Bagi yang mempelajari sejarah Amerika Serikat,
tentu mengenal betul siapa Benedict Arnold itu. Dia seorang jenderal pada masa
Perang Kemerdekaan Amerika (1776-1783), dan terkenal karena berhasil memukul
tentara Inggris di pertempuran Saratoga. Sebelumnya, rencana pertempuran
tersebut tidak disetujui atasannya, Jenderal Washington, tetapi Arnold
membangkang dan nekad bertempur dengan bala tentara yang tidak banyak. Tetapi
orasi pertempurannya telah berhasil membangkitkan semangat juang anak buahnya.
Malang, dalam pertempuran yang memashurkan namanya itu, ia jatuh dari kudanya.
Kaki kirinya cedera berat sampai Arnold pingsan dan dilarikan ke rumah sakit
terdekat. Para dokter tidak dapat menyelamatkan kaki kirinya, dan akhirnya
diamputasi. Karena cacat, ia tidak bisa ikut bertempur melawan tentara Inggris
lagi, bahkan diberhentikan dari dinas militernya. Meskipun ia menghubungi
beberapa orang berpengaruh, keinginannya agar ia tetap dapat berdinas sebagai
militer ditolak. Benedict Arnold kesal dan merasa dilupakan Orang. Mereka
gampang melupakan jasanya. Arnold balas dendam terhadap bangsanya, dengan
diam-diam menghubungi tentara Inggris yang merencanakan menyerang West Point di
bawah Mayor Andre. Sebelum penyerangan terhadap West Point dilaksanakan, Mayor
Andre tertangkap oleh tentara Amerika dan bersamanya ada dokumen-dokumen
persekongkolannya dengan Benedict Arnold. Mantan Jenderal ini bergegas
melarikan diri ke Inggris dan di sana sampai kematiannya pada tahun 1801.
Di monumen Saratoga, kemudian didirikan sebuah
patung kaki kiri yang mengenakan sepatu lars keJenderalan dan diatasnya
terdapat karangan bunga dengan tanda pangkat jenderal. Di situ ada tullsan berbunyi:
"Tugu ini didirikan untuk menghormatl seorang pahlawan tentara kemerdekaan
Amerika", tanpa menyebut nama. Dan barang tentu pengunjung segera tahu,
kaki kiri siapa yang dibuatkan monumennya itu. Rupanya pembuatan patung itu diilhami
oleh sebuah percakapan antara Benedict Arnold dan seorang rekan yang mengunjunginya
di Inggris, jauh setelah Amerika merdeka. Arnold bertanya kepada temannya itu,
"Bagaimana penerimaan orang-orang Amerika apabila ia kernbali ke tanah
kelahirannya?" Jawab teman itu, "Ah, mula-mula kita akan potong kaki
kiri Anda yang akan kita kuburkan dengan penghormatan militer. Sudah itu sisa
badan Anda akan kita berikan kepada anjing-anjing."
Itulah kisah seorang pahlawan yang kemudian
berkhianat kepada bangsanya. Dan itulah cara orang Amerika mengenang jasa-jasa
para pahlawan bangsanya. Lain Amerika, lain Indonesia. Kita juga punya cara
sendiri untuk menghormati pahlawan-pahlawan kita. Seorang pengkhianat bangsa
seperti Benedict Arnold masih dikenang jasanya yang baik bagi bangsanya. Tetapi
di Indonesia dikenal pepatah "nila setitik rusak susu sebelanga". Anda
boleh berjasa kepada masyarakat dan bangsa hampir seluruh hidup Anda, tetapi
kalau di ujung usia ternyata Anda bersalah, maka nama baik Anda ditentukan oleh
perbuatan Anda yang terakhir itu. Lebih baik kalau Anda menjalani hidup rusak
dulu dan di akhir hayat bertobat total. ltu lebih terhormat. Anda akan
dikenang. Anda akan jadi pahlawan.
Yang selalu kita inginkan adalah manusia sempurna.
LihatIah tujuh sumpah Pegawai Negeri Sipil yang dibacakan setiap tanggal 17, di
situ tampak bertumpuk-tumpuk persyaratan untuk menjadi pegawai negeri yang
baik. Atau sumpah janji setia pada kelompok profesi yang Iain. Kita selalu
mengumpulkan sebanyak mungkin aspek-aspek ideal sebuah profesi. Seolah-olah
manusia Indonesia itu mampu untuk menjadi sempurna sebagai pegawai negeri,
sebagai polisi, sebagai pejabat, sebagai tentara. Hanya para pedagang saja yang
tak pernah membuat janji-janji ideal. Rupanya mereka mengenal betul
ketidaksempurnaan manusia.
Menjadi presiden menjadi menteri, menjadi gubernur,
menjadi jenderal seolah-olah bukan manusia biasa lagi. Mereka berada di atas
manusia biasa di dunia nyata ini. Mereka manusia sempurna. Kalau mereka
melakukan hal-hal yang tidak sempurna, mereka lekas diampuni, karena mereka
memang sempurna. Tetapi kalau ketidaksempurnaan mereka itu semakin menjadi-jadi,
maka diperlukan munculnya tanda-tanda zaman. Dahulu kala, gejala raja-raja
lalim selalu dapat dibaca dari alam. Tersebar wabah, meningkatnya bahaya
kelaparan, sawah-sawah kering, hama merajalela, raja sendiri sering gering,
itulah pertanda zaman bahwa si penguasa sudah seharusnya diganti, karena dia
sudah tidak sempurna lagi. Cerita-cerita babad selalu punya koleksi kisah yang
demikian itu.
Bangsa ini lebih dari setengahnya masih digayuti
oleh kesadaran kolektif mitos. Hanya beberapa persen manusia Indonesia yang
telah memiliki kesadaran negerinya Benedict Arnold? Bahwa manusia itu tidak
sempurna dan hanya bisa menuju arah kesempurnaan yang tak mungkin dicapainya?
Dapatkah kita membuat monumen kaki kiri para "Benedict Arnold" kita? Dapatkan
kita memaafkan ketidaksempurnaan?.
Kita kadang terlalu banyak menuntut dari seorang
pemimpin. Artinya, pemimpin itu harus sempura, seperti pegawai negeri itu harus
sempurna sesuai dengan Sapta Prasetya Pegawai Negeri. Pegawai negeri itu harus
jujur, tidak melakukan perbuatan tercela, mementingkan kepentingan umum daripada
kepentingan sendiri atau golongan, memegang teguh rahasia jabatan,
terus-menerus meningkatkan profesionalisme kerjanya, setia sebagai abdi kepada
negara, berpedoman pada Pancasila dan UUD 45. Begitu banyak tuntutan untuk seorang
pegawai negeri, begitu rinci aspek-aspek kualitas Yang harus dipenuhinya. Siapa
berani menjadi pegawai negeri semacam itu? Tetapi banyak yang berani dan merasa
sanggup menjadi pegawai sempurna. Yang melihat terlalu banyak sama artinya
tidak melihat sama sekali. Hidup itu harus fokus. Fokus iłu memiliki tujuan
yang jelas. Tujuan yang jelas memerlukan strategi untuk mencapainya. Dan
strategi itu soal logika dan sistem kerja. Inilah salah satu budaya modern yang
menekankan nalar dan fakta objektif. Sedang sebagian besar dari kita masih
diberati oleh warisan budaya mitos, Budaya yang mempercayai hal-hal
transendental dałam mengatur hidup ini. Benedict Arnold itu Dursasana dan bukan
Yudhistira. Benedict Arnold iłu disisi kiri, di sisi kejahatan. Padanya tak ada
sama sekali unsur sisi baiknya. Pernah berjasa untuk kemerdekaan? Tetapi nilai
setitik rusak susu sebelanga.
Pada kita, yang dahulu dipuja di sisi kanan
kebaikan, tiba-tiba bisa menjadi dicaci maki di sisi kiri kejahatan. Manusia
iłu hanya ada dua, yakni hitam atau putih. Jahat atau baik. Sempurna atau
cacat. Dunia dan hidup ini seperti dunia mitos wayang. Dongeng dan kenyataan
menjadi satu. Dunia abadi dan dunia fana ini satu kesatuan. Kita masih percaya
adanya manusia setengah dewa, manusia kharismatik dengan daya pikat
transendental, manusia istimewa, manusia sempurna.
Inilah kenyataan konkret kita. Boleh saja kita
membaca literatur Barat tentang demokrasi, sistem, konsep-konsep mutakhir
filosofis, tetapi rakyat mana yang mampu mencernanya? Yakinkah kita bahwa peran
kaum intelektual telah begitu besar pada rakyat? Mampukah kaum intelektual menggerakkan
rakyat dalam sistem yang dirancangnya? Apakah Sutan Syahrir, Muhammad Hatta,
Dr. Amir, sekarang populer di kalangan rakyat? Apakah rakyat ini lebih menghargai
tokoh intelektual brilian atau tokoh tak begitu brilian tapi kharismatik?
Penghargaan sistem
yang baik menentukan berhasilnya tujuan hanya dapat dipahami oleh masyarakat bangsa yang mampu menghargai kaki
kiri pahlawan Benedict Arnold yang pengkhianat Itu. Tetapi masyarakat kita
belum sampai kepada sikap itu, masyarakat kita masih memasukkan Benedict Arnold
sama sekali tokoh Jahat, dan tak punya hak sama sekali untuk dibuat monumen
kakinva. Kita belum mampu melihat hidup secara objektif. Hidup masih dilihat
secara subjektif-mitologis. Bahwa hidup ini hanya pihak Pandawa yang baik dan
Korawa yang jahat. Kaki kiri Benedict Arnold hanya mampu dilihat oleh mereka
yang objektif-intelektual. Dan hanya berapa puluh juta jumlah manusia Indonesia
pada tingkat budaya itu?
Inilah pangkal kegagalan dernokrasi liberal tahun
1950-an. Rakyat Indonesia disejajarkan dengan rakyat Belanda. Kaum intelektual
barangkali mampu menghargai kaki kiri pahlawan pengkhianat, tetapi rakyat
kebanyakan hanya mampu menilai sebagai pengkhianat. Kampanye bukan tawaran
sistem, tetapi unjuk kekuatan suatu sistem. Buku Di Bawah Bendera Revolusi laku
jutaan rupiah, tetapi Renungan Indonesia dan Demokrasi Kita tak pernah dibaca. Inilah
sebabnya tak ada patung kaki kiri Benedict Arnold di sini.
Ditulis ulang dari Buku Menjadi Manusia (hal.
199-203) karya Jakob Sumardjo