Di suatu
daerah terkenallah seorang wali agung. Setiap hari pondok pesantren sang wali
selalu ramai dikunjungi orang dengan segala keperluan. Ada yang ingin meminta
berkah doa atas segala hajat, bahkan ada yang sekedar ingin melihat wajah sang
wali agung.
Mbah Wali,
begitu orang-orang sering memanggilnya meskipun usia sang wali belumlah terlalu
tua sekisaran separuh baya. Tetapi karena kewibawaannya maka orang-orang
memanggilnya dengan embel-embel gelar mbah. Selaiknya gelar kyai, pemberian
gelar mbah juga lumrah berlaku di bumi Nusantara khususnya di tanah Jawa
untuk disematkan kepada orang-orang yang selain tua secara usia tetapi
orang-orang yang belum tua tetapi dianggap mempunyai suatu kelebihan tertentu (ilmu
linuwih/ilmu kanuragan).
Urusan doa,
ke-mustajabahan doa sang wali tidak perlu diragukan lagi. “minggu lalu si
Aripin meminta doa kepada mbah wali supaya anak gadis semata wayangnya segera
mendapat jodoh. Esok hari hajatnya terkabul, anak gadisnya di lamar juragan
Marto” ujar kang Said kepada rekan-rekan ngopinya di warkop bu Timbul. “betul,
ingat tidak musim kemarau panjang tahun lalu. Sudah puluhan kyai kita datangi
untuk kita mintakan doa agar segera hujan tapi hujan tak kunjung turun. Tapi
saat kita ke mbah wali, belum beliau menurunkan tangan saat berdoa mendung tiba-tiba
muncul dan hujan pun turun” balas kang Maman. Rupanya bu Timbul tertarik
juga untuk menimpali. “pernah lho, mbak-mbak seng omahe pas enggok-enggokan
kuwi, sowan mbah wali. Dekne jaluk laris”…. ”jaluk laris piye bu”
potong kang Maman. “halaaaah….kowe-kowe pasti wes ngerti lah maksudnya”
bu Timbul meneruskan bicaranya.
Saat orang-orang
di warkop sedang asyik mengobrol, masuklah Markuwat dengan senyum kecut yang semakin
menambah “tampan” (baca; dingin) wajah sangarnya. Sontak orang-orang di warung
pun terdiam. Bahkan kang Maman yang sedang memegang cangkir kopi mendadak
tangannya gemetar saking takutnya dengan sosok Markuwat.
Markuwat adalah
seorang gali (preman/bromocorah) pasar yang terkenal sadis dan kejam. Nama asli
dan lengkap yang diberikan oleh orang tuanya adalah Muhammad Markuwat. Orang tuanya
menyematkan nama Muhammad dengan harapan saat dewasa Markuwat menjadi orang
terpuji yang dihormati masyarakat. Tetapi karena salah lingkungan pergaulan
sejak kecil Markuwat justru tumbuh menjadi sosok sebaliknya. Markuwat sudah
langganan keluar masuk penjara untuk jenis kejahatan beragam mulai dari
mencuri, membegal, menyiksa, menteror, narkoba. Mabuk disembarang tempat. Bahkan
Markuwat pernah membunuh juragan Jufri seorang turunan Arab Yaman yang terkenal
pelit kedekut karena perselisihan masalah hutang piutang. Selain kebiasaannya
keluar masuk penjara, Markuwat juga terkenal mempunyai ajian ilmu-ilmu kejadugan
(ilmu kanuragan) seperti ajian cor wojo untuk kebal segala jenis senjata,
ajian halimun petak untuk menghilang dari pandangan, dan ajian welut
putih untuk memudahkan meloloskan diri saat tertangkap aparat. Ajiannya yang
paling mumpuni adalah pring apus suatu jenis ilmu pamungkas dimana
pemilik ajian ini akan punya kemampuan untuk gampang ngapusi atau menipu
orang lain.
“Kayak biasanya
bu” ucap Markuwat kepada bu Timbul. “ok” jawab bu Timbul. “kok suwe
ora ketok? (kok lama tidak kelihatan?)” tanya bu Timbul. Markuwat hanya menjawab
dengan tersenyum kecil dan masam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Sebenarnya
orang-orang di warkop sudah paham jawaban dari Markuwat tersebut karena mereka
sudah tahu kalu sudah beberapa bulan dia nginap di dalam penjara.
”tadi malam
aku mimpi ada orang tinggi besar dan ganteng yang tiba-tiba menuangkan sekarung
tepung putih ke badanku dan langsung membawaku terbang tinggi ke langit. Saat
di langit kulihat ada orang di bawah yang sedang berkubang di lumpur sehingga
kelihatan hitam kotor seluruh badannya” tiba-tiba Markuwat berseloroh
menceritakan pengalaman mimpinya. Orang-orang di warkop yang sedari tadi diam
kecut mendadak saling toleh karena kaget tiba-tiba mendengar cerita Markuwat. “mungkin
sampean bisa sowan ke mbah wali untuk menanyakan arti mimpimu” timpal Kang Said.
“hhhmmmmm…..aku ini bromocorah, apa pantas untuk bertemu dengan seorang wali”
Markuwat menanggapi. Warkop tiba-tiba hening kembali, tidak ada lagi seorangpun
yang berani menanggapi jawaban Markuwat. Tetapi disaat keheningan tersebut, Allah
dengan sifat al-Lathif-nya menghembuskan “angin” hidayah kedalam hati
Markuwat yang menyebabkan Markuwat tiba-tiba merasa hatinya terasa damai,
tenang, adem yang membuatnya bingung dan bertanya-tanya didalam hati “ada
apa ini, perasaan apa ini, apa yang sedang terjadi????”. “apakah memang benar
aku harus bertemu dengan mbah wali?” bisik Markuwat didalam hatinya.
Sementara itu
di ndalem mbah wali.
“mik…..abah
mau ke pasar dulu” ujar mbah wali kepada istrinya. “ngapain abah repot-repot
ke pasar, kalau butuh sesuatu bisa merintahkan santri” jawan istri mbah
wali. “ke pasar itu juga salah satu sunnah Nabi mik. Dulu Rasulullah juga sering
ke pasar” timpal mbah wali. “baiklah bah, kalau begitu umik sekalian
titip belikan beras, ikan bandeng, ayam kampung potong, sayur bayam dua ikat,
bawang merah, cabe rawit, ketumbar, merica, minyak goreng, sabun mandi, sabun
cuci piring, shampoo, sekalian skincare” balas istri mbah wali. “waduuuuuuuuhhhhhh…….”
Respon mbah wali atas permintaan istrinya sambil tertawa dam menepuk jidad
dengan telapak tangannya. Berangkatlah mbah wali ke pasar dengan ditemani oleh
seorang santrinya.
Singkat cerita,
sampailah mbah wali di jalan setapak yang sepi. Karena masih pagi dan kondisi
cuaca yang berkabut, lamat-lamat dari kejauhan terlihat sesosok orang yang
berjalan berlawanan arah dengan mbah wali dan santrinya. Setelah semakin dekat
terlihatlah sosok yang berjalan tadi adalah Markuwat sang bromocorah.
“ya Allah…itu
mbah wali. Aku harus bagaimana ini? Haruskah aku yang kotor dan hina ini menyapa,
bersalaman menyentuh tangan orang suci itu?” Ujar Markuwat dalam hati.
“ya Allah…itu
Markuwat, kenapa sepagi ini aku harus bertemu dengan orang sehina itu? Jangan-jangan
dia akan membegalku” Bersit hati mbah wali.
“jangan……janganlah
aku menyapanya….ah tidak, aku harus menyapanya karena tujuanku memang untuk
sowan kepadanya” bisik hati Markuwat.
“jangan
sampai orang kotor itu menyapaku” bisik hati mbah wali.
Jarakpun semakin
dekat antara keduanya. Setelah keduanya berpapasan, dalam hitungan sepersekian
detik keduanya saling berpaling membuang muka. “jangan wahai Markuwat,
engkau orang kotor janganlah engkau mengotori tangan mbah wali, palingkanlah
wajahmu…janganlah engkau yang hina memandang wajah seorang yang suci” bisik
hati Markuwat. “cih…..gak sudi aku melihatmu wahai manusia durjana” hina
mbah wali dalam hati sambil memalingkan mukanya.
Tanpa disadari
oleh keduanya, saat itu jugalah Allah SubahanaHu wata’ala dengan sifat ke Maha
Kuasa serta kehendaknya memindahkan maqom kewalian mbah wali kepada Markuwat. Semua
terjadi begitu cepat. Kalau Allah sudah berkehendak tidak ada sesuatupun yang
dapat menghalangi. Allah mengampuni dan mengangkat derajat Markuwat atas sifat khusnul
dzon-nya. Allah juga menjatuhkan derajat mbah wali atas sifat sombong dan suul
dzon-nya. Tiba-tiba keduanya terjatuh tersungkur dampak merasakan keagungan
Tuhannya. Yang satu tersungkur atas karunia dan yang satu tersungkur atas musibah.
Tetapi yang
tidak diketahui oleh mereka, disebalik pohon asam kawak dipinggir jalan ada
seseorang gila berambut gimbal tak terusus, badan berdebu, tak berbaju hanya
bercelana komprang warna wulung compang-camping yang sedang bersembunyi dan
dengan kasyaf-nya menyaksikan prosesi kejadian tersebut sambil mengelus
dada dan berucap……astaghfirullaaaah….subhanallah…..Maha Suci Engkau ya Allah
yang dengan mudahnya membolak-balikkan hati mahluk-Mu….Maha Suci engkau ya
Allah yang telah dengan mudahnya meninggikan dan merendahkan derajat
hamba-hamba-Mu…ya muqollibul quluub tsabbit qolbi ‘ala diinika.
“Lailaaaa…..Lailaaaaa…..Lailaaaaa…..ana
uhibbuKa ya Laila….” Terdengar ocehan lelaki misterius tersebut sambil
beranjak pergi. Ternyata dia adalah Qois bin Maluh yang terkenal majenun
(gila) karena berjumpa dengan Laila.
Probolinggo, 16
Syawal 1445H
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan menggunakan bahasa yang santun dan bijak