Selasa, 17 Januari 2023

ANAK KIJANG DI KOTA BUAYA; Kisah Beberapa Bongkah Batu

            Di pojok utara lahan pekarangan rumah kami ada parit dengan lebar dan kedalaman sekitar setengah meter. Parit ini mengaliri air dari kompleks rumah kos-kosan depan rumah kami. Sedangkan disebelah parit hanya tanah kosong milik seseorang yang masih kerabat jauh Emakku. Jadi antara tanah rumah kami dan tanah kosong kerabatku terbatasi oleh parit. Karena selalu tergerus air lama kelamaan parit menjadi semakin dangkal dan menyempit sehingga dalam setahun sekali harus digali dan diperlebar kembali. Saat memperlebar parit biasanya Bapakku akan sekalian memperbaiki konstruksi pinggiran parit dengan bebatuan. Pembaca mungkin berpikir kenapa tidak di cor (dipasang batu miring atau pelengsengan dg semen agar kokoh). Jelas alasan ekonomi adalah jawabannya. Karena untuk makan saja kami sangat kesulitan.
Pada saat aku duduk di bangku kelas 3 MTs. (setara SMP) ada suatu peristiwa yang tidak akan pernah kulupakan dan akan menjadi pelajaran bahkan hingga keanak cucuku nanti.
Saat itu aku diminta bantuan oleh Bapakku untuk membantu memperbaiki parit yang sudah mendangkal dan menyempit. Seperti biasanya Bapakku terlebih dahulu akan pergi ke lokasi-lokasi bekas penambangan PT. Aneka Tambang untuk mengambil beberapa karung bebatuan bauksit. Disekitar Kijang banyak lokasi bekas penambangan Bauksit. Beberapa lokasi di reboisasi dengan ditanami pohon akasia atau pohon jambu mede/mete (jambu monyet) beberapa dibiarkan menjadi lahan kosong. Singkat cerita kami kehabisan bongkahan batu dan akupun langsung mengumpulkan beberapa bongkahan batu yang kuambil dari lahan kosong.
Awalnya Bapakku tidak mengetahui kalau aku mengambil bongkahan-bongkahan batu dari tanah sebelah. Tapi lama kelamaan beliau tahu juga. “dapat darimana batu-batunya?” Tanya Bapakku. “itu Pak ambil di tanah sebelah” jawabku sambil menunjuk ke tanah sebelah. “tidak boleh, cepat kembalikan semuanya. Yang sudah terpasang di parit bongkar juga dan kembalikan semua” perintah Bapakku dengan wajah tegas. “lhaaa Pak, kan cuma batu dan juga tanah kosong gak ada yang nempati” kelahku. “tanah ini ada yang punya, bukan haknya kita, meskipun cuma sebutir kerikil kalau kita tidak minta sama yang punya artinya kita sudah mencuri. Harus minta izin dulu sama yang punya tanah” timpal Bapakku.
Akhirnya akupun mengembalikan semua bongkahan-bongkahan batu keasalnya dan batu-batu yang sudah tertata menjadi batu miring aku bongkar kembali dengan dibantu oleh Bapakku. Sambil itu, Bapakku bercerita tentang kisah yang masyhur dikalangan para sufi. Aku sangat ingat sekali kisah ini karena Bapakku sering sekali mengulang-ulang kisah ceritanya.
Begini kisahnya,
Zaman Sultan Harun al-Rasyid, hiduplah sepasang suami-istri beserta anak-anak mereka. Mereka bukan keluarga yang mampu bahkan tergolong miskin. Sementara tetangga mereka adalah keluarga yang kaya raya.
Suami istri ini adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah). Suami bekerja sebagai buruh pencari kayu di hutan. Sedangkan tetangga mereka selain terkenal kaya raya tapi juga terkenal dengan kepelitannya. Meskipun punya tetangga yang miskin tapi mereka tidak pernah mau membantu.
Suatu ketika di bulan Romadlon, seperti biasa Sultan al-Rasyid mengumpulkan para mustahiq zakat (orang yang berhak mendapatkan zakat) yang terdiri dari orang-orang faqir, miskin, amil, muallaf, gharim, riqab, fiisabilillah, dan ibnu sabil. Semua mustahiq dipanggil satu persatu untuk menerima zakat. Seperti biasa juga selain zakat berupa makanan pokok, Sultan juga memberikan beberapa keping dirham kesetiap mustahiq. Rasa syukur yang tak terkira diucapkan oleh si suami ‘abid tadi. “Dirham ini kalau aku belikan pakaian tentu tidak akan cukup untuk semua keluarga, tapi jika dibelikan beberapa lembar kain maka akan cukup jika dijahit untuk semua keluargaku akan. Biarlah istriku yang akan menjahit kainnya nanti untuk menjadi baju” pikir si ‘abid.
Pulanglah si ‘abid sambil membawa hasil zakat dan beberapa potong kain. Diberikanlah kain tersebut kepada sang istri untuk dijahitkan menjadi beberapa helai baju yang cukup untuk seluruh keluarga dan akan dipakai saat ‘iedul fitri. Mulailah sang istri menjahit kain-kain tersebut.
Tidak terasa malam pun tiba, mereka baru menyadari jika di rumah mereka sudah tidak ada minyak untuk menyalakan lentera. “pak, malam semakin gulita, kita sudah tidak punya minyak untuk menyalakan lentera” ujar si istri. “coba bu ke rumah tetangga untuk meminta sedikit minyak sekedar untuk menyalakan sebuah lentera” saran si ‘abid. “baiklah pak” jawab si istri.
Pergilah si istri ke rumah tetangga yang kaya raya. Setelah bertemu si empunya rumah, segeralah diutarakan maksud si tamu. “wahai tetangga, di rumah kami sudah tidak ada satupun lentera yang menyala. Kami sudah tidak memiliki setetes pun minyak…..sudilah kiranya tuan untuk memberikan kami sedikit minyak agar terang rumah kami” iba si tamu. “cih…kamu lagi, selalu saja mengganggu istirahat malamku” hardik si empu rumah. “kalau mau banyak minyak suruh suamimu kerja, jangan cuma ibadah. Ibadah tidak akan buat kalian kenyang dan kaya raya. Malam ini tidak akan kuberikan minyak, supaya kalian belajar bahwa jadi orang miskin itu tidak enak, supaya kalian sadar untuk bekerja keras…pulanglah sana!!!” kembali si empu rumah menghardik.
Dengan wajah lesu, si tamu pun kembali ke rumah. Diceritakanlah semua kepada suaminya. Dengan sabar suaminya pun menyahut penjelasan istrinya dengan kalimat-kalimat yang membesarkan hati istrinya.
Bagaimana dengan jahitan baju kita pak? Besok sudah ‘iedul fitri” ucap si istri. “bu, coba lihat….disebelah rumah tetangga kita itu ada seberkas sinar cahaya lentera yang menyinari hingga keluar. Cobalah kau menjahit disana. Aku yakin si tetangga yang pelit itu tidak akan marah” saran si ‘abid. “iya pak, aku akan menjahit disitu pak” balas si istri. Dan si istri pun langsung menuju kesebelah rumah tetangga hanya sekedar untuk memanfaatkan seberkas sinar cahaya dari rumah tetangga yang menjorok hingga keluar rumah (kalau sekarang numpang wifi gratis tetangga….hehe). Mulailah si istri menjahit. Jahitan demi jahitan, hingga jadilah beberapa helai baju. Setelah selesai kembalilah si istri ke rumah.
Malam pun semakin larut. Lolongan anjing liar dan burung-burung malam mulai bersahut-sahutan. Manusia sudah lelap di peraduan masing-masing. Saat lelap tidur, si ‘abid bermimpi. Ia bermimpi sedang disiksa oleh Malaikat Zabaniyah (Malaikat yang menjadi algojo di Neraka) bersama istrinya didalam neraka. Di neraka itu ada pula si tetangga. Sambil menyiksa, Zabaniyah sambil berucap “inilah ganjaranmu wahai pencuri”, terus saja kalimat itu berulang-ulang diucapkannya.
Diseberang, si tetangga juga sedang bermimpi, bermimpi dengan tema yang sama yaitu sedang disiksa di neraka dan dalam mimpinya ia juga melihat tetangganya sedang disiksa bersamanya di neraka. Sambil menyiksa, Zabaniyah sambil berucap “inilah ganjaranmu wahai orang kaya yang pelit”, terus saja kalimat itu berulang-ulang diucapkannya.
Setelah semakin berat siksaannya tiba-tiba si ‘abid dan si tetangga sontak terbangun dari tidurnya dengan terengah-engah dan keringat bercucuran karena rasa takut.
Keesokan paginya, pergilah mereka berdua kepada seorang ulama yang masyhur dengan sifat wara’ dan sudah mencapai maqom mukasyafah. Berceritalah mereka berdua perihal mimpi yang dialaminya. Setelah mendengar cerita mereka berdua, si ulama pun menjelaskan bahwa kesalahan si ‘abid dan istri karena telah mencuri hak milik tetangga tanpa izin meskipun itu hanya seberkas sinar lentera. Sedangkan kesalahan si tetangga karena tidak memberikan hak tetangganya yang miskin. Ajaran Islam bagi tetangga yang kaya adalah berkewajiban membantu tetangganya yang miskin. Islam mengutuk tetangga yang perutnya selalu kekenyangan sementara tetangga sebelah rumahnya sangat kelaparan meskipun ia seorang yang taat beribadah. Ada hak dan kewajiban yang telah diatur oleh Islam dalam hidup bertetangga.
Akhirnya, setelah mendapat penjelasan dari ulama tersebut, kedua orang bertetangga itupun saling menyadari kesalahan masing-masing dan keduanya kembali hidup rukun saling membantu.
Selesai bercerita, Bapakku menegaskan dan menasehatiku untuk jangan pernah mengambil hak milik orang lain tanpa izin meskipun cuma sebutir batu atau secercah sinar. Hak milik orang lain juga bukan cuma berupa barang yang telihat oleh mata. Tetapi yang tidak terlihat oleh mata juga tidak boleh kita renggut. Rasa bahagia, rasa aman, rasa damai, rasa berkasih sayang itu hak miliki setiap orang yang tidak boleh kita ganggu apalagi kita rampas. Saat itu Bapakku memberikan contoh, andai ada tetangga yang sedang berbahagia mengadakan resepsi pernikahan, janganlah kita rusak dengan cerita-cerita gosip dari lisan kita yang menjelek-jelekkan acara tersebut sehingga tetangga kita menjadi merasa risih, merasa susah dan gundah. Ada tetangga kita yang sedang bahagia punya sepeda motor baru meskipun secara kredit, jangan lisan kita mencemooh sehingga tetangga kita menjadi malu. Jika ini dilakukan berarti kita sudah mencuri hak tetangga kita.
Itulah Bapakku, orang yang berani hidup miskin daripada harus mencuri. Bapakku bekerja sebagai pegawai tetap di PT. Aneka Tambang Wilayah Kijang-Bintan Timur salah satu BUMN yang khusus menambang tanah Bauksit. Terakhir jabatan beliau adalah Pengawas Lapangan. Tugas Pengawas Lapangan adalah mengawasi proses penggalian tanah bauksit di lokasi penambangan, juga mengawasi sarana dan prasarana produksi. Termasuk sarana prasarana disini adalah kendaraan dinas beserta BBM (Bahan Bakar Minyak)-nya.
Lokasi penambangan biasanya di pulau-pulau kecil sekitar Bintan dan ditengah hutan. Kendaraan produksi berupa truk tambang Komatsu yang ukuran ban-nya lebih dari 2 meter. Kendaraan-kendaraan ini tentu membutuhkan BBM yang tidak sedikit sehingga disetiap lokasi tambang sudah disediakan tangki-tangki BBM jenis solar dengan model tandong tabung ukuran diameter lebih dari 2 meter.
Sebagai Pengawas Lapangan, sangat bisa bagi Bapakku untuk korupsi BBM. Jika saat itu Bapakku berani membawa pulang satu jerigen solar aja tiap hari untuk dijual ke juragan-juragan ikan atau juragan pemilik perahu motor seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan beliau tentu keluarga kami akan kaya raya.
Itulah Bapakku Muhammad Yasin bin Yahya, seorang sufi “ortodok” yang sepanjang hidupnya tetap setia menjaga muru’ah seorang sufi hingga akhir hayat beliau.


Padukuhan Kupang Wetan,
24 Jumadil Akhir 1444h
17 Januari 2023