Di pojok utara lahan
pekarangan rumah kami ada parit dengan lebar dan kedalaman sekitar setengah
meter. Parit ini mengaliri air dari kompleks rumah kos-kosan depan rumah kami.
Sedangkan disebelah parit hanya tanah kosong milik seseorang yang masih kerabat
jauh Emakku. Jadi antara tanah rumah kami dan tanah kosong kerabatku terbatasi
oleh parit. Karena selalu tergerus air lama kelamaan parit menjadi semakin
dangkal dan menyempit sehingga dalam setahun sekali harus digali dan diperlebar
kembali. Saat memperlebar parit biasanya Bapakku akan sekalian memperbaiki
konstruksi pinggiran parit dengan bebatuan. Pembaca mungkin berpikir kenapa
tidak di cor (dipasang batu miring atau pelengsengan dg semen
agar kokoh). Jelas alasan ekonomi adalah jawabannya. Karena untuk makan saja
kami sangat kesulitan.
Pada saat aku duduk
di bangku kelas 3 MTs. (setara SMP) ada suatu peristiwa yang tidak akan pernah
kulupakan dan akan menjadi pelajaran bahkan hingga keanak cucuku nanti.
Saat itu aku diminta
bantuan oleh Bapakku untuk membantu memperbaiki parit yang sudah mendangkal dan
menyempit. Seperti biasanya Bapakku terlebih dahulu akan pergi ke lokasi-lokasi
bekas penambangan PT. Aneka Tambang untuk mengambil beberapa karung bebatuan
bauksit. Disekitar Kijang banyak lokasi bekas penambangan Bauksit. Beberapa lokasi
di reboisasi dengan ditanami pohon akasia atau pohon jambu mede/mete (jambu
monyet) beberapa dibiarkan menjadi lahan kosong. Singkat cerita kami kehabisan
bongkahan batu dan akupun langsung mengumpulkan beberapa bongkahan batu yang
kuambil dari lahan kosong.
Awalnya Bapakku tidak
mengetahui kalau aku mengambil bongkahan-bongkahan batu dari tanah sebelah.
Tapi lama kelamaan beliau tahu juga. “dapat darimana batu-batunya?”
Tanya Bapakku. “itu Pak ambil di tanah sebelah” jawabku sambil menunjuk
ke tanah sebelah. “tidak boleh, cepat kembalikan semuanya. Yang sudah
terpasang di parit bongkar juga dan kembalikan semua” perintah Bapakku
dengan wajah tegas. “lhaaa Pak, kan cuma batu dan juga tanah kosong gak ada
yang nempati” kelahku. “tanah ini ada yang punya, bukan haknya kita,
meskipun cuma sebutir kerikil kalau kita tidak minta sama yang punya artinya
kita sudah mencuri. Harus minta izin dulu sama yang punya tanah” timpal
Bapakku.
Akhirnya akupun
mengembalikan semua bongkahan-bongkahan batu keasalnya dan batu-batu yang sudah
tertata menjadi batu miring aku bongkar kembali dengan dibantu oleh Bapakku.
Sambil itu, Bapakku bercerita tentang kisah yang masyhur dikalangan para sufi. Aku
sangat ingat sekali kisah ini karena Bapakku sering sekali mengulang-ulang
kisah ceritanya.
Begini kisahnya,
Zaman Sultan Harun
al-Rasyid, hiduplah sepasang suami-istri beserta anak-anak mereka. Mereka bukan
keluarga yang mampu bahkan tergolong miskin. Sementara tetangga mereka adalah
keluarga yang kaya raya.
Suami istri ini
adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah). Suami bekerja sebagai buruh
pencari kayu di hutan. Sedangkan tetangga mereka selain terkenal kaya raya tapi
juga terkenal dengan kepelitannya. Meskipun punya tetangga yang miskin tapi
mereka tidak pernah mau membantu.
Suatu ketika di bulan
Romadlon, seperti biasa Sultan al-Rasyid mengumpulkan para mustahiq zakat
(orang yang berhak mendapatkan zakat) yang terdiri dari orang-orang faqir,
miskin, amil, muallaf, gharim, riqab, fiisabilillah, dan ibnu sabil.
Semua mustahiq dipanggil satu persatu untuk menerima zakat. Seperti biasa juga
selain zakat berupa makanan pokok, Sultan juga memberikan beberapa keping
dirham kesetiap mustahiq. Rasa syukur yang tak terkira diucapkan oleh si suami ‘abid
tadi. “Dirham ini kalau aku belikan pakaian tentu tidak akan cukup untuk
semua keluarga, tapi jika dibelikan beberapa lembar kain maka akan cukup jika
dijahit untuk semua keluargaku akan. Biarlah istriku yang akan menjahit kainnya
nanti untuk menjadi baju” pikir si ‘abid.
Pulanglah si ‘abid
sambil membawa hasil zakat dan beberapa potong kain. Diberikanlah kain tersebut
kepada sang istri untuk dijahitkan menjadi beberapa helai baju yang cukup untuk
seluruh keluarga dan akan dipakai saat ‘iedul fitri. Mulailah sang istri
menjahit kain-kain tersebut.
Tidak terasa malam pun
tiba, mereka baru menyadari jika di rumah mereka sudah tidak ada minyak untuk
menyalakan lentera. “pak, malam semakin gulita, kita sudah tidak punya
minyak untuk menyalakan lentera” ujar si istri. “coba bu ke rumah
tetangga untuk meminta sedikit minyak sekedar untuk menyalakan sebuah lentera”
saran si ‘abid. “baiklah pak” jawab si istri.
Pergilah si istri ke
rumah tetangga yang kaya raya. Setelah bertemu si empunya rumah, segeralah
diutarakan maksud si tamu. “wahai tetangga, di rumah kami sudah tidak ada
satupun lentera yang menyala. Kami sudah tidak memiliki setetes pun
minyak…..sudilah kiranya tuan untuk memberikan kami sedikit minyak agar terang
rumah kami” iba si tamu. “cih…kamu lagi, selalu saja mengganggu
istirahat malamku” hardik si empu rumah. “kalau mau banyak minyak suruh
suamimu kerja, jangan cuma ibadah. Ibadah tidak akan buat kalian kenyang dan
kaya raya. Malam ini tidak akan kuberikan minyak, supaya kalian belajar bahwa
jadi orang miskin itu tidak enak, supaya kalian sadar untuk bekerja keras…pulanglah
sana!!!” kembali si empu rumah menghardik.
Dengan wajah lesu, si
tamu pun kembali ke rumah. Diceritakanlah semua kepada suaminya. Dengan sabar
suaminya pun menyahut penjelasan istrinya dengan kalimat-kalimat yang
membesarkan hati istrinya.
“Bagaimana dengan
jahitan baju kita pak? Besok sudah ‘iedul fitri” ucap si istri. “bu,
coba lihat….disebelah rumah tetangga kita itu ada seberkas sinar cahaya lentera
yang menyinari hingga keluar. Cobalah kau menjahit disana. Aku yakin si
tetangga yang pelit itu tidak akan marah” saran si ‘abid. “iya pak, aku
akan menjahit disitu pak” balas si istri. Dan si istri pun langsung menuju
kesebelah rumah tetangga hanya sekedar untuk memanfaatkan seberkas sinar cahaya
dari rumah tetangga yang menjorok hingga keluar rumah (kalau sekarang numpang
wifi gratis tetangga….hehe). Mulailah si istri menjahit. Jahitan demi jahitan, hingga
jadilah beberapa helai baju. Setelah selesai kembalilah si istri ke rumah.
Malam pun semakin
larut. Lolongan anjing liar dan burung-burung malam mulai bersahut-sahutan.
Manusia sudah lelap di peraduan masing-masing. Saat lelap tidur, si ‘abid
bermimpi. Ia bermimpi sedang disiksa oleh Malaikat Zabaniyah (Malaikat yang
menjadi algojo di Neraka) bersama istrinya didalam neraka. Di neraka itu ada
pula si tetangga. Sambil menyiksa, Zabaniyah sambil berucap “inilah
ganjaranmu wahai pencuri”, terus saja kalimat itu berulang-ulang
diucapkannya.
Diseberang, si
tetangga juga sedang bermimpi, bermimpi dengan tema yang sama yaitu sedang
disiksa di neraka dan dalam mimpinya ia juga melihat tetangganya sedang disiksa
bersamanya di neraka. Sambil menyiksa, Zabaniyah sambil berucap “inilah
ganjaranmu wahai orang kaya yang pelit”, terus saja kalimat itu
berulang-ulang diucapkannya.
Setelah semakin berat siksaannya
tiba-tiba si ‘abid dan si tetangga sontak terbangun dari tidurnya dengan
terengah-engah dan keringat bercucuran karena rasa takut.
Keesokan paginya, pergilah mereka
berdua kepada seorang ulama yang masyhur dengan sifat wara’ dan sudah
mencapai maqom mukasyafah. Berceritalah mereka berdua perihal mimpi yang
dialaminya. Setelah mendengar cerita mereka berdua, si ulama pun menjelaskan
bahwa kesalahan si ‘abid dan istri karena telah mencuri hak milik tetangga
tanpa izin meskipun itu hanya seberkas sinar lentera. Sedangkan kesalahan si
tetangga karena tidak memberikan hak tetangganya yang miskin. Ajaran Islam bagi
tetangga yang kaya adalah berkewajiban membantu tetangganya yang miskin. Islam
mengutuk tetangga yang perutnya selalu kekenyangan sementara tetangga sebelah
rumahnya sangat kelaparan meskipun ia seorang yang taat beribadah. Ada hak dan
kewajiban yang telah diatur oleh Islam dalam hidup bertetangga.
Akhirnya, setelah mendapat
penjelasan dari ulama tersebut, kedua orang bertetangga itupun saling menyadari
kesalahan masing-masing dan keduanya kembali hidup rukun saling membantu.
Selesai bercerita, Bapakku
menegaskan dan menasehatiku untuk jangan pernah mengambil hak milik orang lain
tanpa izin meskipun cuma sebutir batu atau secercah sinar. Hak milik orang lain
juga bukan cuma berupa barang yang telihat oleh mata. Tetapi yang tidak
terlihat oleh mata juga tidak boleh kita renggut. Rasa bahagia, rasa aman, rasa
damai, rasa berkasih sayang itu hak miliki setiap orang yang tidak boleh kita
ganggu apalagi kita rampas. Saat itu Bapakku memberikan contoh, andai ada
tetangga yang sedang berbahagia mengadakan resepsi pernikahan, janganlah kita
rusak dengan cerita-cerita gosip dari lisan kita yang menjelek-jelekkan acara
tersebut sehingga tetangga kita menjadi merasa risih, merasa susah dan gundah. Ada
tetangga kita yang sedang bahagia punya sepeda motor baru meskipun secara
kredit, jangan lisan kita mencemooh sehingga tetangga kita menjadi malu. Jika ini
dilakukan berarti kita sudah mencuri hak tetangga kita.
Itulah Bapakku, orang yang berani
hidup miskin daripada harus mencuri. Bapakku bekerja sebagai pegawai tetap di
PT. Aneka Tambang Wilayah Kijang-Bintan Timur salah satu BUMN yang khusus menambang
tanah Bauksit. Terakhir jabatan beliau adalah Pengawas Lapangan. Tugas Pengawas
Lapangan adalah mengawasi proses penggalian tanah bauksit di lokasi
penambangan, juga mengawasi sarana dan prasarana produksi. Termasuk sarana prasarana
disini adalah kendaraan dinas beserta BBM (Bahan Bakar Minyak)-nya.
Lokasi penambangan biasanya di
pulau-pulau kecil sekitar Bintan dan ditengah hutan. Kendaraan produksi berupa
truk tambang Komatsu yang ukuran ban-nya lebih dari 2 meter. Kendaraan-kendaraan
ini tentu membutuhkan BBM yang tidak sedikit sehingga disetiap lokasi tambang
sudah disediakan tangki-tangki BBM jenis solar dengan model tandong tabung ukuran
diameter lebih dari 2 meter.
Sebagai Pengawas Lapangan, sangat
bisa bagi Bapakku untuk korupsi BBM. Jika saat itu Bapakku berani membawa
pulang satu jerigen solar aja tiap hari untuk dijual ke juragan-juragan ikan
atau juragan pemilik perahu motor seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan
beliau tentu keluarga kami akan kaya raya.
Itulah Bapakku Muhammad Yasin bin
Yahya, seorang sufi “ortodok” yang sepanjang hidupnya tetap setia menjaga muru’ah
seorang sufi hingga akhir hayat beliau.
Padukuhan Kupang Wetan,
24 Jumadil Akhir 1444h
17 Januari 2023