk Anda sendiri, maka akan mudah Anda memperkirakan di mana produk tersebut akan dapat digunakan dengan baik. Selanjutnya, untuk memahami sasaran, Anda dapat lakukan dengan metode studi dokumentasi, yaitu membaca dokumen-dokumen yang relevan dengan tujuan studi kalayakan yang akan Anda lakukan. 2) Kumpulkan data. Untuk mendapatkan data, Anda dapat lakukan dengan metode studi dokumentasi, wawancara, kuesioner, observasi dll. Setelah data terkumpul dan olah, maka Anda dapat membuat kesimpulan sementara, yaitu kesimpulan yang Anda ambil secara sepihak berdasarkan data yang masuk, baik hasil studi pustaka, wawancara, jawaban kuesioner, dan observasi. Untuk mendapatkan data, tidak harus semua metode tersebut dilakukan. Anda cukup memilih salah satu dari metode tersebut. Namun sangat disarankan, sekurang-kurangnya gunakan dua metode perolehan data agar Anda memiliki kesempatan untuk melakukan perbandingan data. Kesimpulan yang diperoleh dari langkah kedua ini masih bersifat sementara. 3) Konfirmasi. Konfirmasi dilakukan dalam rangka untuk membangun komunikasi untuk mencapai kesepahaman antara Anda sebagai pihak pengembang dengan clien Anda sebagai pihak yang akan menerapkan produk Anda tersebut. Kesimpulan sementara Anda dapat menjadi sebuah rekomendasai apabila sudah dipahami dan diterima oleh clien Anda. Dalam hal ini, maka usahakan agar seluruh stake holder terkait dapat mengetahui maskud studi kelayakan ini. 4) Rekomendasi. Rekomendasi yang diperoleh dari sebuah studi kelayakan bukan sekedar berhenti pada laporan dan saran saja. Tapi harus dilanjutkan dengan kesepakatan langkah-langkah penerapan. Itulah sebabnya, kesepahaman antar kedua pihak sangat diperlukan.

Indikator Kelayakan
Sekurang-kurangnya terdapat enam aspek indikator kelayakan yang selanjutnya dapat Anda kembangkan pada indikator yang lebih rinci lagi. Aspek-aspek kelayakan tersebut, secara umum mencakup;
  1. Keseuaian dengan kebutuhan, misalnya; Produk sangat sesuai dan siap untuk diterapkan dan menjadi solusi permasalahan yang selama ini dihadapi. Atau, Produk merupakan inovasi baru yang perlu diterapkan di lapangan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
  2. Kesiapan infrastruktur, misalnya; Infrastruktur, baik fisik, perangkat TIK, maupun aplikasi tersedia sehingga produk layak untuk diterapkan.
  3. Kesiapan SDM, misalnya; tersedia tenaga guru dan tenaga kependidikan lainnya yang memiliki minat, kompetensi, dan siap untuk mengimplementasikan produk media atau model pembelajaran dalam kegiatan belajar memgajar di kelasnya.
  4. Kesiapan teknis, misalnya; secara teknis implementasi dapat dilakukan, baik terkait pengaturan jadwal, program, alat, orang, dll dapat disiapkan dengan baik.
  5. Dukungan kebijakan dan program, misalnya; kebijakan pimpinan dan program kerja tersedia untuk melaksanakan inovasi pembelajaran.
  6. Perkembangan teknologi, misalnya; inovasi di bidang media atau model pembelajaran yang memanfaatan teknologi mutakhir akan lebih mendapat respond yang baik dibandingkan dengan teknologi yang lama. Namu demikian, dalam teknologi pembelajaran maka pemilihan teknologi harus lebih mengutamakan aspek tepat guna daripada sekedar latah semata.
Beberapa Studi Terdahulu
Untuk mengakhiri tulisan ini, berikut kita singgung beberapa kegiatan studi kelayakan yang sudah dilakukan terdahulu. Pada tahun 2006, Pustekkom melakukan sebuah studi persiapan penerapan model pembelajaran telekolaborasi melalui portal e-dukasi.net. Jakarta (DKI Jakarta), Gresik (Jawa Timur), Ciamis (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Bandar Lampung (Lampung), Makassar (Sulawesi Selatan), Pontianak (Kalimantan Barat) Pekan Baru (Riau) dan Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam). Chairun Nissa, dkk melaporkan hasil studi itu antara lain; 1) Pada umumnya peserta studi pelaksanaan telekolaborasi e-dukasi.net yang meliputi kepala sekolah, guru dan siswa mendukung kegiatan telekolaborasi proses pembelajaran. 2) Peserta setuju untuk melaksanakan telekolaborasi melalui fitur forum diskusi pada e-dukasi.net dengan menggunakan model ”Learning Circle” yang sudah familiar bagi sebagian besar guru yang bersedia menjadi moderator. Secara lebih rinci dan detil dapat dibaca pada laporan studi setebal 75 halaman tersebut. Walaupun pada judul disebutkan sebagai studi persiapan, sesungguhnya yang sudah dilakukan adalah studi kelayakan. Dalam studi ini, model yang menjadi subjek studi adalah model pembelajaran telekolaborasi melalui portal e-duksi.net. Artinya, Pustekkom saat itu sudah mengembangkan sebuah produk berupa model pembelajaran telekolaborasi yang akan diterapkan di sekolah.

Manikowati (BPM Semarang) melakukan studi kalayakan Pengembangan Model Multimedia Teaching Aids bagi PAUD. Permasalahan dalam studi ini adalah sebagai berikut: a) bagaimanakah tingkat kebutuhan pengembangan model multimedia teaching aids PAUD? b) bagaimanakah tingkat kelayakan model multimedia teaching aids PAUD yang dikembangkan BPMP. Hasil analisis didapatkan bahwa multimedia teaching aids dibutuhkan oleh sekolah-sekolah PAUD dan dibutuhkan oleh pengguna untuk memotivasi dalam proses pembelajaran, untukmewakili konten materi yang diajarkan, serta dibutuhkan untuk melengkapi sarana dan prasarana pembelajaran (learning sources). Dari hasil komparasi disimpulkan bahwa model multimedia teaching aids untuk PAUD dengan format sajian yang berbeda dari sebelumnya layak dikembangkan. Studi yang dilakukan Manikowati ini memiliki dua sisi sekaligus, yaitu sebagai sebuah studi analisis kebutuhan dan sekaligus kelayakan penerapan media teaching aids untuk PAUD yang sudah dikembangkan oleh BPM Semarang.

Inayah, BPMR Yogya telah melakukan penelitian dengan judul Studi Kelayakan Pendirian Radio Edukasi. Penelitian ini diadakan pada tanggal 7 – 9 Februari 2007, dengan tujuan mendapatkan data yang berupa pendapat, masukan maupun saran yang berkaitan dengan radio edukasi/pendidikan. Hasil penelitian diperoleh informasi dari lapangan bahwa masyarakat menginginkan adanya radio pendidikan dengan menampilkan acara yang menarik dan dikemas secara kreatif dengan konsep radio yang matang. Kegiatan penelitian ini lebih merupakan sebuah studi kelayakan yang dilakukan dalam rangka analisis kebutuhan.

Studi kelayakan lainnya dilakukan oleh Muthmainah, dengan judul, Studi Kelayakan Pengembangan Aplikasi Bank Soal pada Portal Rumah Belajar. Studi kelayakan ini, nampaknya seperti mengkombinasikan antara analisis kebutuhan pengembangan aplikasi Bank Soal dengan uji coba aplikasi yang sedang dikembangkan. Hasil penghitungan rata-rata pendapat responden dengan UEQ tools dapat di interpretasikan bahwa aplikasi Bank Soal memiliki daya tarik yang baik dan alur pembuatan evaluasi yang cukup jelas; efisien dan praktis; mendukung evaluasi guru; aman untuk diakses siswa; memotivasidan menarik minat guru dan siswa untuk melakukan evaluasi secara online; serta merupakan sebuah inovasi pembelajaran yang mengikuti perkembangan teknologi dalam hal kegiatan evaluasi pembelajaran.
 
Sumber Referensi
  1. Hairun, Nisa, Studi Persiapan Telekolaborasi e-dukasi.net (Pengkajian dan Pengembangan belajar melalui telekolaborasi di www.e-dukasi.net), Pustekkom 2006
  2. Inayah, Studi Kelayakan Pendirian Radio Edukasi, Teknodik, Vol 14 No. 1, Juni 2010
  3. https://jurnalteknodik.kemdikbud.go.id/index.php/jurnalteknodik/article/view/448/285
  4. Manikowati, Studi Kelayakan Pengembangan Model Multimedia Teaching Aids PAUD, Teknodik Vol 16 No. 3, Sept th 2012
  5. https://jurnalteknodik.kemdikbud.go.id/index.php/jurnalteknodik/article/view/28/28
  6. Muthmainah, Siti, Studi Kelayakan Pengembangan Aplikasi Bank Soal, Rumah Belajar, Jurnal Teknodik, vol 21 No. 1, Juni tahun 2017
  7. https://jurnalteknodik.kemdikbud.go.id/index.php/jurnalteknodik/article/view/263/209
  8. Sadiman, Arief dkk, Media Pendidikan, Pengertian, Pemanfaatan, dan Pengembangannya, edisi revisi 2020, Pusdatin.
  9. (Penulis: Ade Kosnandar/PTP Ahli Madya Pusdatin – Kemdikbud, sumber: http://pena.belajar.kemdikbud.go.id/2021/03/memahami-konsep-studi-kelayakan-teknologi-pembelajaran/)
 

(Penulis: Ade Kosnandar/PTP Ahli Madya Pusdatin–Kemdikbud, sumber: http://pena.belajar.kemdikbud.go.id/2021/03/memahami-konsep-studi-kelayakan-teknologi-pembelajaran/)

MENGAMATI PEMBELAJARAN DARING DI SEKOLAH SELAMA PANDEMI

Penulis: Jaryono*

    Pembelajaran daring selama pandemi sejak awal tahun 2020 hingga kini dipenghujung tahun 2021 masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Topik ini menarik untuk diangkat baik dari sudut pandang siswa, guru, ibu rumah tangga, bahkan pejabat publik bidang pendidikan dan apalagi pengamat pendidikan. Semua pihak mempunyai keluhan dan argumentasi yang “seru” serta “di luar dugaan” yang belum atau tidak akan pernah kita temui seandainya tidak ada pandemi seperti sekarag ini. 
    Namun demikian, dari banyak pihak yang terlibat dan terdampak dari pembelajaran daring, ada beberapa keluhan yang menjadi aspek krusial dan pokok perhatian. Pertama, perbedaan yang signifikan penerapan pembelajaran daring antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Cerita jamaknya, orang tua yang mempunyai dua orang anak atau lebih yang bersekolah dilembaga yang berbeda, ada yang bersekolah di sekolah negeri dan ada yang bersekolah di sekolah swasta. Menurut orang tua, anak yang bersekolah di sekolah swasta proses pembelajaran daring lebih terorganisasi. Bahkan saat kondisi sudah diperbolehkan PTMT (Pembelajaran Tatap Muka Terbatas), sekolah swasta sudah merancang dan mengorganisasi pembelajaran tatap muka dengan berbagai inovasi baik media maupun model pembelajaran. Tidak sedikit sekolah swasta yang berani berlangganan atau membeli LMS (Learning Management System) yang dapat digunakan secara mandiri di sekolah. Sementara sekolah negeri, pembelajaran secara daring dilakukan dengan tidak terdesain secara baik dan dan terkesan insidental apa adanya.
    Kedua, kemampuan finasial orang tua siswa.”lha kok bisa!!! emang ada korelasi antara isi dompet orang tua dengan keefektifan pembelajaran daring??? Mana yang lebih penting, perangkat pembelajaran atau isi dompet orang tua siswa??”. Jelas terkait, kemampuan finansial orang tua secara krusial mempunyai peran terhadap ketersediaan perangkat pembelajaran. Jamak ceritanya seperti ini; orang tua yang mampu secara finansial dapat menyediakan lebih banyak variasi sumber belajar mulai seperti Personal Computer (PC), laptop, handphone, smartphone, jaringan internet, sampai berlangganan provider “bimbel” online partikelir yang jelas berbayar. Semakin tebal dompet orang tua, semakin “berkelas” fasilitas perangkat yang dimiliki oleh siswa. Orang tua yang mampu juga dapat mendatangkan tutor untuk mendampingi pembelajaran siswa di rumah baik untuk mata pelajaran utama maupun yang bersifat pendukung dan rekreatif, misalnya les piano. Sementara di pihak lain, orang tua kelas “dompet tipis”, kesulitan untuk menyediakan perangkat pembelajar daring bagi putra-putrinya. Kalaupun dipaksakan mampu membeli, hanya dapat memfasilitasi satu smartphone bagi dua atau tidak putra-putrinya. Andaikata smartphone dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti “gedang goreng” tentu orang tua akan mencacah smartphone untu anak-anaknya. Tetapi karena tidak mungkin, maka yang dilakukan adalah memanfaatkan smartphone secara bergiliran. Sialnya, jadwal sekolah daringnya berbarengan dalam satu waktu. Sialnya lagi, smartphone sudah tersedia tapi pulsa paket data tidak punya.
    Ketiga, kreatifitas guru. Dilihat dari sudut pandang manapun, peran guru sangat dominan dalam proses pembelajaran daring. Di masa normal saja, kompetensi guru kerap menjadi sorotan, apalagi di masa pandemi. Pada masa pembelajaran daring seperti saat ini, seorang guru tidak hanya diharuskan menguasai materi pembelajaran, akan tetapi juga harus menguasai perangkat TIK, dan menyampaikan materi secara menarik. Dikotomi pun terjadi, penulis istilahkan saja menjadi kelompok guru kreatif dan kelompok guru tidak kreatif. Kelompok guru kreatif tetap bisa menyajikan pembelajaran yang efektif dan menarik minat dan perhatian siswanya. Para guru yang kreatif juga tidak akan membiarkan siswanya “menganggur” di rumah tanpa ada proses belajar. Guru kreatif akan membuat muridnya belajar meskipun secara mandiri dan dengan caranya sendiri (asyncronous) melalui media atau sumber belajar yang telah disiapkan oleh guru. Hal-hal seperti itu tidak terjadi pada kelompok guru yang tidak kreatif apalagi didukung dengan ketidakmampuan dalam pemanfaatan TIK. Dampaknya, pembelajaran daring tidak tidak berlangsung setiap hari, guru hanya sebatas pemenuhan tugas mengajar dengan memberikan tugas-tugas kepada siswa.
    Akhirul kalam, era pandemi merupakan masa yang sulit bagi pendidikan. Tapi sebenarnya kesulitan ini bisa menjadi momentum batu loncatan bagi peningkatan mutu pendidikan. Guru yang dulu “anti” teknologi sekarang Tuhan YME sendiri yang memecut mereka untuk “melek” digital melalui mahlukNYA yang bernama Covid-19.


Tangerang – Banten, Desember 2021
*Penulis berprofesi sebagai Analis Mutu Pendidikan di LPMP Provinsi Jawa Timur

Rabu, 15 Desember 2021

BIG BOOK UNTUK PEMBELAJARAN LITERASI KELAS AWAL

 


Wahsun (Pengembang Teknologi Pembelajaran di LPMP Provinsi Jawa Timur)
 
Salah satu komponen penting dalam pembelajaran adalah media. Media pembelajaran adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan lebih baik dan sempurna (Kustandi & Sutjipto, 2016). Media pembelajaran sangat membantu guru dan siswa dalam optimalisasi proses belajar dan mengajar. Media pembelajaran dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep dari materi yang dipelajarinya (Abidin, 2015:255). Akan tetapi, hal tersebut dapat tercapai jika guru menggunakan media pembelajaran yang tepat dan sesuai kebutuhan siswa dalam pembelajaran.

Salah satu pembelajaran yang membutuhkan penggunaan media secara optimal adalah literasi. Mengingat tingkat kompetensi literasi siswa di Indonesi menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada di 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019. Tentu dari data tersebut penguatan literasi masih perlu dioptimalkan dimulai dari jenjang pendidikan tingkat dasar khususnya saat siswa duduk di kelas awal (kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Dasar). Salah satunya melalui pemanfaatan media literasi dalam proses pembelajaran di kelas.

Media literasi merupakan proses yang mengintegrasikan penyelidikan secara ktitis serta memerlukan keterampilan bagaimana mengakses, menganalisis, mengevaluasi, membuat, dan mendistribusikan pesan dengan keterlibatan secara penuh dan partisipasi aktif (Laily & Gunansyah,2018: 14). Media literasi meliputi unsur keterampilan berbahasa yang terdiri dari (1) keterampilan menulis, (2) membaca, (3) menyimak, (4) berbicara, dan (5) bersastra. Dari kelima keterampilan tersebut, yang menjadi sorotan adalah keterampilan membaca. Melalui media literasi, guru dapat mengkondisikan partisipasi siswa secara aktif.

Salah satu media literasi yang dapat digunakan oleh guru pada saat pembelajaran membaca permulaan yaitu media big book. Big book merupakan salah salah satu media pembelajaran visual yang berkarakteristik khusus di antara media pembelajaran lainnya. Menurut Madyawati (2016: 174) “big book adalah buku bergambar yang dipilih untuk diperbesarkan, yang memiliki karakteristik yang khusus, yaitu adanya pembesaran teks maupun gambar”.

Sesuai dengan namanya, Big book atau buku besar merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks maupun gambarnya, sehingga memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama antara guru dan murid. Buku ini mempunyai karakteristik khusus seperti penuh warna-warni, memiliki kata yang dapat diulang-ulang, mempunyai alur cerita yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks yang sederhana (Karges dalam Solehuddin, dkk. 2008:7). Sedangkan menurut Karges and Bone dalam United States Agent International Development (2014: 53), agar pembelajaran bahasa dapat lebih efektif dan berhasil, sebuah Big book sebaiknya memiliki ketentuan antara lain; (a) ceritanya singkat (10-15 halaman), (b) Pola kalimat jelas, (c) Gambar memiliki makna, (d) Jenis dan ukuran huruf jelas terbaca, (e) Jalan cerita mudah dipahami.

Dalam praktek pemanfaatan media big book, banyak ragam cara yang dapat digunakan oleh guru. Guru dapat berimprovisasi secara mandiri dalam menggunakan media big book di kelas. Salah satu contoh praktik implementasi big book dalam kelas dapat pembaca tonton pada kanal youtube melalui link berikut https://www.youtube.com/watch?v=W1NHoCmH6d8. Penulis menawarkan prosedur dengan beberapa tahapan dalam penggunaan media big book yaitu sebagai berikut:
1.        Kegiatan pra-membaca
·      Guru memperlihatkan sampul depan serta mengajak anak mengomentari gambar yang ada pada sampul.
·      Guru membacakan judul dan nama pengarang
·      Guru bertanya kepada anak tentang kemungkinan isi cerita berdasarkan pada judul dan ilustrasi sampul.
2.        Kegiatan membaca cerita secara utuh
·      Guru membacakan cerita secara berkesinambungan dari halaman pertama sampai terakhir.
·      Guru menunjuk tulisan dengan menggunakan tangan atau alat penunjuk supaya anak dapat mengikuti dan mengetahui tulisan mana yang sedang mereka baca.
3.        Kegiatan pengulangan membaca
·      Guru membaca ulang halaman demi halaman dengan penuh semangat, bergairah, dan hidup.
·      Guru menunjuk kata-kata dan meminta anak untuk berkomentar.
·      Guru berhenti membaca sejenak untuk memberikan kesempatan kepada anak menebak kata selanjutnya dan meramalkan peristiwa yang akan terjadi.
4.        Kegiatan setelah membaca pengulangan
·      Guru mendiskusikan kata kunci dalam teks dan membantu anak menghubungkan konsep yang satu dengan yang lain.
·      Guru membaca ulang cerita secara bersama-sama.
5.        Kegiatan tindak lanjut
·      Guru mengajak anak memperhatikan pada gambar dan pola kata pada teks.
·      Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk membaca sendiri.

Big book memiliki kelebihan jika digunakan dalam pembelajaran membaca permulaan (literasi membaca). Abidin (2015: 270) menyatakan bahwa “melalui pembacaan big book siswa dapat menghubungkan teks dengan cara pengucapannya”. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam big book selain memuat ilustrasi gambar juga disertai teks dengan ukuran yang besar sehingga memudahkan siswa dalam menghubungkan teks dengan cara mengucapkan kata perkata. Selain itu, kelebihan lainnya daripada pembelajaran dengan big book yaitu adanya interaksi dan komunikasi antara siswa dan guru melalui kegiatan membaca bersama.

Selain kelebihan dalam hal membaca, penggunaan big book dalam pembelajaran juga dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk meniru realitas melalui objek simbol dan gambar pada big book. Hal ini gambar adalah bentuk fungsi semiotik yang dapat dianggap setengah jalan antara permainan simbolik dan citra mental sehingga dengan menggunakan buku bergambar, dapat dikatakan bahwa anak-anak telah bermain permainan simbolik, yang berfungsi untuk memberikan kesenangan dan autotelisme dan seperti gambar mental diupaya mereka untuk meniru realitas (Piaget & Inhelder, 2010: 72).
 
Daftar Pustaka
Abidin, Yunus. (2015). Pembelajaran bahasa berbasis pendidikan karakter. Bandung: PT. Refika Aditama.

Kustandi, Cecep & Bambang Sutjipto (2016), Media Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia.

Laily, K. E. & Gunansyah G. (2018). Penggunaan Media Big Book Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa Kelas V SDN Rangkah 1 Surabay. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah
Dasar
. 6, (1). Hlm
.1

Madyawati. (2016). Strategi Pengembangan Bahasa Pada Anak. Jakarta: Prenada
Group.

Solehuddin, dkk., (2008). Pembaharuan Pendidikan TK. Jakarta: Universitas Terbuka.

Piaget, Jean & Barbel Inhelder (2010), Psikologi Anak. Terj. Miftahul Jannah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar