Senin, 22 April 2024

KISAH ULAMA YANG SELALU DIKEJAR DUNIA

Tersebutlah seorang ulama min awliyaillah di Kota Seiwun, salah satu kota di Hadramaut, Yaman. Ulama tersebut bernama Habib Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi. Beliau lahir pada tahun 1259H/1839M dan wafat pada tahun 1333H/1913M. Beliau juga terkenal dengan gelar shohibul mawlid Simthudduror karena beliaulah yang mengarang kitab mawlid tersebut. Kitab maulid simthudduror ini berisi syair syair tentang kisah perjalanan hidup dan pujian kepada Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dengan bahasa yang indah dan penuh makna. Bagi kalangan muhibbin, kitab mawlid Simthudduror tentu sudah tidak asing lagi seperti halnya kitab-kitab mawlid yang lain seperti sholawat al-Barzanji, Maulid ad-Diba’I, qosidah Burdah, dan kitab mawlid adh-Dhiya’ul Lami’.

Habib Ali terkenal sangat kaya raya. Bahkan saking kayanya beliau pernah menanggung jatah makan penduduk kota Seiwun selama 3 bulan berturut-turut saat sedang terjadi krisis pangan (paceklik). Konon, yang beliau tanggung bukan cuma manusia saja tetapi termasuk hewan-hewan ternak.

Suatu ketika, saat sedang mengajar ada salah seorang santri jama’ah yang heran dengan kekayaan beliau terbersit dalam hatinya “ulama kok cinta dunia”. Dengan izin Allah, Habib Ali diberi kasyaf untuk bisa membaca bersitan hati santri tersebut. Setelah pengajian selesai, didekatinya santri tersebut. Sambil tersenyum Habib Ali berkata “ungkapkanlah apa yang terbesit di hatimu tadi”. Setengah terkejut santri itupun menghaturkan permohonan maaf dan mengutarakan bersitan hatinya “wahai Habib, mohon maaf jika saya telah suul adab. Tadi terbersit di hati saya yang kotor ini perihal kekayaan dan kecintaan engkau pada dunia”. Habib Ali menjawab kegalauan santrinya “bukan aku yang cinta dunia, tapi dunia yang selalu mengejarku. Jika kau tak percaya tunggulah sebentar lagi”. Tidak berselang lama datanglah seorang tamu dengan membawa hadiah setandan kurma Oman. Zaman itu, kurma Oman adalah kurma terbaik yang hanya dimakan para raja dan bangsawan.

Setelah tamu tersebut berpamitan, Habib Ali pun menghadiahkan kurma tersebut kepada santrinya. Santri tersebut menerima dengan sangat gembira. Sambil tersenyum Habib Ali berkata kepada santrinya “pulanglah dan nikmatilah kurma ini”. Setelah berterima kasih santri tersebut pun pamit diri. Sambil meletakkan kurma di atas kepalanya, santri tersebut berfikir “sungguh kurma ini harganya sangatlah mahal. Jika ku makan sendiri sangatlah rugi. Kalau ku jual pasti aku mendapat untung”. Santri tersebut pun berbelok arah akan membawa kurma Oman tersebut ke pasar.

Di tengah perjalanan santri tersebut bertemu dengan salah seorang sahabatnya yang juga sama-sama santri Habib Ali. Kebetulan sahabatnya ini akan silaturahmi (sowan) ke ndalem Habib Ali. Sahabatnya ini menyapa “ya akhi bagaimana kabarmu? Kurma apa yang engkau bawa?”. Santri menjawab “Alhamdulillah kabarku baik. Aku membawa kurma Oman dan akan ku jual ke pasar”. Sahabatnya tertarik untuk membeli dan bertanya “berapa engkau akan menjualnya”. Si santri menjawab “kalau engkau berkenan aku jual dengan harga lima juta”. Dengan sedikit kaget sahabatnya menimpali “lima juta? Andai engkau jual di harga sepuluh juta pasti orang-orang akan membelinya karena ini kurma Oman jenis kurma para raja. Tapi karena engkau telah menyebut harga lima juta baiklah aku beli dengan harga tersebut”. Santri berkata “tidak mengapa, sebenarnya kurma ini juga hadiah dari seseorang dan aku sudah banyak mendapat untung”.

Singkat cerita, selesailah transaksi dan pertemuan dua orang sahabat tersebut. Sahabat santri tersebut pun sampai di rumah Habib Ali dan menghadiahkan kurma Oman kepada Habib Ali. Habib Ali berkata kepadanya “janganlah engkau terburu-buru untuk pulang, tunggulah sebentar”. Sedangkan si santri ditengah perjalanan menuju ke rumah terbersit di hatinya “aku mendapat untung atas hadiah dari Habib Ali, suul adab jika aku tidak berterima kasih kepada beliau. Sebaiknya aku kembali ke rumah Habib Ali untuk berterima kasih”. Dan santri pun berbelok arah untuk kembali ke rumah Habib Ali. Sesampainya ia di rumah Habib Ali dengan sedikit terperangah dilihatnya Habib Ali sedang menikmati kurma Oman yang telah dijual kepada sahabatnya dan tersentak kaget karena mendengar sapa Habib Ali “bagaimana, apakah sekarang engkau sudah percaya kalau bukan aku yang cinta dunia tapi dunia yang selalu mengejarku? Kurma ini sudah ikhlas ku hadiahkan padamu tapi ia tetap kembali padaku”. Sambil bermuka merah dan tertunduk malu santri menjawab “na’am…shodaqta ya Habib (iya.....engkau benar ya Habib). Sedangkan sahabatnya yang tidak mengerti permasalahan hanya bisa tolah-toleh ke arah Habib Ali dan ke arah santri sahabatnya sambil garuk-garuk kepala karena penasaran.

 

Ditulis di Probolinggo, 11 Syawal 1445H
Disempurnakan di Padukuhan Kupang Wetan, 13 Syawal 1445

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak