Jumat, 22 Mei 2020

KAKI KIRI BENEDICT ARNOLD



Bagi yang mempelajari sejarah Amerika Serikat, tentu mengenal betul siapa Benedict Arnold itu. Dia seorang jenderal pada masa Perang Kemerdekaan Amerika (1776-1783), dan terkenal karena berhasil memukul tentara Inggris di pertempuran Saratoga. Sebelumnya, rencana pertempuran tersebut tidak disetujui atasannya, Jenderal Washington, tetapi Arnold membangkang dan nekad bertempur dengan bala tentara yang tidak banyak. Tetapi orasi pertempurannya telah berhasil membangkitkan semangat juang anak buahnya. Malang, dalam pertempuran yang memashurkan namanya itu, ia jatuh dari kudanya. Kaki kirinya cedera berat sampai Arnold pingsan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Para dokter tidak dapat menyelamatkan kaki kirinya, dan akhirnya diamputasi. Karena cacat, ia tidak bisa ikut bertempur melawan tentara Inggris lagi, bahkan diberhentikan dari dinas militernya. Meskipun ia menghubungi beberapa orang berpengaruh, keinginannya agar ia tetap dapat berdinas sebagai militer ditolak. Benedict Arnold kesal dan merasa dilupakan Orang. Mereka gampang melupakan jasanya. Arnold balas dendam terhadap bangsanya, dengan diam-diam menghubungi tentara Inggris yang merencanakan menyerang West Point di bawah Mayor Andre. Sebelum penyerangan terhadap West Point dilaksanakan, Mayor Andre tertangkap oleh tentara Amerika dan bersamanya ada dokumen-dokumen persekongkolannya dengan Benedict Arnold. Mantan Jenderal ini bergegas melarikan diri ke Inggris dan di sana sampai kematiannya pada tahun 1801.

Di monumen Saratoga, kemudian didirikan sebuah patung kaki kiri yang mengenakan sepatu lars keJenderalan dan diatasnya terdapat karangan bunga dengan tanda pangkat jenderal. Di situ ada tullsan berbunyi: "Tugu ini didirikan untuk menghormatl seorang pahlawan tentara kemerdekaan Amerika", tanpa menyebut nama. Dan barang tentu pengunjung segera tahu, kaki kiri siapa yang dibuatkan monumennya itu. Rupanya pembuatan patung itu diilhami oleh sebuah percakapan antara Benedict Arnold dan seorang rekan yang mengunjunginya di Inggris, jauh setelah Amerika merdeka. Arnold bertanya kepada temannya itu, "Bagaimana penerimaan orang-orang Amerika apabila ia kernbali ke tanah kelahirannya?" Jawab teman itu, "Ah, mula-mula kita akan potong kaki kiri Anda yang akan kita kuburkan dengan penghormatan militer. Sudah itu sisa badan Anda akan kita berikan kepada anjing-anjing."

Itulah kisah seorang pahlawan yang kemudian berkhianat kepada bangsanya. Dan itulah cara orang Amerika mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsanya. Lain Amerika, lain Indonesia. Kita juga punya cara sendiri untuk menghormati pahlawan-pahlawan kita. Seorang pengkhianat bangsa seperti Benedict Arnold masih dikenang jasanya yang baik bagi bangsanya. Tetapi di Indonesia dikenal pepatah "nila setitik rusak susu sebelanga". Anda boleh berjasa kepada masyarakat dan bangsa hampir seluruh hidup Anda, tetapi kalau di ujung usia ternyata Anda bersalah, maka nama baik Anda ditentukan oleh perbuatan Anda yang terakhir itu. Lebih baik kalau Anda menjalani hidup rusak dulu dan di akhir hayat bertobat total. ltu lebih terhormat. Anda akan dikenang. Anda akan jadi pahlawan.

Yang selalu kita inginkan adalah manusia sempurna. LihatIah tujuh sumpah Pegawai Negeri Sipil yang dibacakan setiap tanggal 17, di situ tampak bertumpuk-tumpuk persyaratan untuk menjadi pegawai negeri yang baik. Atau sumpah janji setia pada kelompok profesi yang Iain. Kita selalu mengumpulkan sebanyak mungkin aspek-aspek ideal sebuah profesi. Seolah-olah manusia Indonesia itu mampu untuk menjadi sempurna sebagai pegawai negeri, sebagai polisi, sebagai pejabat, sebagai tentara. Hanya para pedagang saja yang tak pernah membuat janji-janji ideal. Rupanya mereka mengenal betul ketidaksempurnaan manusia.

Menjadi presiden menjadi menteri, menjadi gubernur, menjadi jenderal seolah-olah bukan manusia biasa lagi. Mereka berada di atas manusia biasa di dunia nyata ini. Mereka manusia sempurna. Kalau mereka melakukan hal-hal yang tidak sempurna, mereka lekas diampuni, karena mereka memang sempurna. Tetapi kalau ketidaksempurnaan mereka itu semakin menjadi-jadi, maka diperlukan munculnya tanda-tanda zaman. Dahulu kala, gejala raja-raja lalim selalu dapat dibaca dari alam. Tersebar wabah, meningkatnya bahaya kelaparan, sawah-sawah kering, hama merajalela, raja sendiri sering gering, itulah pertanda zaman bahwa si penguasa sudah seharusnya diganti, karena dia sudah tidak sempurna lagi. Cerita-cerita babad selalu punya koleksi kisah yang demikian itu.

Bangsa ini lebih dari setengahnya masih digayuti oleh kesadaran kolektif mitos. Hanya beberapa persen manusia Indonesia yang telah memiliki kesadaran negerinya Benedict Arnold? Bahwa manusia itu tidak sempurna dan hanya bisa menuju arah kesempurnaan yang tak mungkin dicapainya? Dapatkah kita membuat monumen kaki kiri para "Benedict Arnold" kita? Dapatkan kita memaafkan ketidaksempurnaan?.

Kita kadang terlalu banyak menuntut dari seorang pemimpin. Artinya, pemimpin itu harus sempura, seperti pegawai negeri itu harus sempurna sesuai dengan Sapta Prasetya Pegawai Negeri. Pegawai negeri itu harus jujur, tidak melakukan perbuatan tercela, mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri atau golongan, memegang teguh rahasia jabatan, terus-menerus meningkatkan profesionalisme kerjanya, setia sebagai abdi kepada negara, berpedoman pada Pancasila dan UUD 45. Begitu banyak tuntutan untuk seorang pegawai negeri, begitu rinci aspek-aspek kualitas Yang harus dipenuhinya. Siapa berani menjadi pegawai negeri semacam itu? Tetapi banyak yang berani dan merasa sanggup menjadi pegawai sempurna. Yang melihat terlalu banyak sama artinya tidak melihat sama sekali. Hidup itu harus fokus. Fokus iłu memiliki tujuan yang jelas. Tujuan yang jelas memerlukan strategi untuk mencapainya. Dan strategi itu soal logika dan sistem kerja. Inilah salah satu budaya modern yang menekankan nalar dan fakta objektif. Sedang sebagian besar dari kita masih diberati oleh warisan budaya mitos, Budaya yang mempercayai hal-hal transendental dałam mengatur hidup ini. Benedict Arnold itu Dursasana dan bukan Yudhistira. Benedict Arnold iłu disisi kiri, di sisi kejahatan. Padanya tak ada sama sekali unsur sisi baiknya. Pernah berjasa untuk kemerdekaan? Tetapi nilai setitik rusak susu sebelanga.

Pada kita, yang dahulu dipuja di sisi kanan kebaikan, tiba-tiba bisa menjadi dicaci maki di sisi kiri kejahatan. Manusia iłu hanya ada dua, yakni hitam atau putih. Jahat atau baik. Sempurna atau cacat. Dunia dan hidup ini seperti dunia mitos wayang. Dongeng dan kenyataan menjadi satu. Dunia abadi dan dunia fana ini satu kesatuan. Kita masih percaya adanya manusia setengah dewa, manusia kharismatik dengan daya pikat transendental, manusia istimewa, manusia sempurna.

Inilah kenyataan konkret kita. Boleh saja kita membaca literatur Barat tentang demokrasi, sistem, konsep-konsep mutakhir filosofis, tetapi rakyat mana yang mampu mencernanya? Yakinkah kita bahwa peran kaum intelektual telah begitu besar pada rakyat? Mampukah kaum intelektual menggerakkan rakyat dalam sistem yang dirancangnya? Apakah Sutan Syahrir, Muhammad Hatta, Dr. Amir, sekarang populer di kalangan rakyat? Apakah rakyat ini lebih menghargai tokoh intelektual brilian atau tokoh tak begitu brilian tapi kharismatik?

Penghargaan sistem yang baik menentukan berhasilnya tujuan hanya dapat dipahami oleh  masyarakat bangsa yang mampu menghargai kaki kiri pahlawan Benedict Arnold yang pengkhianat Itu. Tetapi masyarakat kita belum sampai kepada sikap itu, masyarakat kita masih memasukkan Benedict Arnold sama sekali tokoh Jahat, dan tak punya hak sama sekali untuk dibuat monumen kakinva. Kita belum mampu melihat hidup secara objektif. Hidup masih dilihat secara subjektif-mitologis. Bahwa hidup ini hanya pihak Pandawa yang baik dan Korawa yang jahat. Kaki kiri Benedict Arnold hanya mampu dilihat oleh mereka yang objektif-intelektual. Dan hanya berapa puluh juta jumlah manusia Indonesia pada tingkat budaya itu?

Inilah pangkal kegagalan dernokrasi liberal tahun 1950-an. Rakyat Indonesia disejajarkan dengan rakyat Belanda. Kaum intelektual barangkali mampu menghargai kaki kiri pahlawan pengkhianat, tetapi rakyat kebanyakan hanya mampu menilai sebagai pengkhianat. Kampanye bukan tawaran sistem, tetapi unjuk kekuatan suatu sistem. Buku Di Bawah Bendera Revolusi laku jutaan rupiah, tetapi Renungan Indonesia dan Demokrasi Kita tak pernah dibaca. Inilah sebabnya tak ada patung kaki kiri Benedict Arnold di sini.

Ditulis ulang dari Buku Menjadi Manusia (hal. 199-203) karya Jakob Sumardjo