“Ibnu Salam anak bangsawan suku Thaqif yang kaya raya…engkau tidak akan menyesal menikah dengannya Laila” istri Amir ikut membujuk.
Sampailah kisah pada hari pernikahan Laila dan Ibnu Salam. Dan saat malam pertama tiba, masuklah Ibnu Salam kedalam kelambu ranjang Laila.
Ibnu Salam adalah seorang tua dari golongan bangsawan kaya raya yang sudah menikah lebih dari sepuluh kali. Dengan segudang pengalaman dalam hal ihwal pernikahan, Ibnu Salam mencoba merayu Laila.
“wahai Laila istriku, marilah kita reguk kenikmatan malam ini sebagai sepasang suami istri” ucap Ibnu Salam.
“silahkan Laila, ajukanlah pertanyaanmu itu istriku” balas Ibnu Salam.
“Karena engkau wanita tercantik di kota ini wahai Laila. Semua pria di kota ini berhasrat untuk menikahimu, tetapi akulah orang yang paling beruntung karena akulah yg menjadi suamimu” jawab Ibnu Salam sambil tertawa dengan pongahnya.
Terperanjatlah Ibnu Salam dan sontak berteriak sambil berkacak pinggang “wahai Laila, aku adalah suamimu, aku telah membayar maharmu, haram bagimu menolak ajakan suamimu”.
“silahkan perlakukan aku sesukamu layaknya sawah ladang bagimu wahai suamiku, tapi sawahmu ini sangat gersang dari air cinta. Sawah yang gersang tidak akan pernah menyuburkan tanaman” jawab Laila dengan lembut sambil tersenyum.
---------------------------------------------------------------------------------
Malam berganti siang, siang kembali berganti malam, hari terus silih berganti, bulan berganti bulan bahkan bertemu tahun. Tetapi pertanyaan Laila selalu sama. Tidak kurang rayuan Ibnu Salam agar Laila berkenan kepadanya, bahkan dengan cara kekerasan sekalipun Laila tetap tak bergeming dan tetap dengan pertanyaan juga keputusan yang sama.
Ibnu Salam pun terheran-heran dengan sikap Laila hingga ia pun pasrah tanpa bisa berbuat apapun lagi. Saat siang hari Laila melayani kebutuhan suaminya dalam hal sandang dan pangan dan menjadi pendamping suami dihadapan tamu-tamu suaminya. Tapi saat malam tiba, Laila mengunci rapat-rapat pintu kamarnya. Ia menangis menahan rindu dengan Qais kekasihnya hingga subuh tiba. Hingga suatu hari takdir Allah yang sudah pasti pun berlaku pada Ibnu Salam. Ia mati tanpa pernah menyentuh Laila.
Saat hari kematian Ibnu Salam. Laila menangis sejadi-jadinya hingga orang-orang beranggapan jika ia menangisi mendiang suaminya. Esok harinya Laila masih saja menangis, demikian juga lusa dan hari-hari seterusnya hinggalah mata Laila menjadi buta.
Orang-orang berkata “sungguh besar rasa cinta Laila kepada Ibnu Salam hingga ia menangisi kematiannya sampai matanya menjadi buta”.
Sungguh tangisan Laila adalah karena rasa rindunya yang tidak pernah terungkap pada Qais. Ia menutup rapat-rapat kedua bibirnya agar tidak mengucapkan rasa rindunya. Hanya tangisan dan air matanyalah yang berbicara mewakili beban hatinya.
Setelah kedua matanya membuta, hilanglah juga hasrat duniawi Laila. Tidak lagi ada hasrat untuk makan dan minum, yang ada hanyalah tangisan kerinduannya pada Qais. Hingga iapun jatuh sakit. Sudah buta – sakit pula.
Saat sudah semakin lemah dengan sakitnya, datanglah mendekat salah seorang dayang Laila. Si dayang berkata kepada Laila “wahai tuanku Laila, tadi di masjid aku melihat segerombolan orang sedang berdebat dan mencaci maki seorang majnun. Bahkan tidak henti-hentinya orang-orang mengumpatnya. Anak-anak kecil melemparinya dengan batu. ibu-ibu mengutuknya. Tapi dari mulut si majnun hanya berucap Laila…..Laila….Laila”. kucoba bertanya ke orang-orang perihal si majnun, orang-orang kompak menjawab “orang itu majnun sejak berjumpa Laila”.
Mendengar nama majnun, Laila yang sedang dalam payahnya karena sakit sontak berjingkat dari pembaringan, dan dengan pandangan keingintahuan kelanjutannya berita tentang Qais ditatapnya si dayang seolah-olah ingin melahap wanita paruh baya itu.
“apakah engkau melihatnya wahai dayang? Benarkah selalu keluar dari mulutnya nama Laila???” Tanya Laila.
“wahai dayang, pergilah engkau keluar. Carilah majnunku entah dimana dia berada. Carilah ia dipojokan-pojokam pasar, atau di kuburan-kuburan, di hutan belantara atau di goa-goa. Carilah ia sampai ketemu bahkan jika engkau harus menyeberang benua sekalipun. Berikanlah secarik kain sutera putih ini padanya. Tidak perlu engkau bersusah payah menjelaskan perihalnya karena rasa cintanya padaku yang sudah terpatri disetiap bulu roma tubuhnya yang akan menjelaskan padanya.
“Sendiko dawuh tuan putri” timpal dayang sambil berpamit diri.
---------------------------------------------------------------------------------
Dicarilah Qais oleh si dayang mulai dari gang-gang dan pojokan pasar, di kuburan-kuburan, di goa-goa. Sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, dua minggu, berganti bulan belum juga ditemukan olehnya di majnun. Hinggal akhirnya Allah pun berkehendak, dipertemukanlah si dayang dengan si majnun.
Majnun sedang tiduran dengan dikelilingi oleh sekumpulan binatang liar, singa, serigala, rusa, kelinci, ular dan lainnya. Tidak ada satupun dari hewan-hewan itu yang berniat mencelakai diri majnun.
“wahai Qais, bangunlah” sapa dayang. Tapi Qais tak bergeming. “wahai Qais, bangunlah” dayang mengulangi. Qais masih tetap tak peduli. “wahai sang pecinta gila, akankah engkau terus berpura-pura menutup kedua matamu? Ataukah kau akan menyambut sesuatu matlumat dari Laila-mu???”
Diambilnya kain itu oleh Qais, digenggamnya erat-erat, diciuminya dengan penuh cinta. Dibukanya perlahan seolah-olah kain itu ibarat kertas usang yang mudah rusak. Dipandanginya isi secarik kain sutera putih itu.
“Lailaaaaaaaaaaaaaa………..” Qais berteriak sekuat-kuatnya hingga tubuhnya gontai hingga tumbang. Qais pun pingsan.
---------------------------------------------------------------------------------
“Qaiiiiiiiiiiiiisssssssssssss………..” teriak Laila terdengar lamat-lamat dan serak hingga bibirnya terkatup, matanya pun terpejam. Laila telah menerima takdir ilahi yang pasti yaitu kematian.
Isi surat Laila untuk kekasihnya Qais al-majnuni di secarik kain sutera putih:
“Wahai pengembara yang selalu diliputi kesengsaraan……..Aku adalah rembulan dan engkau adalah matahari yang menyinariku dari kejauhan. Maafkan aku, karena orbit berbeda membuat kita selalu terpisah. Semua sudah selesai. Laila, sahabatmu dalam kesedihan itu sekarang sudah tiada. Ia telah terbebas dari belenggu duniawi Hatinya hanya diberikan padamu dan dia mati untukmu”.