Rabu, 16 Juni 2021

GEN-Z; PENDIDIKAN HARUS BERTRANSFORMASI


Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning Model) Bagi Gen-Z

 

 Pada bulan Januari yang lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil Program Sensus Penduduk yang dilakukan tahun 2020 yang lalu. Kegiatan sensus penduduk merupakan program rutin 10 tahunan yang dilakukan secara periodik dan metodologis (sensus terakhir di tahun 2010). Tujuan dari program sensus penduduk adalah menyediakan data jumlah, komposisi, distribusi, dan karakteristik penduduk Indonesia menuju SATU DATA KEPENDUDUKAN INDONESIA (de facto dan de jure) dan hasilnya akan ditindaklanjuti dengan penyediaan parameter demografi (fertilitas, mortalitas, dan migrasi) serta karakteristik penduduk lainnya untuk keperluan proyeksi penduduk dan indikator SDGs (Sustainable Development Goals) yang rencananya baru akan dilakukan oleh BPS pada bulan September 2021.

Hasil sensus 2020 memberikan gambaran demografi Indonesia yang mengalami banyak perubahan dari hasil sensus tahun 2010. Hasil sensus tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia berjumlah 270,20 juta jiwa dengan komposisi jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Penduduk laki-laki sebanyak 136,66 juta jiwa (50,58%) sedangkan penduduk perempuan 133,54 juta jiwa (49,42%). Pulau dengan tingkat populasi penduduk terpadat masih berada di pulau Jawa dengan jumlah penduduk sebanyak 151,59 juta jiwa atau 56,10% dari penduduk Indonesia. Sebaran penduduk terbesar kedua terdapat di Pulau Sumatera dengan sebanyak 58,56 juta jiwa (21,68%). Pulau Sulawesi mempunyai sebaran sebesar 7,36% dan Pulau Kalimantan mempunyai sebaran sebesar 6,15%, sedangkan wilayah Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua masing masing sebesar 5,54% dan 3,17%. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk 48,27 juta jiwa. Urutan berikutnya adalah Provinsi Jawa Timur sebanyak 40,67 juta jiwa. Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Provinsi Kalimantan Utara sebanyak 0,70 juta jiwa (BPS, 2020).

Selain perihal jumlah penduduk berdasar jenis kelamin dan sebaran setiap provinsi, hasil sensus 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia berdasarkan kategori generasi yaitu pre-boomer (lahir sebelum tahun 1945), baby boomer (generasi yang lahir tahun 1946-1964), generasi X (generasi lahir tahun 1965-1980), Generasi Milenial (lahir tahun 1981-1996), Generasi Z (lahir tahun 1997-2012), dan Post Generation Z (2013 dst). Sesuai prediksi dari berbagai kalangan, Indonesia tengah berada pada periode yang dinamakan sebagai Bonus Demografi. Sebagian besar penduduk saat ini berasal dari Generasi Z/Gen Z yaitu sebanyak 74,93 juta jiwa (27,94%). Generasi Milenial yang digadang-gadang menjadi motor pergerakan masyarakat saat ini, jumlahnya berada sedikit di bawah Gen Z, yaitu sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,87% dari total penduduk Indonesia. Berikutnya adalah generasi X sebanyak 58,65 juta jiwa (21,88%), generasi Baby Boomer (31,01 juta jiwa / 11,56%), Post Gen Z (29,17 juta jiwa / 10,88%), dan generasi Pre-Boomer (5,03 juta jiwa / 1,87%). Ini artinya, keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan akan memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan nanti.

Banyak para ahli menyatakan bahwa Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Ryan Jenkins, seorang penulis dan ahli generasi Z pada tahun 2017 dalam artikelnya berjudul Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation (https://blog.ryan-jenkins.com/2017/01/26/4-reasons-generation-z-will-be-the-most-different-generation) menyatakan bahwa Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi suatu organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi mereka gunakan sama alaminya layaknya mereka bernafas.

Generasi Z ini dilabeli juga sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation). Secara usia, Gen Z saat ini berkisaran antara usia 8-23 tahun yaitu usia “produktif” dibangku sekolah/perguruan tinggi. Dengan karakteristik tersebut tentu pemangku kebijakan pendidikan harus mampu meramu dan menyiapkan suatu konsep pendidikan yang tepat bagi Gen Z. pendidikan harus mampu bertransformasi menjadi pendidikan era Gen Z, tidak lagi pendidikan yang klasik (guru berbicara di depan kelas, siswa mendengarkan sambil mengantuk).

David Stillman dan Jonah Stillman (beliau berdua memiliki hubungan bapak dan anak) dalam bukunya Gen Z @Work: How The  Next Generation is Transforming the Workplace (2017) memberikan gambaran lebih komprehensif tentang karakter Gen Z dengan mengidentifikasi tujuh karakter utama Gen Z, yaitu: phygital, fear of missing out (FOMO), hiper kustomisasi, terpacu, Weconomist, do it yourself (DIY), dan realistis. Gen Z berkarakter phygital karena Gen Z yang lahir setelah era 1995 dimana segala aspek di dunia fisik memiliki wujud yang ekuivalen di dunia maya. Dunia fisik dan dunia maya bukan dua dunia yang terpisah, tetapi saling berkelindan. Gen Z berkarakter hiper kustomisasi karena hidup di dunia maya yang sangat cair, gen Z selalu ingin memiliki identitas unik yang membuatnya tidak larut dalam lautan massa. Mereka tidak menyukai produk standar dan seragam. Mereka mengkostumisasi apapun, mulai daftar lagu, film, logo, dan sebagainya.

FOMO (Fear of Missing Out). Dengan perubahan di linimasa yang terus mengalir, Gen Z selalu khawatir ketinggalan informasi. Mereka takut tidak update, ketinggalan gosip, isu terbaru, dan menjadi tidak relevan di kalangan teman-temannya. berkarakter weconomist karena pada saat bertumbuh, Gen Z telah hidup dengan fasilitas platform ekonomi yang memungkinkan berbagi, seperti Uber, Grab, AirBnB, dan lain-lain. Mereka selalu ingin mencari jalan untuk terus memanfaatkan sumber daya bersama tanpa harus melakukan investasi besar. Berkarakter DIY (Do it Yourself) karena Gen Z dibesarkan dengan aneka tutorial yang membuat mereka bisa mempelajari apapun secara asinkron mandiri seperti melalui Youtube. Hal ini menjadikan Gen Z tumbuh menjadi generasi yang percaya diri dan merasa bisa melakukan apapun sendiri. Sikap mental ini didukung oleh orang tua yang merupakan generasi X yang tidak mengikuti jalur-jalur tradisional. Yang berikutnya adalah berkarakter competitive dimana karakter ini tumbuh dari hasil pengalaman mereka saat orangtua mengalami krisis ekonomi membuat Gen Z lebih kompetitif dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka ingin menjadi bagian dari tim pemenang, bukan pecundang. Berkarakter realistis karena sebagai sosok yang mengalami kekhawatiran usai peristiwa serangan teroris 11/9 dan krisis ekonomi, Gen Z cenderung bersikap pragmatis. Semisal, mereka berhitung apakah perlu kuliah atau tidak berdasarkan rasionalitas kepentingan mereka. Jika menurut mereka kuliah akan menguntungkan maka mereka akan menjalaninya dan sebaliknya.

Tujuh karakter utama Gen Z ini dapat menjadi indikator bagi pemangku kebijakan pendidikan dalam menentukan bagaimana strategi pendidikan yang efektif diberikan kepada siswa kategori Gen Z. Dengan karakter phygital, guru harus banyak melakukan pengamatan tentang bagaimana siswa memadukan sisi fisik dan digital dalam cara mereka berinteraksi, hidup, dan belajar. Ini kemudian akan menjadi landasan bagi guru untuk menentukan metode pembelajaran yang akan gunakan. Guru harus semakin terbuka dan terbiasa menggunakan media pembelajaran berbasis digital, agar siswa tetap dapat aktif dan tersambung dalam pembelajaran dalam berbagai kondisi pembelajaran yang ada.

Gen Z berkarakter FOMO dengan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. Karakter FOMO menjadikan siswa terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang tersebar dan mudah diakses saat ini semisal situs pencarian google. Dalam hal ini, pendidikan perlu menjadi media yang terbuka dan mewadahi berbagai informasi yang diperlukan siswa tidak hanya pada hal yang berkaitan dengan pembelajaran, tetapi juga keterampilan hidup. Guru harus mampu mengkurasi informasi apa saja yang memang bermanfaat bagi siswa, dan yang tidak.

Hiper kustomisasi merupakan karakter lainnya dari Gen Z dimana terbiasa menentukan kebutuhan apa yang mereka butuhkan dan perlu dapatkan. Hal ini dilakukan oleh mereka dengan cara berselancar di dunia maya. Dalam konteks pendidikan, memberikan kebebasan siswa menentukan cara belajarnya merupakan sebuah kebutuhan. Guru perlu untuk mampu melakukan personalisasi cara-cara belajar bagi setiap siswa, dan memberikan siswa lebih banyak kesempatan untuk mencari sumber belajar di luar aktivitas bersekolah. Karakter hiper kustomisasi menyebabkan siswa juga menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di sekelilingnya, termasuk memberikan masukan terhadap media-media belajar yang selama ini digunakannya. Penting bagi ekosistem pendidikan untuk memberikan ruang kepada para siswa untuk menyampaikan gagasan dan penilaiannya tentang proses belajar yang mereka jalani sehari-hari, termasuk berkesempatan merekonstruksi harapan mereka tentang pendidikan di masa depan. Yang utama dari peran guru adalah memberikan pemahaman pada siswa agar selalu memberikan ide dan kritik yang konstruktif secara asertif.

Dalam praktik pembelajaran saat ini, siswa menjadi sangat kompetitif dengan keragaman potensi yang dimilikinya. Ini perlu menjadi catatan penting bagi pendidikan khususnya guru untuk mampu memfasilitasi karakter terpacu tersebut melalui berbagai media yang mampu mengakomodasi potensi siswa yang beragam, tanpa mengarahkan pada upaya memperbandingkan antara siswa yang satu dan yang lainnya. Siswa perlu lebih banyak diapresiasi dan menjadikan praktik tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya-upaya reflektif semua pihak dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.

Karakter lain dari Gen Z adalah Weconomist. Pada karakter ini, Gen Z lebih menyenangi kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terkoneksi dengan rekan sejawatnya. Dalam pembelajaran, karakter ini dapat difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu siswa dan mengkondisikan siswa untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang diberikan. Era dunia maya, siswa justru perlu lebih banyak didekatkan dengan sesamanya, untuk dapat saling belajar dan saling memberikan peer review, dengan tetap menempatkan guru sebagai fasilitator belajar.

Model project based learning dapat diterapkan di kelas untuk membangun karakter Gen Z yang lebih senang DIY (Do It Yourself). Dengan pembelajaran berbasis project, siswa bisa secara asinkron belajar mandiri melalui video-video tutorial semisal youtube untuk mengembangkan produk dari projectnya. Dengan begitu, imajinasi dan kreativitas siswa akan lebih terasah. Tetapi guru tetap menjadi fasilitator belajar dengan kesediaannya menjadi rujukan pertanyaan jika ada hal yang tidak dipahami oleh siswa.

Selain penerapan pembelajaran yang bersifat mandiri, demokratis, dan membuka ranah yang luas bagi penciptaan dan penemuan hal-hal baru dalam pembelajaran. Guru perlu menciptakan iklim belajar yang mampu membangun self regulation pada diri siswa. Siswa perlu dikuatkan untuk realistis tentang kehidupan dan masa depannya. Guru harus menyampaikan kepada siswa terkait peluang, tantangan dan hambatan yang mungkin nantinya akan dihadapi oleh siswa dalam mencapai impian cita-cita mereka.


Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning Model) Bagi Gen-Z

Melihat karakter generasi Z (Gen-Z) yang multitasking atau terbiasa dengan teknologi, maka guru dapat meramu pembelajaran di sekolah dengan menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakter generasi Z, diantaranya: inquiry based learning, problem based learning, experiential based learning, task based learning, theme based learning, cooperative learning, project based learning dan flipped classroom model (Kusumaningtyas dkk., 2019). Model yang satu tidak berarti lebih unggul daripada model yang lain, semua bergantung pada bagaimana kemampuan guru mengimplementasikan model yang diterapkan secara baik dan benar. Dalam makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada tawaran secara konseptual penerapan Project Based Learning Model dalam pembelajaran.

Project Based Learning Model pada awalnya dikembangkan oleh Howard Barrows (1969) di McMaster University di Kanada. Ketika itu pendekatan pembelajaran ini digunakan atas dasar pertimbangan bahwa pengetahuan berkembang cepat dan peserta didik tidak mungkin menguasai semua pengetahuan dalam kurun waktu tertentu (semester). Karena itu peserta didik diminta bekerja dalam kelompok untuk mengidentifikasi pengetahuan yang sudah dikuasai, yang perlu dikuasai, bagaimana menguasainya dan kemana mencari akses informasi untuk bisa memecahkan masalah. Konsep Project Based Learning tersebut sesuai dengan beberapa karakter Gen-Z yaitu phygital, Do It Yourself, dan realistic. Phygital karena Project Based Learning dapat berjalan optimal jika didukung dengan penggunaan sumber-sumber atau media-media pembelajaran berbasis digital. Do It Yourself karena siswa baik secara mandiri maupun bersama tim kelompoknya menemukan sendiri core problem dan solusinya. Realistic karena Project Based Learning dapat memuaskan rasa keingintahuan Gen-Z terhadap suatu permasalahan dari hasil project yang nyata. 

Secara definisi, Michael M. Grant (2002) menjelaskan bahwa Project Based Learning (PjBL) merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik untuk melakukan suatu investigasi yang mendalam terhadap suatu topik. Peserta didik secara konstruktif melakukan pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata, dan relevan. Peran guru dan tutor sangat penting dalam memfasilitasi dan mengarahkan proses pembelajaran. Proses pemecahan masalah bisa bervariasi.

Dalam Project Based Learning guru menuntun pertanyaan dan berperan lebih aktif ketika siswa melaksanakan proses belajar. Blended learning ataupun flipped classroom bisa dilaksanakan ketika guru menggunakan Problem Based Learning atau Project Based Learning. Siswa bisa melaksanakan proses pencarian dan pengumpulan informasi dengan mengakses sumber-sumber online, menggunakan sumber-sumber multimedia secara online, menyiapkan bahan laporan dan presentasi secara online, bekerja sama dengan kelompok untuk mengerjakan proyek atau melaksanakan kritik dan evaluasi kegiatan.

Adapun langkah‐langkah pembelajaran dengan Project Based Learning Model adalah sebagai berikut:

1.     Peserta didik dibagi dalam kelompok‐kelompok kecil dan masing masing kelompok melaksanakan proyek nyata (connecting the problem).

2.  Masing‐masing kelompok diberikan penjelasan tentang tugas dan tanggung jawab (setting the structure) yang harus dilakukan oleh kelompoknya dalam praktik.

3.    Peserta didik di masing‐masing kelompok berusaha maksimal untuk mengidentifikasikan masalah bisnis (visiting the problem) yang dihadapi sesuai pengetahuan yang dimiliki; (a). mengidentifikasi masalah dengan seksama untuk menemukan core problem yang sedang dihadapi dan (b) mengidentifikasi cara untuk memecahkan masalah.

4.      Peserta didik di masing‐masing kelompok mencari informasi dari berbagai sumber (buku, pedoman dan sumber lain) atau bertanya pada pakar yang mendampingi untuk mendapatkan pemahaman tentang masalah (revisiting the problem).

5.   Berbekal informasi yang diperoleh peserta didik saling bekerjasama dan berdiskusi dalam memahami masalah dan mencari solusi (produce the product) terhadap masalah dihadapi dan langsung diaplikasikan. Pelatih bertindak sebagai pendamping.

6.  Masing‐masing kelompok mensosialisasikan pengalaman dalam memecahkan masalah kepada kelompok lainnya untuk mendapatkan masukan dan penilaian (evaluation) dari kelompok lainnya.

Tahapan atau sintaks Project Based Learning Model yang lain adalah seperti yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebagai pendukung dari Kurikulum 2013 yaitu sebagai berikut.

1.       Penentuan pertanyaan mendasar.

Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk para peserta didik.

2.        Mendesain perencanaan proyek.

Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik. Dengan demikian peserta didik diharapkan akan merasa memiliki atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial, dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk membantu penyelesaian proyek.

3.       Menyusun Jadwal.

Pengajar dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (a) membuat timeline untuk menyelesaikan proyek, (b) membuat deadline penyelesaian proyek, (c) membawa peserta didik agar merencanakan cara yang baru, (d) membimbing peserta didik ketika membuat cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (e) meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang pemilihan suatu cara.

4.        Memonitor peserta didik dan kemajuan.

Pengajar bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara memfasilitasi peserta didik pada setiap proses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang penting.

5.       Menguji Hasil.

Penilaian dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing peserta didik, memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.

6.       Mengevaluasi Pengalaman.

Pada akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap evaluasi peserta didik diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan proyek. Pengajar dan peserta didik mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran.

Sebagaimana model-model pembelajaran yang lain, Project Based Learning Model juga memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Beberapa kelebihan dari Project Based Learning Model menurut Purnawan (2007) yaitu:

1.       Memotivasi peserta didik dengan melibatkannya di dalam pembelajarannya, membiarkan sesuai minatnya, menjawab pertanyaan dan untuk membuat keputusan dalam proses belajar.

2.           Menyediakan kesempatan pembelajaran berbagai disiplin ilmu.

3.      Membantu keterkaitan hidup di luar sekolah, memperhatikan dunia nyata, dan mengembangkan keterampilan nyata.

4.         Menyediakan peluang unik karena pendidik membangun hubungan dengan peserta didik, sebagai pelatih, fasilitator, dan co-learner.

5.           Menyediakan kesempatan untuk membangun hubungan dengan komunitas yang besar.

6.           Membuat peserta didik lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.

7.           Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.

8.       Memberikan pengalaman pada peserta didik pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasikan proyek, dan membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.

9.      Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai dunia nyata.

10.  Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.

Selain beberapa kelebihan tersebut, Project Based Learning Model juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan dari Project Based Learning antara lain; memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah, membutuhkan biaya yang cukup banyak, banyak pendidik yang merasa nyaman dengan kelas tradisional di mana pendidik memegang peran utama di dalam kelas, banyaknya peralatan yang harus disediakan, peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan, ada kemungkinan terdapat peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok, ketika topik yang diberikan pada masing-masing kelompok berbeda, dan dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan.

 

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (2020). Berita Resmi Statistik No. 07/01/Th.XXIV, 21 Januari 2020

Grant, M.M. (2002). Getting A Grip of Project Based Learning: Theory, Cases and Recomandation. Meredian A Middle School Computer Technologies Journal, Vol. 5 (1); 1-3

Jenkins, Ryan (2017). Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation. https://blog.ryan-jenkins.com/2017/01/26/4-reasons-generation-z-will-be-the-most-different-generation

Kemendikbud. 2013. Bahan Sosialisasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kusumaningtyas, Ratri dkk. (2020). Peningkatan Kualitas Pembelajaran Guru Melalui Model dan Media Pembelajaran bagi Generasi Z. Jurnal WARTA LPM, Vol.3 (1); 54-62

Purnawan, Yudi (2007). http://yudipurnawan.wordpress.com/2007/12/18/deskripsi-model-pbl-pembelajaran-berbasis-proyek

Stillman, David & Stillman, Jonah (2017). Gen Z @Work: How The  Next Generation is Transforming the Workplace. New York: HarperCollins Published


0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak