Kamis, 16 Desember 2021

MENGAMATI PEMBELAJARAN DARING DI SEKOLAH SELAMA PANDEMI

Penulis: Jaryono*

    Pembelajaran daring selama pandemi sejak awal tahun 2020 hingga kini dipenghujung tahun 2021 masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Topik ini menarik untuk diangkat baik dari sudut pandang siswa, guru, ibu rumah tangga, bahkan pejabat publik bidang pendidikan dan apalagi pengamat pendidikan. Semua pihak mempunyai keluhan dan argumentasi yang “seru” serta “di luar dugaan” yang belum atau tidak akan pernah kita temui seandainya tidak ada pandemi seperti sekarag ini. 
    Namun demikian, dari banyak pihak yang terlibat dan terdampak dari pembelajaran daring, ada beberapa keluhan yang menjadi aspek krusial dan pokok perhatian. Pertama, perbedaan yang signifikan penerapan pembelajaran daring antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Cerita jamaknya, orang tua yang mempunyai dua orang anak atau lebih yang bersekolah dilembaga yang berbeda, ada yang bersekolah di sekolah negeri dan ada yang bersekolah di sekolah swasta. Menurut orang tua, anak yang bersekolah di sekolah swasta proses pembelajaran daring lebih terorganisasi. Bahkan saat kondisi sudah diperbolehkan PTMT (Pembelajaran Tatap Muka Terbatas), sekolah swasta sudah merancang dan mengorganisasi pembelajaran tatap muka dengan berbagai inovasi baik media maupun model pembelajaran. Tidak sedikit sekolah swasta yang berani berlangganan atau membeli LMS (Learning Management System) yang dapat digunakan secara mandiri di sekolah. Sementara sekolah negeri, pembelajaran secara daring dilakukan dengan tidak terdesain secara baik dan dan terkesan insidental apa adanya.
    Kedua, kemampuan finasial orang tua siswa.”lha kok bisa!!! emang ada korelasi antara isi dompet orang tua dengan keefektifan pembelajaran daring??? Mana yang lebih penting, perangkat pembelajaran atau isi dompet orang tua siswa??”. Jelas terkait, kemampuan finansial orang tua secara krusial mempunyai peran terhadap ketersediaan perangkat pembelajaran. Jamak ceritanya seperti ini; orang tua yang mampu secara finansial dapat menyediakan lebih banyak variasi sumber belajar mulai seperti Personal Computer (PC), laptop, handphone, smartphone, jaringan internet, sampai berlangganan provider “bimbel” online partikelir yang jelas berbayar. Semakin tebal dompet orang tua, semakin “berkelas” fasilitas perangkat yang dimiliki oleh siswa. Orang tua yang mampu juga dapat mendatangkan tutor untuk mendampingi pembelajaran siswa di rumah baik untuk mata pelajaran utama maupun yang bersifat pendukung dan rekreatif, misalnya les piano. Sementara di pihak lain, orang tua kelas “dompet tipis”, kesulitan untuk menyediakan perangkat pembelajar daring bagi putra-putrinya. Kalaupun dipaksakan mampu membeli, hanya dapat memfasilitasi satu smartphone bagi dua atau tidak putra-putrinya. Andaikata smartphone dapat dibagi menjadi beberapa bagian seperti “gedang goreng” tentu orang tua akan mencacah smartphone untu anak-anaknya. Tetapi karena tidak mungkin, maka yang dilakukan adalah memanfaatkan smartphone secara bergiliran. Sialnya, jadwal sekolah daringnya berbarengan dalam satu waktu. Sialnya lagi, smartphone sudah tersedia tapi pulsa paket data tidak punya.
    Ketiga, kreatifitas guru. Dilihat dari sudut pandang manapun, peran guru sangat dominan dalam proses pembelajaran daring. Di masa normal saja, kompetensi guru kerap menjadi sorotan, apalagi di masa pandemi. Pada masa pembelajaran daring seperti saat ini, seorang guru tidak hanya diharuskan menguasai materi pembelajaran, akan tetapi juga harus menguasai perangkat TIK, dan menyampaikan materi secara menarik. Dikotomi pun terjadi, penulis istilahkan saja menjadi kelompok guru kreatif dan kelompok guru tidak kreatif. Kelompok guru kreatif tetap bisa menyajikan pembelajaran yang efektif dan menarik minat dan perhatian siswanya. Para guru yang kreatif juga tidak akan membiarkan siswanya “menganggur” di rumah tanpa ada proses belajar. Guru kreatif akan membuat muridnya belajar meskipun secara mandiri dan dengan caranya sendiri (asyncronous) melalui media atau sumber belajar yang telah disiapkan oleh guru. Hal-hal seperti itu tidak terjadi pada kelompok guru yang tidak kreatif apalagi didukung dengan ketidakmampuan dalam pemanfaatan TIK. Dampaknya, pembelajaran daring tidak tidak berlangsung setiap hari, guru hanya sebatas pemenuhan tugas mengajar dengan memberikan tugas-tugas kepada siswa.
    Akhirul kalam, era pandemi merupakan masa yang sulit bagi pendidikan. Tapi sebenarnya kesulitan ini bisa menjadi momentum batu loncatan bagi peningkatan mutu pendidikan. Guru yang dulu “anti” teknologi sekarang Tuhan YME sendiri yang memecut mereka untuk “melek” digital melalui mahlukNYA yang bernama Covid-19.


Tangerang – Banten, Desember 2021
*Penulis berprofesi sebagai Analis Mutu Pendidikan di LPMP Provinsi Jawa Timur

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak