Jumat, 01 Oktober 2021

PENGEMBANGAN PROGRAM LAYANAN PERENCANAAN BELAJAR INDIVIDUAL (INDIVIDUAL LEARNING PLAN) BERBASIS TERAPI BERFOKUS SOLUSI

Latar Belakang

Program Bimbingan dan Konseling (BK) Sekolah di Indonesia secara umum masih perlu pembenahan. Berbagai faktor memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap  kondisi program BK di sekolah-sekolah Indonesia. Diantara faktor-faktor yang berpengaruh terhadap lemahnya program BK adalah faktor SDM guru BK (seperti: latar belakang pendidikan dan karakter), sistem, iklim dan budaya sekolah. 

Guru BK sebagian mereka  berlatar belakang pendidikan Sarjana Strata 1 FKIP  non BK. Simpulan tersebut diantaranya didukung data hasil identifikasi guru BK yang mengikuti  PLPG di Rayon 13 FKIP UNS sejak tahun 2008-hingga 2011,  rata-rata mereka yang berlatar S1 BK  berkisar antara 30-35%, sisanya adalah S1 non BK (Sutarno, 2009). Faktor lain yang berpengaruh terhadap rendahnya kualitas program BK adalah rendahnya karakter yang dimiliki guru BK seperti integritas, inovatif dan kreativitas, professionalitas, kerja keras, sehingga dalam  menjalankan tugas dan fungsinya belum optimal. Kondisi ini dapat dilihat dari produk dari perencanaan, pelaksanaan maupun hasil dari suatu program BK di sekolah yang dari tahun-ke tahun berikutnya tidak ada perubahan yang signifikan. Mereka mensikapi dan memaknai program BK sebagai kegiatan rutin dan monoton. Di beberapa sekolah di suatu wilayah, penyusunan program BK dilakukan secara bersama dalam forum Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling (MGBK) yang hasilnya diterima sebagai model program BK. Model program tersebut selanjutnya diterapkan di sekolah masing-masing, yang tentunya belum sejalan dengan visi, misi, dan tujuan, serta kebutuhan sisiwa di sekolah masing-masing. Guru BK juga nampak kurang menunjukkan sikap profesionalitas mereka, yaitu memiliki komitmen untuk selalu berupaya mengembangkan diri melalui praksis BK di sekolahnya maupun melakkan kajian-kajian ilmiahnya. Salah satu indicator kurang memiliki sikap profesionalan ini dapat dilihat dari aktivitas mereka saat “mengikuti” kegiatan ilmiah ke-BK-an seperti seminar, workshop dan sejenisnya. Pada saat mengikuti kegiatan tersebut sebagian besar mereka lebih berorientasi pada keinginan mendapatkan “sertifikat” alih-alih pengembangan kompetensi diri dan peningkatan profesionalitas di bidangnya. Perolehan atau pengumpulan  sertifikat dari kegiatan ilmiah tidak lain dalam upaya mereka untuk memenuhi persyaratan kelengkapan portofolio program  sertifikasi guru pada saat itu. Kondisi tersebut ditangkap sebagai peluang  oleh lembaga-lembaga pelatihan yang tidak bertanggung jawab  untuk berjualan sertifikat  dengan membayar tanpa adanya proses pendidikan dan pelatihan yang sesungguhnya. Fenomena ini dijumpai saat para assessor memverifikasi dokumen atau portofolio sertifikasi guru, termasuk  guru BK.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa program BK di sekolah belum memenuhi harapan SNPI khususnya standar mutu, proses, dan pengelolaannya. Begitu luas perihal Program BK, diantara sisinya yang menarik untuk dikaji adalah struktur program layanan perencanaan individual siswa. Program ini nampak belum banyak tersentuh oleh para konselor di sekolah Indonesia pada umumnya.

 

Individual Learning Plan (ILP)

Perencanaan belajar individual (Individual Learning Plan “ILP”) adalah “a format that identifies what is to be achieved and looks toward the future” (Spear G.L, 2000). Spear mempertentangkan antara Learning Record  (LR) versus Learning Plan. Learning Record  diistilahkan pula sebagai Traditional Four Year Plan yaitu  A format that serves as a learning record and looks toward the past (Lampiran 1: Contoh format LR); sedangkan Individual Learning Plan sebagaimana dedefinisikan di atas (Lampiran 2: contoh format ILP). ILP merupakan salah satu dari struktur program BK di sekolah. Muro dan Kottman (1995) mengemukakan struktur program bimbingan diklasifikasikan ke dalam empat jenis layanan,  yaitu: Layanan dasar bimbingan, Layanan responsif, Layanan perencanaan individual,  dan Layanan dukungan sistem. Klasifikasi tersebut selanjutnya digunakan dalam penyesusunan struktur program BK di sekolah-sekolah Indonesia baik untuk jenjang SLTP maupun SLTA (Ditjen PMPTK, 2007). Struktur program Layanan perencanaan individual dalam struktur program BK diartikan sebagai proses bantuan kepada siswa agar mampu merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perencanaan masa depannya berdasarkan pemahaman akan peluang dan kesempatan yang tersedia di lingkungannya.  Program layanan ini di sekolah bertujuan untuk membantu siswa agar (1) memiliki pemahaman tentang diri dan lingkungannya, (2) mampu merumuskan tujuan, perencanaan, atau pengelolaan terhadap perkembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir, dan (3) Dapat melakukan kegiatan berdasarkan pemahaman, tujuan, dan rencana yang telah dirumuskannya.

ILP memberikan tiga  manfaat bagi para siswa: (1) menjadi benchmarks prestasi akademik, (2) memberikan perhatian pada siswa apa yang  terjadi padanya di luar gedung sekolah; dan (3) memberikan suatu proses dan produk yang dapat membuka peluang untuk mendapatkan  pendidikan dan karir di waktu mendatang (Spear G.L, 2000). Program ini dipersiapkan bagi para siswa untuk selalu mengorientasikan belajarnya di masa depanya.  Spear G.L (2000) mengembangkan tujuan belajar yang berorientasi masa depan ke dalam tiga domain yaitu: rencana tindak akademik (seperti: perencanaan studi, prestasi, kelulusan, dan sejenisnya); rencanan tindak karir (seperti: perencanaan kelompok bidang pekerjaan, perencanaan studi, pengalaman, pendidikan dan sejenisnya); dan rencana tindak personal/sosial (seperti dalam berhubungan dengan peer, keluarga dan teman, organsisai,  masyarakat dan sejenisnya).

Rasional program ILP dicanangkan di sekolah, karena program ILP memberikan  berbagai manfaat bagi siswa khususnya, dan bagi guru dan sekolah serta orang tua pada umumnya. Spear (2008) menyatakan bahwa ILP
dapat mereduksi adanya kegagalan-kegagalan seperti: kegagalan untuk putus sekolah, kegagalan untuk tidak terhubung dengan tujuan pendidikan di pergguruan tinggi; kegagalan untuk terhubung dengan orang dewasa; dan  kegagalan untuk masa transisi ke lingkungan baru (Spear, 2008). Spear juga menyatakan bahwa ILP bermanfaat bagi siswa diantaranya adalah: (1) Siswa akan bertanggung jawab terhadap masa depan mereka;  (2) Siswa dan orang tua mendapatkan wawasan tentang pertumbuhan dan perkembangannya; (3) Orang tua merasa lebih inform dan terlibat dalam perkembangan anaknya; (4) Siswa dan orang tua termotivasi untuk terlibat dalam perencanaan untuk pasca-sekolah; (5) Kecemasan siswa terhadap tujuan sekolah dan masa depan berkurang; dan (6) Terjalin dan terkembangkan  hubungan antara sekolah, orangtua, dan siswa untuk memastikan keberhasilan akademik. Sedemikian banyak manfaat ILP bagi siswa orang tua, guru dan sekolah disatu sisi, namum di sisi lain program tersebut belum pula mendapatkan perhatian di sekolah-sekolah khususnya di sekolah tingkat pertama (SMP atau MTs) di Indonesia.

Hasil survei sementara mengenai pemrogram ILP di sekolah dengan jumlah responden  103 guru BK, 60 konselor diantaranya adalah konselor atau guru BK  SMP dan MTS, dan 43 konselor  SMA dan SMK. Rerata masa kerja mereka  sebagai guru BK 8,4 tahun. Mereka menjadi guru BK  di wilayah Dinas Pendidikan kabupaten/kota Purwodadi, Sragen, Boyolali, Klaten, Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara dan Surakarta) sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1. Pelaksanaan Program Perencanaan Individual Menurut Guru BK SMP, MTs dan SMA, SMK di 8 Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah (N=93, dengan rata-rata masa kerja 8 tahun sebagi guru BK)

 

No

Lembaga Sekolah

f

Melaksankan ILP

Ya

Tak terprogram

Tidak

f

%

f

%

f

%

1

SMP dan MTs

60

1

2

9

17

50

83

2

SMU & SMK

43

4

12

9

27

20

61

Jumlah

103

5

5

18

20

70

75

 

Berdasarkan hasil studi awal sebagaimana data Tabel 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa terdapat 5 orang guru BK (1 guru BK SMP dan 4 Guru BK SMA dari 93 orang ) menyatakan  telah melaksanakan program layanan ILP bagi siswa;  9 orang guru BK SMP/Mts dan 9 orang guru BK SMA/SMK dari 103 responden merasa telah melaksanakan layanan ILP, namun tidak terprogram secara utuh; dan 50 guru BK SMP/MTs dan 20 guru BK SMA/SMK dari 103 responden tidak melaksanakan atau belum mengetahui apa itu program ILP atau layanan perencanaan belajar individual siswa. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar guru BK belum melaksanakan program ILP. Bilamana ada sebagian kecil mereka yang telah melaksanakan itupun merupakan bagian atau potongan-potongan dari program layanan ILP alih-alih sebagai suatu kesatuan program yang utuh, sistematis dan yang dilaksankan secara sistemik.

Ada beberapa rasional atau sebagai meta analisis yang dapat dijelaskan mengenai hasil survei tersebut. Pertama, program perencanaan individual siswa telah tercantum pada “Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Pada Jalur Pendidikan Formal” yang diterbitkan Ditjen PMPTK Depdiknas. 2007. Bila dicermati salah satu acuan dari rambu-rambu penyelenggaraan BK di sekolah tersebut adalah South Dakota Comprehensive School Counseling Model “SDCSCM” (Duncan, 2006).  Dalam rambu-rambu  tersebut dicantumkan salah satu diantara 4 struktur program BK di sekolah adalah perencanaan individual; sedangkan di dalam SDCSM di bagian XI terdapat jenis layanan Individual learning plan. Bila analisis ini, diasumsikan benar adanya, maka dari sisi SDM BK di sekolah yang menjadi responden tersebut  (maupun yang tidak menjadi responden) ketika dalam masa perservice training (selama masa studinya sebelum tahun 2007) kemungkinan besar isi kurikulumnya S1 mereka belum memuat program perencanaan individual. Ini berarti bahwa bagi mereka yang bukan sarjana BK tentu saja jelas  tidak memiliki kompetensi akademik yang memadahi khususnya dalam program layanan perencanaan inidvidual, bagi merekapun yang berlatar sarjana BK tamatan tahun 2000-an kemungkinan belum pula tercantum secara eksplisit atau implisit tentang subtansi program perencanaan individual dalam kurikulum yang mereka tempuh. Kedua, program perencanaan individual, tentunya telah disosialisaikan setelah tahun 2007, barangkali diantara sebagian besar mereka belum mendapatkan sosialisasi dari pihak yang berkompeten.

Terlebih lagi para guru BK di sekolah cenderung  kurang memiliki komitmen untuk mengembangkan  diri  termasuk menembangkan program-program BK di sekolahnya melalui  penelitian dan kajian-kajian ilmiah di bidang ke-BK-an. Kondisi ini diperparah lagi oleh sistim, iklim dan regulasi penyelenggaraan program BK di sekolah yang jauh dari karakteristik profesional. Peran dan fungsi guru BK sebagai pendisiplin siswa, mengatasi  problem-problem  siswa, pembina osis, pengajar mata pelajaran seni-kria, pengisi jam kosong saat guru mata pelajaran berhalangan hadir, dan sejenisnya adalah indikasi belum profesionalnya penyelenggaraan program BK di sekolah.

Meta analisis terhadap hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa belum terselenggarakannya program ILP di sekolah menjadi wajar terjadi, meskipun dari sisi konsep, tujuan dan manfaatnya relevan adanya dan mampu untuk mendukung keberhasilan studi siswa.

ILP selalu diorientasikan pada kesuksesan siswa di masa depan. Dalam konteks orientasi masa depan dapat dikonstruksi multi-dimensional multiple-step future orientation models (model  multi demensi dan multi langkah orientasi masa depan). Model ini pada awalnya dikembangkan oleh Nurmi (1989, 1991). Model ini  terdiri tiga komponen yaitu: motivation, planning, and evaluation. Oleh sebab itu, dalam proses ILP para siswa hendaknya ditumbuhkan motivasinya agar sukses di masa depan. Cara memotivasi salah satunya dapat dilakukan melalui pelatihan penumbuhan motivasi. Menurut Packkard (2003) mentoring (pelatihan) dapat secara positif  berpengaruh terhadap motivasi pilihan karir murid.  Oleh sebab itu, ILP perlu dilakukan dalam upaya memberikan pengaruh terhadap rintisan karir melalui penyiapan diri dalam belajar secara terprogram. Bilamana siswa telah tumbuh motivasinya dapat diikuti dengan penyususunan ILP dan dilanjutkan dengan pelaksanaannya. Selama proses implementasi ILP, para siswa bersama dengan guru dan atau konselor, beserta orang tua akan selalu memonitor dan mengevalusi perkembangan keberjalanannya program tersebut.

Seginer, Nurmi, and Poole (Seginer, Nurmi, & Poole, 1991; Seginer, 1995, 2000) mengembangkan model Nurmi (1989, 1991)  tersebut dengan mencantumkan  tiga komponen yaitu motivasi, kognisi, dan tingkah laku serta hubungan antara ketiganya yang berkait dengan orientasi masa depan (Gambar 1).

Gambar 1.  The future orientation thre component model

 

Berdasarkan model sebagaimana Gambar 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa untuk dapat sukses di masa depan, individu harus memberdayakan tiga komponen yaitu motivasi, kognisi dan representasi (pengejawantahan) dalam bentuk berperilaku riil. Komponen motivasi berkait dengan masa depan dapat diartikan sebagai dorongan dari dalam diri seseorang untuk bertindak agar mencapai sesuatu yang diinginkan di waktu mendatang. Kemampuan memotivasi merupakan keterampilan seseorang memberikan dorongan baik kepada orang maupun dirinya sendiri, sehingga ia atau dirinya melakukan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Komponen motivasi terdiri dari value, ekspektansi, dan control diri.  Value atau nilai diri yaitu sesuatu yang berarti dan berharga bagi kehidupan individu. Value ini harus dimengertikan dan dipahamkan terlebih dahulu pada fase persiapan ILP. Demikian pula aspek ekspektansi dan kemampuan mengendalikan diri  menjadi  bagian penting dalam persipan proses melaksanakan ILP. Berkait dengan komponen motivasi, DuBrin (2009) menyatakan bahwa untuk memotivasi dapat dilakukan dengan empat strategi: (1) What’s In It For Me (WIIFM): apa gunanya buat saya?; (2) Penciptaan kebutuan; (3) Penetapan tujuan; dan (4) Penciptaan harapan.

Komponen kognitif  dalam aspek orientasi masa depan, para peneliti telah tertarik pada tematik masa depan. Komponen kognitif dalam model tersebut mempresentasikan orientasi masa depan  dalam  dua demensi yaitu content (isi) dan valensi. Isi atau content memuat  variasi domain kehidupan yang mana individu mengkonstruk  untuk masa depannya, sedangkan valensi didasarkan pada  asumsi bahwa individu berhubungan dengan masa depan dalam term approach and avoidance atau sebagai ekspresi  harapan dan ketakutan.  Individu dalam fase persiapan ILP juga harus dimengertikan atas komponen kognitif tersebut yang  berkait dengan apa  harapan untuk menjadi “sukses” dan ketakutan tidak menjadi apa atau “kegagalan” apa yang harus dihindari agar tidak terjadi di waktu mendatang.

Komponen behavior (tindakan) dalam model tersebut memuat dua aspek yaitu: mengeksplorasi pilihan masa depan dengan cara mencari nasihat, mengumpulkan informasi; dan berkomitmen untuk mencapainya. Istilah komitmen disini diartikan sebagai tindakan atau upaya individu secara terus menerus tanpa putus asa untuk mewujudkan tujuan  di masa depannya.

Bilamana, model tersebut diaplikasikan dalam ILP maka yang harus dilakukan adalah penyiapan siswa untuk menginternaslisasi 3 komponen tersebut. Tiga komponen tersebut dapat dimaknai sebagai soft skills individu yang diperlukan dalam menjalankan ILP. Proses penumbuhkembangan soft skills ini pada individu dapat dilakukan melalui program pelatihan dalam konteks penyiapan ILP.  Program penyiapan ini dapat dikatakan sebagai fase awal dalam ILP.

Fase kedua,  adalah fase operasionalisasi atau pelaksanaan  ILP. Dalam fase pelaksanaan ini memuat dimensi sasaran, isi, waktu strategi dan proses, serta seting tujuan (goal setting). Demensi sasaran, berkait dengan siapa  individu yang  hendak dikenai ILP, dan siapa saja yang secara signifikan ikut serta menjalankan dan bertanggung jawab atas keberlangsungan program ILP tersebut. Misalnya,  bilamana penerapan program ILP di SMP, maka yang menjadi sasaran adalah seluruh siswa, sedangkan orang yang signifikan terlibat adalah kepala sekolah, guru/wali kelas, konselor, dan orang tua siswa. Demensi isi, sebagaimana telah dikemukakan  di atas yaitu memuat variasi domain kehidupan yang mana individu mengkonstruk  untuk masa depannya. Misalnya, demensi isi bagi siswa antara lain memiliki keterampilan belajar dan memanaj waktu belajar, prestasi akademik  yang optimal, melanjutkan studi yang dicita-citakan, keterampilan merintis karir sesuai dengan harapan dan sejeninsnya. Demensi waktu, berkenaan dengan periode waktu ILP dioperasionalkan. Periode waktu pelaksanaan ILP dapat dibedakan atas jangka pendek, menengah dan panjang yang setiap periodenya waktunya relatif sesuai kebutuhan. Dalam kontek ILP siswa SMP misalnya, periode waktu dapat dikategorikan menjadi perode 3 bulan/semester untuk jangka pendek, periode  1-2 tahun untuk jangka menengah, dan perode 3-4 tahun untuk jangka panjang. Demensi strategi dan proses adalah demensi yang memuat metode atau teknik, dinamika dan mekanisme sistem kerja program ILP. Demensi strategi dan proses ini ditetapkan atas dasar  hasil dari suatu kajian dan analisis yang seksama terhadap suatu metode  yang dipandang  memiliki pengaruh efektif terhadap suatu program dalam hal ini adalah program ILP. Oleh sebab itu, dalam demensi ini pemilihan strategi hendaknya didukung oleh kajian teoritik dan hasil uji empiris atas keberhasilanya. Pemilihan strategi untuk diintervensikan dalam proses program ILP menjadi pilihan yang harus dilakukan secara  kritis dan taktis.

 

Terapi Berfokus Solusi

Strategi aplikasi Terapi Berfokus Solusi (TBS) merupakan salah satu alternatif yang dipertimbangkan dalam ILP, karena berbagai dasar dan alasannya. Bilamana ILP berorientasi pada masa depan memuat domain sukses belajar atau sukses akademik, sukses personal dan sosial, serta sukses karir, maka  metode TBS dapat diaplikasikan sebagai strategi untuk pencapaian kesuksesan tersebut karena ia juga berorientasi pada demensi sukses masa depan.

Terapi berfokus solusi (TBS) sebagai salah satu pendekatan konseling postmodern, diusung oleh beberapa tokoh yang dipeloporan Insoo Kim Berg dan Steve De Shazer sebagai direktur eksekutif dan peneliti senior di lembaga bantuan Brief Family Therapy Center (BFTC) di Milwaukee, Wisconsis, Amerika Serikat pada awal tahun 1980. Pada awalnya, TBS sebagai pendekatan baru untuk terapi singkat (de Shazer, 1982) yang sebagian berasal dari karya Mental Research Institute (Watzlawick, Weakland , & Fisch, 1974 dan Milton Erikson Zeig, 1985 dalam Smock, dkk 2010). De Shazer dkk (1986) mendeskripsikan prinsip yang mendasari TSBS yaitu ''memanfaatkan apa yang  dimiliki klien untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan mereka, sehingga membuat hidup mereka memperoleh kepuasan diri (hal. 208). TBS mengasumsikan bahwa klien adalah makhluk potensial, sehat, dan berdaya. Dalam pandangan TBS individu  memiliki kekuatan yang aktif yang berarti bahwa itu  bukan  karena mereka  tidak bisa memecahkan masalah tanpa mendapatkan pelatihan tambahan, melainkan mereka memiliki kekuatan yang melekat pada dirinya, sehingga mereka dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah mereka (Kelly;  Kim;  Franklin,  2008) termasuk dalam ilmplementasi program ILP. Gambar 2 berikut merupakan wujud penerapan TBS di sekolah yang menunjukkan bagaimana pemberdayaan kekuatam klien diperankan.


Gambar 1. Solution building school (diadaptasi dari Kelly, Kim , dan Franklin C, 2008)

 

TBS sebagai teknik terapi dalam membantu klien lebih berorientasi pada masa depan alah-alih mendasarkan pada masa lalu sebagaimana terjadi pada pendekatan konseling modern pada umumnya.  Ini berarti bahwa manusia itu kompeten mengatasi problem-problem yang dihadapinya temasuk didalamnya mampu membuat rencana masa depannya. “Solusi” adalah kata kunci mengantikan kata “problem” atau “masalah”. Manusia dalam berkehidupan tidak perlu terpaku pada masalah, namun perlu berfokus pada solusi. Steve DeShazer mengatakan bahwa untuk menyeleseaikan atau memecahkan suatu problem, kita tidak seharusnya mengetahui penyebabnya terlebih dahulu.

TBS tidak berfokus pada pemahaman terhadap masalah sebagai cara untuk berubah, tetapi lebih berfokus pada pemahaman yang lebih banyak pada bagaimana ke depan  hal-hal yang  lebih baik terjadi setelah masalah terpecahkan. Dalam kontek ILP,  problem belajar siswa di masa lalu tidak menjadi focus perhatian, melainkan lebih berfokus pada keberhasilan belajar apa saja yang akan diwujudkan di masa depan. DeShazer juga menegaskan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara problem dengan solusinya.

Dalam terapi TBS, klien memiliki tujuan sendiri yang akan ia capai, demikianpun dalam program ILP siswa menetapkan tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai di waktu maendatang. Dengan kata lain, dalam TBS pertanyaan mengapa tidak lebih penting daripada bagaimana.  Bilamana pemecahaman masalah atau perencanaan individu mendasarkan pada latar belakang masalah dan sumber penyebabnya, maka itu hanya sama dengan Learning Record yang merupakan  suatu format layanan konvensional yang berupa catatan hasil belajar dan melihat ke masa lalu; berbeda dengan itu, program ILP merupakan suatu format yang mengidentifikasi apa yang akan dicapai dan selalu melihat masa depan (Spear, 2000).

Pada intinya, terapis TBS akan membantu siswa mengembangkan visinya  secara jelas dan membantu mereka melihat  kehidupan yang lebih baik di masa depannya. Sebagaimana dalam ILP para siswa diminta untuk merumuskan tujuan  (goal setting),  kemudian terapis meminta klien untuk mencari bagian yang diinginkan yang sudah terjadi  sebelumnya dan memperluas pengaruhnya. Proses ini disebut dengan exeptions (pengecualian). 

Dalam proses terapi, O’Hanlon dalam Corey (2005) megemukan janganlah berlama-lama menganalisis masalah dan sumber penyebabnya, namun  segeralah bergerak dan bertindak  dengan memulai upaya menemukan solusi-solusi dan menyelesaikan atau memecahkan problemnya. Dalam fase ini, pertanyaan penting yang perlu diperhatikan adalah kekuatan apa yang bisa membantu klien dan terapis berinisiasi unutk berpindah dari upaya yang berorientasi problem ke upaya  berfokus solusi? Kekuatan itu tidak terletak pada masa lampau, melainkan pada masa  kini dan masa depan. Pada persepktif masa kini dan masa depan, merupakan kekuatan yang mendorong manusia untuk meraih kehidupan yang lebih sehat dan tujuan-tujuan yang lebih membahagiakan dirinya.

Berdasarkan inspirasi dari Berg & Miller (1992) dan Walter & Peller (1992), Prochaska & Neorcross (2003) merangkum tujuh karakteristik tujuan terapeutik TBS, yaitu hendaknya: (1) Bersifat positif; (2) Mengandung proses; (3) Memuat ide tentang kurun kini/sekarang; (4) bersifat  praktis; (5) Merumuskan tujuan se-spesifik-mungkin.”; (6) Menekankan pada internal locus of control; dan (7) Menggunakan bahasa klien. Tujuh karakteristik TBS tersebut layak menjadi  acuan dalam operasionalisasi dalam strategi ILP.

Proses terapiutik TBS secara keseluruhan mencakup dua aktivitas utama, yaitu (1) aktivitas menumbuhkembangkang kesadaran (conciusness raising); dan (2) aktivitas membuat pilihan sadar (choosing).  Dalam proses penumbuhkembangkan kesadaran  terapis TBS membantu klien untuk menyadari kekecualian-kekecualian (exceptions) dari pola-pola problem mereka. Disaat menemukan kekecualian diharapkan klien memiliki kontro diri  terhadap sesuatu yang selama dirasa sebagai problem yang tak mungkin diatasi dapat  dikurangi. Perkeculian selalu ada dalam kehidupan setiap individu siswa. Bagi siswa yang sangat sulit memfokuskan diri pada kekecualian yang positif, terapis bisa mengajukan pertanyaan mukjizat (miracle question).  Di samping itu, dalam kontek ILP penumbuhkembangan kesadaran dapat dimulai pada saat membangun soft skills yaitu pada fase penyipan program ILP.

Tahap kedua yaitu membuat pilihan sadar. Pilihan sadar terhadap tujuan-tujuan yang menentukan masa depan klien. Sejalan dengan semaskin meningkatnya kesadarannya tentang kekecualian positif, mereka akan bisa membuat pilihan sadar untuk menciptakan lebih banyak lagi kekecualian-kekecualian yang mungkin diterjadikan pada dirinya di waktu mendatang.

Implementasi startegi TBS dalam ILP, dapat dilakuan dengan mengembangkan langkah-langkah pelaksanaan membangun solusi TBS. Langkah-langkah membangun solusi secara TBS menurut DeShazer, dalam Prochaska & Norcross (2003) yaitu: (1) Memfokuskan diri pada tujuan; (2) Sejenak mendengarkan klien membicarakan problem-problem; (3) Memfokuskan diri pada solusi; (4) Memfokuskan diri pada kekecualian; (5) Membuat penilaian diantara pilihan sadar dengan spontanitas; (6) Melangkah dari perubahan-perubahan kecil ke perubahan-perubahan yang lebih besar; (7) Selalu menyadari bahwa setiap solusi adalah unik; (7) Mengembangkan solosi dari percakapan; (8) Menggunakan bahasa klien. Berkait dengan langkah tersebut DeJong & Berg dalam Corey (2005), mendeskripsikan struktur penumbuhkembangkan solusi yaitu (1) Klien diberi kesempatan untuk mendeskripsikan problem-problemnya; (2) Terapis bekerja sama dengan klien untuk segera mungkin mengembangkan tujuan-tujuan yang jelas; dan   (3) Terapis  menanyakan kepada klien tentang saat-saat ketika problem-problem klien terjadi atau ketika problem-problem klien berkurang.

Pada akhir setiap relasi terapeutik penumbuhkembangkan solusi (solution-building conversation), terapis memberikan ringkasan umpan balik (summary feedback) kepada klien. Terapis bersama klien mengevaluasi kemajuan yang telah dicapai, dengan menggunakan skala penilaian (rating scale).  Hal ini dapat dikerjakan dalam pelaksanaan program ILP dimana para siswa selalu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian target-target yang hendak dicapai dalam kurun waktu tertentu atau disetiap periode. Selanjutnya, mereka menganalisis dan mendiskusikan dengan orang yang signifikan dan menindaklanjutinya dengan perencanaan baru untuk lebih mencapai keberhasilan di waktu berikutnya.

Dalam TBS,  relasi terapiutik siswa di pandang sebagi  ahli (expert). Ia yang paling mengetahui tujuan-tujuan yang ingin dibangun. Tujuan-tujuan itu selalu unik buat setiap siswa dan dibangunnya untuk menciptakan hari depan yang lebih baik; sedangkan konselor sebagai  pakar tentang proses dan struktur terapi, membantu klien dalam membangun tujuan-tujuan mereka performansi yang lebih baik, lebih menghasilkan  solusi sukses. Relasi mendasar pada perspektif ini  adalah suatu  kolaborasi (kerja sama) antara dua pakar. Setiap pakar yaitu klien dan terapis–memberikan andil untuk penumbuhkembangkan sebuah solusi bersama. Relasi terapis dengan klien ditunjukan untuk meraih suatu tujuan.  Mekanisme relasi dan kolaborasi seperti tersebut diberlakukan selama proses pelaksanaan program ILP.  Simpulannya adalah bahwa uraian mengenai apa, bagaimamana, dan mengapa TBS tersebut di atas merupakan alasan dipilih strategi TBS sebagai alternatif mengimplementasikan ILP di sekolah.  Bukti-bukti empiris mengenai keberhasilan TBS diterapkan di sekolah, nampaknya menjadi alasan lain yang dapat mendukung alasan teroritik dipilihnya strategi TBS dalam pengembangan program ILP.

Penerapan TBS di sekolah telah tumbuh selama lebih dari 10 tahun terakhir dan terus menjadi wilayah yang menarik bagi para peneliti, pekerja sosial sekolah yang berbasis sekolah profesional. TBS telah diterapkan di sekolah dengan sejumlah masalah, termasuk masalah perilaku dan emosional siswa, masalah akademik, dan keterampilan sosial (Kelly, Kim , dan Franklin C, 2008). Bahkan  Metcaff (1998 dalam Smock, dkk 2008) menyarankan bahwa dalam penerapan TBS dalam dalam seting kelompok  dapat membangkitkan semangat, terutama ketika  bekerja dengan individu yang sedang berjuang melawan “perilaku di luar-kontrol,'' ---sebagaimana sedang bermalas-malas untuk tidak bertindak dengan komitmen dalam proses pelaksanaan ILP di sekolah---

De Jong dan Hopwood (1996) memberikan gambaran dari hasil studi yang dilakukan Kiser (1988) yaitu berupa survei periodik (4, 6, 12 dan 18 bulan pasca terapi) sebagai tindak lanjut  untuk menentukan apakah klien mereka telah mencapai tujuan  atau mengalami  kemajuan yang signifikan. Hasil survei menunjukkan bahwa tingkat keberhasilannya mencapai  80%, dengan 65,6% memenuhi tujuan mereka, dan 14,7% membuat perbaikan yang signifikan. Pada 18 bulan berikutnya, 86% dari klien dihubungi melaporkan keberhasilan.

Hasil penelitian kedua yang dilakukan De Jong dan Hopwood (1996) terhadap 275 klien dalam aplikasi  TBS  selama  November 1992 sampai Agustus 1993. Studi ini mirip dengan studi Kiser (1988) yaitu peserta atau klien dihubungi 7 sampai 9 bulan pasca  terapi untuk dimintai tanggapannya berkait dengan penerapan  teknik scaling question  di setiap sesi untuk mengukur kemajuan mereka. Perlu diketahui bahwa scalling question merupakan teknik andalan dalam TBS  yaitu sebagai tools that are used to identify useful differences for the client and may help to establish goals as well (Michael S.,  Kelly Johnny S., dan Franklin K.C., 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 136 tanggapan peserta, 45% melaporkan mencapai tujuan mereka, 32% melaporkan beberapa kemajuan ke arah tujuan mereka, dan 23% pelaporan menyatakan tidak ada kemajuan setelah penghentian terapi. Pada pengukuran hasil sesi berikutnya ada 141 tanggapan dihitung berdasarkan catatan sesi terapis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 25% melaporkan kemajuan yang signifikan, 49% melaporkan cukup mengalami kemajuan, dan 26% melaporkan tidak ada kemajuan. Teknik ini digunakan konselor untuk membantu klien bergerak dari suatu tahap tujuan ke-tujuan berikutnya atau menuju ke arah langkah-langkah yang lebih bersemangat dan mudah ditangani (Michael S.,  Kelly Johnny S., dan Franklin K.C., 2008).  Teknik kedua yaitu coping question (CQ). CQ designed to elicit information about client resources that will have gone unnoticed by them (Michael S.,  Kelly Johnny S., dan Franklin K.C., 2008). Teknik ini lebih menekankan pada upaya pemberdayaan sumberdaya internal: keterampilan, kekuatan, kualitas, kepercayaan klien dan kapasitas mereka yang berguna; dan juga sumberdaya external: relasi yang mendukung, seperti: mitra, keluarga, teman, dan pendukung yang lainnya.

Dalam konteks program ILP di sekolah barangkali para siswa sementara ini tidak merasa adanya problem dalam proses studi mereka. Kondisi tidak merasa adanya problem tersebut, menurut Bordin dan Pepinsky adalah termasuk satu diantara 6 problem yang mereka istilahkan problem “no problem”. Pada umumnya para siswa bukan merasakan adanya  masalah dengan kebiasaan rutinitas belajar mereka dan prestasi belajar mereka; orangtua juga terbiasa merasa cemas dan kebingungan menentukan  pendidikan studi lanjut anak-anaknya. Kondisi tersebut barangkali, karena hal itu dirasakan oleh hampir semua masyarakat Indonesia akhirnya dianggap suatu yang harus terjadi atau bukan disikapi sebagai masalah. Melalui program ILP, problem tersebut dapat dikurangi, karena para siswa, orang tua dan sekolah (guru dan konselor) secara bersama-sama mendorong siswa membuat perencanaan secara individual berkenaan dengan prestasi akademik, dan karir mreka di masa depan. Strategi program ILP dengan berbasis pada TBS dipandang sebagai suatu alternatif pilihan untuk mengatasi problem-problem tersebut.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan model layanan program perencanaan individual (ILP) menjadi suatu yang bermanfaat bagi para konselor dan guru khususnya bagi para siswa dan orang tua. Bagaimana program ILP dikembangkan menjadi format atau model yang layak, dapat diterima (acceptable)  dan memberikan manfaat bagi berbagai pihak khususnya siswa dan para konselor dan guru di sekolah adalah permasalahan yang hendak dijawab?  Pemaduan multi-dimensional multiple-step future orientation models (sebagai fase awal persiapan program ILP) dan implementasi strategi TBS  (fase pelaksanaan) nampaknya menarik diadop untuk dikembangkan sebagai suatu model program ILP.

 

DAFTAR PUSTAKA


Corcoran  J.  (2005) Building Strengths and Skills: A colloborative approach to working with client. New York:  by Oxford University Press, Inc.

Ditjen PMPTK Depdiknas. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Pada Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Ditjen PMPTK

Duncan Kelly (2006) South Dakota Comprehensive School Counseling Model. Souht Dakota: Northern State University.

Harris G (2009) The Art of Quantum Planning: Lessons from Quantum Physics for Breakthrough Strategy, Innovation, and Leadership. San Francisco, Califoria: Berrett-Koehler Publishers, Inc.

http://www.dpi.wisconsin.gov/sspw/counsl1.html. Judith Kuse. The Wisconsin Comprehensive School Counseling Program Model

Jackson Paul Z & McKergow Mark (2002)  The Solutions Focus The simple  way to positive change. London: Nicholas Brealey Publishing

Kelly M S.,  Kim J S.,  Franklin C. (2008) Solution Focused Brief Therapy in Schools: A 360-Degree View of Research and Practice. New York: Oxford University Press, Inc

Macdonald A. J.  (2007)  Solution-Focused Therapy Theory, Research & Practice. Road, New Delhi: SAGE Publications

Metcalf  Linda (2010)  Solution-focused RTI :A positive and personalized approach to response to intervention. San Francisco: John Wiley & Sons, In

Michael S. Kelly Johnny S. Franklin K. C, (2008) Solution–Focused Brief Therapy in Schools: A 360-Degree View of Research and Practice. New York: Oxford University Press, Inc.,

Muro, James J & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in the Elementary and Middle Schools. A Practical Approach. Wisconsin: Wm. C.Brown  Communication, Inc.

Parckard B. B-L. (2003) Student training promote mentoring awarness and action. The career development quarterly. 51, 335-345

Seginer R (2009) Future Orientation Developmental and Ecological Perspectives. New York: Springer Science Business Media

Simon, Joel K.  (2010) Solution focused practice in end-of-life and grief counseling. New York: Springer Publishing Company

Smock S. A.,  Trepper T. S. ,Wetchler J. L., McCollum E. E. , Ray R dan Pierce K. (2008). Solution-focused group therapy for level 1 substance abuser. Journal of Marital and Family Therapy, 34, 107–120

Smock S.A.; McCollum  E. E. Stevenson dan Michelle L. (2010). The developing of the solution building. Journal of Marital and Family Therapy, 36, 499–510

Willson Susan B, dan  Dobson Michael S. (2008) Goal setting: How to create an action plan and achieve tour goals. New York: American Managemen





Catatan:
Artikel ilmiah tersebut adalah tulisan asli dari sahabat kami Dr. Edy Legowo (1957 - 2021). Beliau wafat pada tanggal 14 Agustus 2021 karena Covid-19. Jabatan terakhir beliau adalah Kaprodi Bimbingan dan Konseling pada FKIP Universitas Sebelas Maret "UNS" Surakarta.
Artikel tersebut bisa ada di kami pemilik blog celotehpendidikan.com karena pada sejak tahun 2011 Almarhum bersama kami menempuh pendidikan S3 Bimbingan dan Konseling Sekolah di UM Malang. Pada saat itu beliau menitipkan tugas terakhir mata kuliah Studi Mandiri 3 kepada kami via email untuk diserahkan kepada dosen pengampu.
Sengaja kami unggah kembali tulisan beliau ini dengan satu alasan yakni agar ilmu beliau melalui tulisannya bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ladang amal ibadah beliau hingga akhirat nanti.
Teruntuk Almarhumah.....alfatihah